Sistem Politik
Demokrasi Biangnya
Biaya
politik yang tinggi membuat partai politik membutuhkan dana yang besar terutama
untuk kampanye dan merawat konstituen. Biaya Pemilu 2014 pun diperkirakan lebih
mahal daripada Pemilu 2009, terlebih setelah sistem pemilu makin terbuka serta
ideologi dan pragmatisme masyarakat makin cair.
Biaya
politik tinggi itu menjadi ciri bawaan demokrasi kapitalisme. Pemilihan
penguasa dan wakil rakyat melalui pemilu membutuhkan dana besar untuk membangun
citra, mengenalkan calon, mendapatkan kendaraan partai, membujuk pemilih,
menggerakkan mesin partai dan sebagainya. Bukan sistem politik demokrasi kalau
tidak berbiaya tinggi. Dengan sifat seperti itu, sistem politik demokrasi
menjadi sistem yang buruk dan berbahaya bagi kepentingan rakyat.
Untuk
bisa masuk dalam sistem politik seperti itu hanya bisa dilakukan mereka yang
memiliki modal uang. Modal terkenal dan ketokohan saja seringkali belum cukup.
Apalagi ketika rakyat pun terformat menjadi pragmatis dan melihat kepentingan
sesaat akibat didikan sistem politik pragmatis ini dan oleh sikap pragmatis
politisi dan penguasa. Dalam kondisi seperti itu, politik uang menjadi hal
lumrah.
Dalam
kamus kapitalis, motivasi yang ada hanyalah motivasi materi dan mendapatkan
keuntungan materi. Sistem politik yang melibatkan modal pun akhirnya dikelola
seperti halnya industri menjadi sebuah industri politik. Biaya yang dikeluarkan
dianggap sebagai modal yang ditanam dan harus kembali berikut keuntungan. Dalam
sistem seperti itu, masuknya modal atau biaya tinggi membuat praktek politik
transaksional menjadi biasa.
Jika politisi atau calon
penguasa tidak punya modal sendiri, modal itu bisa dia dapatkan dari para cukong
kapitalis yang siap memberikan modal. Lahirlah kolaborasi (baca persekongkolan)
pemodal dengan politisi dan penguasa. Biaya yang diberikan cukong itu adalah
modal yang dia tanam dan tentu saja harus kembali berikut untungnya. Politisi
dan penguasalah yang harus merealisasikan itu atau setidaknya memberi “jalan“. Akhirnya disamping
kepentingan sendiri, kepentingan cukong itu menjadi yang utama.
Disamping
itu, biaya politik yang tinggi itu juga diduga menjadi salah satu penyebab
maraknya korupsi. Pasalnya, biaya yang telah dikeluarkan harus kembali. Segala
cara akan ditempuh untuk mengembalikan modal itu sekaligus mengumpulkan modal
untuk proses berikutnya. Selain korupsi, menjadi makelar baik makelar jabatan
atau anggaran pun jadi. Apalagi memang politisi khususnya wakil rakyat memiliki
pengaruh terhadap penentuan jabatan dan anggaran melalui kekuasaan anggaran,
legislasi dan kontrol terhadap eksekutif.
Pada
akhirnya, terjadilah persekongkolan pemodal-politisi-penguasa/pejabat.
Kepentingan mereka dan kelangsungan posisi, jabatan dan kekuasaan menjadi yang
mereka utamakan. Akibatnya, kepentingan rakyat terabaikan. Kepentingan rakyat
tidak lebih hanya dijadikan komoditi, barang jualan selama kampanye.
Solusi: Sistem
Politik Islam
Mimpi
tentang sistem politik bersih dan politisi yang bersih serta peduli pada
kepentingan rakyat hanya akan bisa diwujudkan dengan sistem politik Islam.
Dalam Sistem Politik Islam, semua masalah di atas yang menjad ciri bawaan
sistem politik demokrasi kapitalisme akan bisa disingkirkan dan dipupus.
Sistem dan perilaku politik
dan pribadi politisi sangat dipengaruhi oleh paradigma politik yang dianut.
Paradigma politik kapitalis adalah fokus pada masalah kekuasaan, meraih dan
mempertahankan kekuasaan. Sedangkan dalam Islam, politik (as-siyasah) itu adalah
bagian dari syariah, akidah Islam harus menjadi landasannya. Paradigma politik
Islam adalah pemeliharaan urusan umat baik di dalam maupun di luar negeri
sesuai hukum-hukum Islam. Dengan paradigma politik Islam ini, yang menjadi fokus
perhatian para politisi dan penguasa adalah pemeliharaan urusan dan
kemaslahatan umat. Dari situ lahirlah perilaku politisi yang senantiasa
memperhatikan urusan dan kepentingan umat. Kualitas seorang politisi dalam
Islam diukur dari sejauh mana tingkat kepedulian dan pemeliharaannya atas
urusan dan kepentingan umat.
Semua
aktivitas politik itu bukan hanya berdimensi duniawi tetapi yang lebih melekat
lagi adalah dimensi ukhrawi, yaitu pertanggungjawaban di hadapan Allah atas
sejauh mana ri’ayah (pemeliharaan) terhadap urusan rakyat (pihak yang diurus).
Nabi saw bersabda:
« كُلُّكُمْ رَاعٍ،
وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ »
Tiap kalian
adalah pemimpin dan tiap kalian dimintai pertanggungjawaban atas pemeliharaan
urusan rakyatnya (orang yang diurusnya) (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud,
at-Tirmidzi)
Dalam
melaksanakan aktivitas politik mengoreksi penguasa, umat boleh saja mewakilkan
kepada orang yang mereka pilih menjadi wakil mereka. Hanya saja wakil rakyat
dalam Islam itu adalah wakil dalam melakukan koreksi (muhasabah) dan
menyampaikan pendapat. Dalam Sistem Politik Islam, pemilihan wakil umat itu
adalah memilih orangnya, bukan partainya. Sebab disitu berlaku akad wakalah dan
yang bisa menjadi wakil adalah orang, bukan lembaga. Wakil umat dalam Islam itu
tidak memiliki kekuasaan legislatif, sebab dalam Islam kedaulatan adalah milik
syara’, bukan milik rakyat (manusia). Wakil rakyat itu juga tidak menentukan
anggaran dan pengangkatan pejabat. Sebab dua masalah itu dalam Islam adalah hak
prerogatif Khalifah (kepala negara). Semua ketentuan itu meminimalkan peluang
wakil umat itu untuk berperan menjadi makelar jabatan, anggaran dan proyek.
Dalam
masalah suksesi penguasa daerah (wali/gubernur dan ‘amil -setingkat bupati/wali
kota) dalam sistem Islam sangat berbeda dengan di dalam sistem demokrasi
kapitalisme. Dalam Islam, wali atau ‘amil tidak dipilih langsung oleh rakyat, tetapi
ditunjuk dan diangkat oleh Khalifah (kepala negara). Hanya saja, kelangsungan
jabatan wali dan ‘amil itu diantaranya bergantung pada penerimaan dan kerelaan
rakyat di wilayah/provinsi atau ‘umalah/kabupaten tempatnya menjabat. Jika
rakyat di situ, secara langsung atau melalui wakil mereka, menyatakan tidak
menerima atau tidak rela dengan kepemimpinan wali atau gubernur itu maka
Khalifah harus mencopot wali atau ‘amil itu dan menggantinya dengan orang lain.
Hal itu seperti yang terjadi pada al-‘Ala’ bin al-Hadramiy yang diangkat oleh
Rasul saw menjadi ‘amil di Bahrain. Ketika penduduk Bahrain (‘Abdu Qays)
menampakkan ketidakrelaan mereka atas kepemimpinannya, Rasul saw pun
mencopotnya dan mengangkat Aban bin Sa’id sebagai gantinya.
Dengan
begitu, suksesi penguasa daerah itu sangat murah biaya. Akan tetapi hasilnya,
penguasa daerah itu akan penuh perhatian pada pemeliharaan urusan dan
kemaslahatan rakyat. Sebab jika ia tidak baik dalam melakukan ri’ayah, rakyat
atau wakil mereka bisa menyatakan ketidakrelaan terhadapnya dan Khalifah pun
harus memberhentikan dan menggantinya dengan pejabat lain yang diridhai oleh
rakyat.
Disamping
semua itu, dalam sistem politik Islam korupsi, manipulasi, dan perolehan harta
ilegal lainnya oleh politisi, penguasa dan pejabat akan bisa diminimalkan
bahkan hampir hilang. Sejak awal Islam telah memberikan definisi dan batasan
harta ghulul secara jelas. Rasul saw bersabda:
« مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ
عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ »
Siapa saja yang
kami angkat untuk tugas tertentu dan telah kami tentukan gajinya maka apa yang
dia ambil di luar itu adalah ghulul (HR Abu Dawud, Ibn Khuzaimah, al-Hakim)
Begitu
pula hadiah dan komisi kepada penguasa atau pejabat juga merupakan harta ghulul
yang haram.
Penguasa,
pejabat, dan bisa juga pegawai, dicatat kekayaannya dan diperbarui secara
berkala. Jika ditemukan indikasi perolehan atau jumlah harta yang tidak wajar,
maka seperti yang dilakukan oleh Umar bin al-Khaththab dan disetujui oleh para
sahabat, penguasa atau [ejabat itu harus membuktikan perolehan hartanya. Jika
meragukan atau ia tidak bisa membuktikan harta itu diperoleh secara legal, maka
harta itu akan disita dan dimasukkan ke kas Baitul Mal. Jika terbukti korupsi
atau berbuat curang, maka tindakan pidana tu termasuk ta'zir dimana jensi dan
kadar sanksinya diserahkan kepada ijtihad Qadhi. Sanksinya selain disita
hartanya, juga bisa ditambah dengan diekspos, dijilid, dipenjara, bahkan bisa
sampai hukuman mati, tentu bergantung pada seberapa serius dan bahayanya bagi
umat.
Dengan
begitu kalau ada penguasa, pejabat, politisi atau pegawai yang korup dan curang
dengan cepat dan mudah bisa ditindak. Dengan semua itu, aparatur negara dalam
Sistem Politik Islam akan selalu akuntable dan bersih. Sesuatu yang hanya bisa
direalisasikan melalui penerapan syariah Islam dalam bingkai sistem politik
Islam, yaitu Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah.
Wahai Kaum
Muslimin
Penguasa dan politisi yang
bersih dan peduli pada kemaslahatan rakyat tidak bisa terwujud dalam sistem
politik demokrasi kapitalisme. Hal itu hanya bisa diralisasi di bawah Sistem
Politik Islam, Khilafah, yang menerapkan syariah Islam secara totalitas. Kapan
lagi kita perjuangkan dan wujudkan kalau tidak sekarang? Wallâh a'am bi ash-shawâb.
[]
Aset tidak produktif milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencapai Rp 2.500 triliun. Aset yang tersebar di nusantara itu terbengkalai dan belum terdata dengan baik. (detikfinance, 19/6)
- Sungguh negeri ini kaya termasuk BUMNnya. Sayang konsekuensi dari pilihan Sistem Ekonomi Kapitalis, BUMN harus banyak diprivatisasi.
- Kekayaan dan berbagai hal yang dibutuhkan negeri ini untuk maju dan sejahtera ada semua. Yang belum ada adalah sistem yang baik dan penguasa serta aparatur yang amanah.
- Hanya dengan penerapan Syariah secara total, semua kekayaan akan menjadi berkah yang memberikan kesejahteraan bagi semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar