Jumat, 08 Juni 2012

Petunjuk Baru Mengenai Benua yang Bergerak

“Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan.” [QS 27:88]





Sebuah lapisan batuan lelehan parsial sekitar 35 hingga 120 km di bawah tanah bukan satu-satunya mekanisme yang memungkinkan benua bergeser bertahap dalam jutaan tahun, menurut peneliti yang disponsori NASA. Hasil penelitiannya memberi petunjuk apa yang memungkinkan tektonik lempeng – gerakan lempeng kerak Bumi – terjadi.

“Lapisan kaya lelehan ini sesungguhnya cukup jelas di bawah lembah Samudera Pasifik dan mengelilingi daerah tersebut, sebagaimana diungkapkan oleh analisis saya pada data seismometer,” kata   Dr. Nicholas Schmerr, seorang fellow program pasca doctoral NASA. “Karena ia hanya ada di tempat tertentu, ia tidak mungkin satu-satunya alas an mengapa lempeng kerak kaku yang membawa benua dapat bergeser di atas batuan yang lebih lembut di bawahnya.” Schmerr, yang berada di Pusat Penerbangan Antariksa Goddard NASA di Greenbelt, Md., adalah perangarang sebuah makalah mengenai penelitian ini yang hadir dalam jurnal Science edisi 23 Maret.
 Lengseran lambat benua Bumi dihasilkan lewat tektonik lempeng. Planet kita lebih dari 4 miliar tahun usianya, dan seiring waktu, gaya tektonik lempeng telah membawa benua-benua beribu-ribu kilometer, memahat pegunungan ketika mereka bertabrakan dan lembah-lembah yang kadang terisi samudera ketika mereka tercabik. Apungan benua ini dapat juga mengubah iklim dengan mengarahkan arus di samudera dan atmosfer.
 Lapisan terluar Bumi, litosfer, pecah menjadi sejumlah lempeng tektonik. Litosfer terdiri dari kerak dan lapisan bawah mantel yang dingin dan kaku. Dibawah samudera, litosfer relative tipis (sekitar 104 km), di bawah benua, ia dapat setebal 321 km. Terbaring di bawah litosfer adalah astenosfer, sebuah lapisan batuan yang perlahan berubah bentuk dan mengalir bertahap seperti adonan. Panas di inti Bumi yang dihasilkan dari peluruhan radioaktif unsur-unsur lepas dan menghangatkan batuan mantel di atasnya, membuatnya lebih lembut lagi dan kurang kental, serta menyebabkan mereka berkonveksi. Batuan dalam mantel naik ketika ia lebih hangat dari sekitarnya, dan tenggelam ketika ia lebih dingin. Hal ini menggerakkan lempeng benua di atasnya.
Lokasi Astenosfer
Walaupun proses dasar yang mengendalikan tektonik lempeng telah dimengerti, banyak detailnya masih berupa misteri. “Sesuatu harus menyelaraskan lempeng kerak dari astenosfer sehingga mereka dapat bergeser di atasnya,” kata Schmerr. “Sejumlah teori telah diajukan, an salah satunya adalah lapisan kaya lelehan melumas perbatasan antara litosfer dan astenosfer, memungkinkan lempeng kerak bergeser. Walau begitu, karena lapisan ini hanya ada di beberapa daerah di bawah lempeng Pasifik, ia tidak mungkin satu-satunya mekanisme yang memungkinkan tektonik lempeng terjadi di sana. Sesuatu harus mendorong lempeng bergeser di daerah dimana lelehan tidak ada.”
 Mekanisme lain yang mungkin yang dapat membuat perbatasan antara litosfer dan astenosfer mengalir mudah mencakup penambahan bahan mudah menguap seperti air pada batuan dan perbedaan dalam komposisi, suhu, dan ukuran butiran mineral di daerah ini. Walau begitu, data yang ada saat ini tidak memiliki resolusi yang cukup untuk membedakannya.
 Schmerr membuat penemuan dengan menganalisis waktu datang gelombang gempa pada seismometer di penjuru dunia. Gempa bumi menghasilkan berbagai jenis gelombang; satu tipe memiliki gerakan maju-mundur dan disebut gelombang sobek, atau gelombang-S. Gelombang-S bergerak menembus Bumi akan memantulkan tatap muka material di dalam Bumi, tiba pada waktu berbeda tergantung dimana mereka berinteraksi dengan tatap muka ini.
 Satu tipe gelombang-S memantul dari permukaan Bumi separuh jalan antara sebuah gempa dan sebuah seismometer. Sebuah gelombang-S bertemu pada lapisan lelehan yang lebih dalam di perbatasan litosfer-astenosfer pada lokasi ini akan mengambil jalur yang sedikit lebih pendek ke seismometer dan karenanya datang beberapa puluh detik lebih awal. Dengan membandingkan waktu datang, ketinggian, dan bentuk gelombang primer dan gelombang yang dipantulkan lapisan lelehan pada berbagai lokasi, Schmerr dapat memperkirakan kedalaman dan sifat seismic dari lapisan lelehan di bawah cekungan Samudera Pasifik.
 “Sebagian besar lapisan lelehan dimana anda menduga akan menemukannya, seperti di bawah wilayah vulkanis seperti Hawaii dan berbagai gunung api bawah laut aktif atau disekitar zona subduksi – daerah pada tepian lempeng benua dimana lempeng samudera tenggelam ke interior dalam dan menghasilkan lelehan,” kata Schmerr. “Walau begitu, hasil menariknya adalah lapisan tersebut tidak ada dimanapun, menunjukkan sesuatu selain lelehan dibutuhkan untuk menjelaskan sifat dari astenosfer.”
 Memahami bagaimana lempeng tektonik bekerja di Bumi dapat membantu kita memahami bagaimana planet batuan lainnya berevolusi, menurut Schmerr. Sebagai contoh, Venus tidak punya samudera, dan tidak ada bukti tektonik lempeng pula. Ini mungkin jadi petunjuk kalau air dibutuhkan bagi tektonik lempeng untuk bekerja. Satu teori mengajukan kalau tanpa air, astenosfer Venus akan lebih kaku dan tidak mampu mempertahankan lempeng, menunjukkan panas internal dilepaskan dengan cara lain, mungkin lewat erupsi periodic vulkanisme global.
 Schmerr berencana menganalisis data dari jaringan seismometer lainnya untuk melihat apakah pola jejak yang sma dari lapisan lelehan ada di bawah samudera dan benua lain. Penelitian ini didukung oleh program pascadoktoral NASA dan Fellowship Pascadoktoral Jurusan Magnetisme Kebumian Lembaga Carnegie Washington.
Sumber berita:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar