Selasa, 31 Juli 2012

Memahami Fenomena Kepribadian Ganda

Mungkin tidak ada orang yang benar-benar bisa memahami masalah kepribadian ganda. Sebelum abad ke-20, gejala psikologi ini selalu dikaitkan dengan kerasukan setan. Namun, para psikolog abad ke-20 yang menolak kaitan itu menyebut fenomena ini dengan sebutan Multiple Personality Disorder (MPD). Berikutnya, ketika nama itu dirasa tidak lagi sesuai, gejala ini diberi nama baru, Dissociative Identity Disorder (DID).


DID atau kepribadian ganda dapat didefinisikan sebagai kelainan mental dimana seseorang yang mengidapnya akan menunjukkan adanya dua atau lebih kepribadian (alter) yang masing-masing memiliki nama dan karakter yang berbeda.

Mereka yang memiliki kelainan ini sebenarnya hanya memiliki satu kepribadian, namun si penderita akan merasa kalau ia memiliki banyak identitas yang memiliki cara berpikir, temperamen, tata bahasa, ingatan dan interaksi terhadap lingkungan yang berbeda-beda.

Walaupun penyebabnya tidak bisa dipastikan, namun rata-rata para psikolog sepakat kalau penyebab kelainan ini pada umumnya adalah karena trauma masa kecil.

Untuk memahami bagaimana banyak identitas bisa terbentuk di dalam diri seseorang, maka terlebih dahulu kita harus memahami arti dari Dissociative (disosiasi).

Disosiasi
Pernahkah kalian mendapatkan pengalaman seperti ini: Ketika sedang bertanya mengenai sesuatu hal kepada sahabat kalian, kalian malah mendapatkan jawaban yang tidak berhubungan sama sekali.

Jika pernah, maka saya yakin, ketika mendapatkan jawaban itu, kalian akan berkata "Nggak nyambung!".

Disosiasi secara sederhana dapat diartikan sebagai terputusnya hubungan antara pikiran, perasaan, tindakan dan rasa seseorang dengan kesadaran atau situasi yang sedang berlangsung.

Dalam kasus DID, juga terjadi disosiasi, namun jauh lebih rumit dibanding sekedar "nggak nyambung".

Proses terbentuknya kepribadian ganda
Ketika kita dewasa, kita memiliki karakter dan kepribadian yang cukup kuat dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan. Namun, pada anak yang masih berusia di bawah tujuh tahun, kekuatan itu belum muncul sehingga mereka akan mencari cara lain untuk bertahan terhadap sebuah pengalaman traumatis, yaitu dengan Disosiasi.

Dengan menggunakan cara ini, seorang anak dapat membuat pikiran sadarnya terlepas dari pengalaman mengerikan yang menimpanya.

Menurut Colin Ross yang menulis buku The Osiris Complex (1995), proses disosiasi pada anak yang mengarah kepada kelainan DID terdiri dari dua proses psikologis. Kita akan mengambil contoh pelecehan seksual yang dialami oleh seorang anak perempuan.

Proses Pertama: anak perempuan yang berulang-ulang mengalami penganiayaan seksual akan berusaha menyangkal pengalaman ini di dalam pikirannya supaya bisa terbebas dari rasa sakit yang luar biasa. Ia bisa mengalami "out of body experience" yang membuat ia "terlepas" dari tubuhnya dan dari pengalaman traumatis yang sedang berlangsung. Ia mungkin bisa merasakan rohnya melayang hingga ke langit-langit dan membayangkan dirinya sedang melihat kepada anak perempuan lain yang sedang mengalami pelecehan seksual. Dengan kata lain, identitas baru yang berbeda telah muncul.

Proses Kedua, sebuah penghalang memori kemudian dibangun antara anak perempuan itu dengan identitas baru yang telah diciptakan.

Sekarang, sebuah kesadaran baru telah terbentuk. Pelecehan seksual tersebut tidak pernah terjadi padanya dan ia tidak bisa mengingat apapun mengenainya.

Apabila pelecehan seksual terus berlanjut, maka proses ini akan terus berulang sehingga ia akan kembali menciptakan banyak identitas baru untuk mengatasinya. Ketika kebiasaan disosiasi ini telah mendarah daging, sang anak juga akan menciptakan identitas baru untuk hal-hal yang tidak berhubungan dengan pengalaman traumatis seperti pergi ke sekolah atau bermain bersama teman.

Salah satu kasus kepribadian ganda yang ternama, yaitu Sybil, disebut memiliki 16 identitas yang berbeda.

Menurut psikolog, jumlah identitas berbeda ini bisa lebih banyak pada beberapa kasus, bahkan hingga mencapai 100. Masing-masing identitas itu memiliki nama, umur, jenis kelamin, ras, gaya, cara berbicara dan karakter yang berbeda.

Setiap karakter ini bisa mengambil alih pikiran sang penderita hanya dalam tempo beberapa detik. Proses pengambilalihan ini disebut switching dan biasanya dipicu oleh kondisi stres.

Ciri-ciri pengidap kepribadian ganda
Ketika membaca paragraf-paragraf di atas, mungkin kalian segera teringat dengan salah seorang teman sekolah kalian yang suka mengubah-ubah penampilannya. Bagi kalian, sepertinya ia memiliki identitas yang berbeda.

Atau mungkin kalian teringat dengan salah seorang teman kalian yang biasa tersenyum, namun secara tiba-tiba bisa dikuasai oleh emosi. Ketika amarahnya meledak, kalian bisa melihat wajahnya tiba-tiba berubah menjadi seperti "serigala". Bagi kalian, sepertinya identitas baru yang penuh amarah telah menguasainya.

Apakah mereka pengidap DID?

Bagaimana cara kita mengetahuinya?

Jawabannya adalah pada identitas yang menyertai perubahan penampilan atau emosi tersebut.

Misalkan teman kalian yang suka mengubah penampilan atau sering mengalami perubahan emosi tersebut bernama Edward. Jika ia mengubah penampilan atau mengalami perubahan emosi dan masih menganggap dirinya sebagai Edward, maka ia bukan penderita DID.


Untuk mengerti lebih dalam bagaimana cara membedakannya, lihat empat ciri di bawah ini. Jika di dalam diri seseorang terdapat empat ciri ini, maka bisa dipastikan kalau ia mengidap DID atau kepribadian ganda.

Ciri-ciri tersebut adalah:

  1. Harus ada dua atau lebih identitas atau kesadaran yang berbeda di dalam diri orang tersebut.
  2. Kepribadian-kepribadian ini secara berulang mengambil alih perilaku orang tersebut (Switching).
  3. Ada ketidakmampuan untuk mengingat informasi penting yang berkenaan dengan dirinya yang terlalu luar biasa untuk dianggap hanya sebagai lupa biasa.
  4. Gangguan-gangguan yang terjadi ini tidak terjadi karena efek psikologis dari substansi seperti alkohol atau obat-obatan atau karena kondisi medis seperti demam.
Dari empat poin ini, poin nomor 3 memegang peranan sangat penting.

98 persen mereka yang mengidap DID mengalami amnesia ketika sebuah identitas muncul (switching). Ketika kepribadian utama berhasil mengambil alih kembali, ia tidak bisa mengingat apa yang telah terjadi ketika identitas sebelumnya berkuasa.

Walaupun sebagian besar psikolog telah mengakui adanya kelainan kepribadian ganda ini, namun sebagian lainnya menolak mengakui keberadaannya.

Mereka mengajukan argumennya berdasarkan pada kasus Sybill yang ternama.

Kasus Sybil Isabel Dorsett
Salah satu kasus paling terkenal dalam hal kepribadian ganda adalah kasus yang dialami oleh Shirley Ardell Mason. Untuk menyembunyikan identitasnya, Cornelia Wilbur, sang psikolog yang menanganinya dan menulis buku mengenainya, menggunakan nama samaran Sybil Isabel Dorsett untuk menyebut Shirley.

Dalam sesi terapi yang dilakukan oleh Cornelia, terungkap kalau Sybil memiliki 16 kepribadian yang berbeda, diantaranya adalah Clara, Helen, Marcia, Vanessa, Ruthi, Mike (Pria), Sid (Pria) dan lain-lain. Menurut Cornelia, 16 identitas yang muncul pada diri Sybil berasal dari trauma masa kecil akibat sering mengalami penyiksaan oleh ibunya.

Kisah Sybil menjadi terkenal karena pada masa itu kelainan ini masih belum dipahami sepenuhnya. Bukunya menjadi best seller pada tahun 1973 dan sebuah film dibuat mengenainya.

Namun, pada tahun-tahun berikutnya, keabsahan kelainan yang dialami Sybil mulai dipertanyakan oleh para psikolog.

Menurut Dr.Herbert Spiegel yang juga menangani Sybil, 16 identitas yang berbeda tersebut sebenarnya muncul karena teknik hipnotis yang digunakan oleh Cornelia untuk mengobatinya. Bukan hanya itu, Cornelia bahkan menggunakan Sodium Pentothal (serum kejujuran) dalam terapinya.

Dr.Spiegel percaya kalau 16 identitas tersebut diciptakan oleh Cornelia dengan menggunakan hipnotis. Ini sangat mungkin terjadi karena Sybil ternyata seorang yang sangat sugestif dan gampang dipengaruhi. Apalagi ditambah dengan obat-obatan yang jelas dapat membawa pengaruh kepada syarafnya.

Pendapat Dr.Spiegel dikonfrimasi oleh beberapa psikolog dan peneliti lainnya. 

Peter Swales
, seorang penulis yang pertama kali berhasil mengetahui kalau Sybil adalah Shirley juga setuju dengan pendapat ini. Dari hasil penyelidikan intensif yang dilakukannya, ia percaya kalau penyiksaan yang dipercaya dialami oleh Sybil sesungguhnya tidak pernah terjadi. Kemungkinan, semua ingatan mengenai penyiksaan itu (yang muncul karena sesi hipnotis) sebenarnya hanyalah ingatan yang ditanamkan oleh sang terapis, Cornelia Wilbur. 

Jadi, bagi sebagian psikolog, DID tidak lain hanyalah sebuah false memory yang tercipta akibat pengaruh terapi hipnotis yang dilakukan oleh seorang psikolog. Tidak ada bukti kalau pengalaman traumatis bisa menciptakan banyak identitas baru di dalam diri seseorang.

Menurut Dr.Philip M Coons:

"Hubungan antara penyiksaan atau trauma masa kecil dengan Multiple Personality Disorder sesungguhnya tidak pernah dipercaya sebelum kasus Sybil"
Pengetahuan mengenai kepribadian ganda banyak disusun berdasarkan kasus Sybil. Jika kasus itu ternyata hanya sebuah false memory, maka runtuhlah seluruh teori dissosiasi dalam hubungannya dengan kelainan kepribadian ganda. Ini juga berarti kalau kelainan kepribadian ganda sesungguhnya tidak pernah ada.

Perdebatan ini masih terus berlanjut hingga saat ini dan saya percaya kedua pihak memiliki alasan yang sama kuat. Jika memang DID benar-benar ada dan hanya merupakan gejala psikologi biasa, mengapa masih ada hal-hal yang masih belum bisa dijelaskan oleh para psikolog?

Misteri Dalam DID
Misalnya, ketika sebuah identitas muncul, perubahan biologis juga muncul di dalam tubuh sang pengidap. Kecepatan detak jantungnya bisa berubah, demikian juga suhu tubuhnya, tekanan darah dan bahkan kemampuan melihat.

Lalu, identitas yang berbeda bisa memiliki reaksi yang berbeda terhadap pengobatan. Kadang, pengidap yang sehat bisa memiliki identitas yang alergi. Ketika identitas itu menguasainya, ia benar-benar akan menjadi alergi terhadap substansi tertentu.

Lalu, misteri lainnya adalah yang menyangkut kasus Billy Milligan yang dianggap sebagai kasus DID yang paling menarik. Kisah hidupnya pernah dituangkan ke dalam sebuah buku berjudul "24 wajah Billy".

Billy adalah seorang mahasiswa yang dihukum karena memperkosa beberapa wanita. Dalam sesi pemeriksaan kejiwaan, ditemukan 24 identitas berbeda dalam dirinya.

Identitas yang mengaku bertanggung jawab atas tindakan pemerkosaan itu adalah seorang wanita. Identitas lain bernama Arthur yang merupakan orang Inggris dan memiliki pengetahuan luas.

Dalam interogasi, Arthur ternyata bisa mengungkapkan keahliannya dalam hal medis, padahal Billy tidak pernah mempelajari soal-soal medis. Menariknya, Arthur ternyata lancar berbahasa Arab. Bahasa ini juga tidak pernah dipelajari oleh Billy. Identitas lain bernama Ragen bisa berbicara dalam bahasa Serbia Kroasia. Billy juga tidak pernah mempelajari bahasa ini.

Bagaimana Billy bisa berbicara dalam semua bahasa itu jika ia tidak pernah mempelajarinya?

Misteri ini belum terpecahkan hingga hari ini.

Kecuali tentu saja kalau kita menganggap Billy hanya mengalami kasus kerasukan setan dan tidak menderita DID.

(wikipediamedicinenet.comminddisorders.comskepdic.com)


sourch: 
http://xfile-enigma.blogspot.com

Meluruskan Istilah "Perbedaan Adalah Rahmat"


Pertanyaan : Di antara manusia ada yang mengatakan bahwa perbedaan adalah rahmat?

Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu menjawab :

Perbedaan (ikhtilaf) ada tiga macam:

1. Ikhtilaf al-afham (perbedaan pemahaman)
Para shababat pernah mengalami perbedaan yang seperti ini. Bahkan ‘Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu tetap makan (sahur) hingga jelas baginya perbedaan antara benang yang putih dengan benang yang hitam. Dia menaruh di bawah bantalnya, benang putih dan benang hitam, dan tetap makan (sahur), berdasarkan apa yang dia pahami dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ


“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam.” (QS. Al-Baqarah: 187)

Sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan ayat:

مِنَ الْفَجْرِ

“Yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah: 187)

Ikhtilaful afham insya Allah tidak mengapa. Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Adi bin Hatim radhiyallahu ‘anhu:

إِنَّ وِسَادَكَ لَعَرِيضٌ

“Sesungguhnya bantalmu lebar.”

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengatakan kepadanya: “Ulangilah (puasamu) pada hari-hari yang engkau makan (sahur setelah lewatnya fajar).”

2. Ikhtilaf tanawwu’ (perbedaan/ keanekaragaman tata cara)
Yakni, diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada beberapa macam cara/ bacaan tasyahud dalam shalat, juga ada beberapa macam bacaan shalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ikhtilaf jenis ini, kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang yang jahil (bodoh). Dan keadaannya memang seperti yang beliau rahimahullahu katakan, tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang yang jahil.

3. Ikhtilaf tadhad (perbedaan kontradiktif)
Apa itu ikhtilaf tadhad? Yaitu seseorang menyelisihi suatu dalil yang jelas, tanpa alasan. Inilah yang diingkari oleh para salaf, yaitu menyelisihi dalil yang shahih dan jelas tanpa alasan.

Adapun hadits yang menjadi sandaran mereka yaitu:

اخْتِلَافُ أُمَّتِي رَحْمَةٌ

“Perbedaan umatku adalah rahmat.”

Ini adalah hadits yang tidak ada sanad dan matannya. Munqathi’ (terputus sanadnya) kata As-Suyuthi rahimahullahu dalam kitabnya Al-Jami’ Ash-Shaghir. Beliau rahimahullahu juga berkata: “Mungkin saja ada sanadnya, yang tidak kita ketahui.”

Namun hal ini akan berakibat tersia-siakannya sebagian syariat, sebagaimana dikatakan Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu.

Adapun tentang matan hadits ini, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

وَلاَ يَزَالُوْنَ مُخْتَلِفِيْنَ. إِلاَّ مَنْ رَّحِمَ رَبُّكَ

“Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang yang dirahmati Rabbmu.” (QS. Hud: 118-119)

Mafhum dari ayat yang mulia ini, bahwa orang-orang yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah berselisih. Sedangkan orang-orang yang tidak dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala akan berselisih.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sebagaimana dalam Ash-Shahihain dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

ذَرُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلَافُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ

“Biarkanlah aku dan apa yang aku tinggalkan untuk kalian. Hanyalah yang membinasakan orang-orang yang sebelum kalian adalah banyaknya mereka bertanya, dan banyaknya penyelisihan terhadap nabi-nabi mereka.”

Ini merupakan dalil bahwa ikhtilaf (perselisihan/perbedaan) adalah kebinasaan, bukan rahmat.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda sebagaimana dalam Shahih Al-Bukhari dari hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, di mana Ibnu Mas’ud dan salah seorang temannya berselisih tentang qira`ah (bacaan Al-Qur`an):

لَا تَخْتَلِفُوا كَمَا اخْتَلَفَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَهْلِكُوا كَمَا هَلَكُوا

“Janganlah kalian berselisih sebagaimana orang-orang sebelum kalian telah berselisih, sehingga kalian binasa sebagaimana mereka telah binasa.”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sebagaimana dalam Shahih Muslim dari hadits An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu:

اسْتَوُوا وَلَا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ

“Luruskan (shaf kalian), dan janganlah berselisih, sehingga hati-hati kalian akan berselisih.”

Dalam sebuah riwayat:

لَا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ وُجُوهُكُمْ

“Janganlah kalian berselisih, sehingga akan berselisihlah wajah-wajah kalian.”

Dalam Musnad Al-Imam Ahmad, Sunan Abu Dawud, dari hadits Abu Tsa’labah Al-Khusyani radhiyallahu ‘anhu, disebutkan ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat para shahabatnya berpencar. Mereka singgah di sebuah lembah, lalu setiap kelompok pergi ke tempat masing-masing. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ تَفَرُّقَكُمْ هَذَا مِنَ الشَّيْطَانِ

“Sesungguhnya bercerai-berainya kalian ini adalah dari setan.”

Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk berkumpul. Bila hal ini (terjadi) dalam tercerai-berainya fisik, maka apa sangkaanmu terhadap tercerai-berainya hati? Hadits-hadits tentang hal ini banyak sekali. Saya telah mengumpulkan sebagiannya dalam tulisan pendek yang berjudul Nashihati li Ahlus Sunnah dan telah tercantum dalam Hadzihi Da’watuna wa ‘Aqidatuna.

Yang saya inginkan dari penjelasan ini, bahwa ikhtilaf termasuk kebinasaan. Hanya saja ikhtilaf yang mana? Yaitu ikhtilaf tadhad yang dahulu diingkari oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat. Ikhtilaf tadhad (misalnya):

- Disebutkan dalam Shahih Muslim dari hadits Salamah ibnul Akwa’, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang makan dengan tangan kirinya. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Makanlah dengan tangan kanan.” Orang itu menjawab: “Aku tidak bisa.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda lagi: “Engkau tidak akan bisa.” Maka orang itu tidak bisa mengangkat tangannya ke mulutnya. Tidak ada yang menghalanginya kecuali kesombongan.

- Dalam Ash-Shahih dari hadits Abu Hurairah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menjenguk seorang lelaki tua yang sedang sakit. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Thahur (Sakit ini sebagai penyuci).” Namun lelaki tua itu justru berkata: “Demam yang hebat, menimpa seorang lelaki tua, yang akan mengantarnya ke kubur.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab: “Kalau begitu, benar.”

Akhirnya dia terhalangi dari barakah doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

- Juga kisah seorang laki-laki yang telah kita sebutkan. Yaitu ketika ada dua orang wanita berkelahi, lalu salah seorang memukul perut yang lain, sehingga gugurlah janinnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan agar wanita yang memukul membayar diyat berupa seorang budak. Maka datanglah Haml bin Malik An-Nabighah dan berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimana kami membayar diyat (atas kematian seseorang) yang tidak makan dan tidak minum, tidak bicara tidak pula menangis –atau kalimat yang semakna dengan ini–, yang seperti ini tidak dituntut diyatnya.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam marah, karena lelaki itu hendak membatalkan hukum Allah dengan sajaknya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

إِنَّمَا هَذَا مِنْ إِخْوَانِ الْكُهَّانِ

“Orang ini termasuk teman-teman para dukun.”

Yaitu karena sajaknya.

Adapun pengingkaran para ulama terhadap orang yang menolak Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan akalnya, merupakan perkara yang kesempatan ini tidaklah cukup untuk menyebutkannya. Saya telah menyebutkan sebagiannya dalam akhir risalah Syar’iyyatu Ash-Shalati bin Ni’al, juga dalam Rudud Ahlil ‘Ilmi ‘ala Ath-Tha’inin fi Hadits As-Sihr.
Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

[Diambil dari Ijabatus Sa`il, hal. 518-521]



Sumber : http://www.radiosalafy.com


Read more: http://abuayaz.blogspot.com/2011/03/perbedaan-adalah-rahmat.html#ixzz227pm93xZ

Senin, 30 Juli 2012

Rilis Resmi Imarah Islamiyah Afghanistan Seputar Tragedi Rohingya


Jum’at, 1 Ramadhan 1433 H/ 20 juli 2012 M 
Imarah Islam Afghanistan

 Mujahidin Imarah Islamiyah Afghanistan, peduli nasib kaum muslimin

 Rezim militer dan Budha Myanmar, masih haus dengan darah umat islam. Memasuki bulan Ramadhan, Myanmar tidak mengurangi tekanan dan kekejamannya atas umat islam.

Berikut rilis terbaru dari mujahidin Imarah Islamiyah Afghanistan.

Mujahidin Imarah Islamiyah Afghanistan

Kaum muslimin dari Burma/Myanmar telah menghadapi penindasan dan kebiadaban selama dua bulan terakhir. Kekejaman ini tak pernah disaksikan sebelumnya dalam sejarah umat manusia.

Tanpa ampun, mereka membakar anak-anak, wanita dan pria seperti memanggang domba di atas api. Tidak ada manusia yang ingin diperlakukan seperti itu, namun sayangnya muslim di Myanmar telah mengalaminya. 

 Muslim Rohingya, menanti bantuan saudara seiman

Tidak hanya itu, mereka juga diusir dari tanah mereka, dikeluarkan dari rumah mereka, kekayaan mereka dirampas dan kehormatan mereka dijarah sementara seluruh dunia menutup mata untuk penderitaan mereka.

Imarah Islamiyah Afghanistan, selain mempertimbangkan kejahatan ini, mencoba untuk mengingat kembali bekas luka hitam pada sejarah umat manusia. Mendesak pemerintah Burma/Myanmar  untuk segera meletakkan senjata dan berhenti berbuat kejam dan biadab. Mereka harus menyadari bahwa ini bukan hanya kejahatan terhadap kaum Muslim di Burma/Myanmar tetapi terhadap semua umat manusia dan terutama kejahatan yang tak termaafkan terhadap seluruh dunia Islam.

 Muslim Rohingya, jadi sorotan umat islam

Sementara itu, Imarah Islamiyah Afghanistan menyerukan masyarakat internasional, khususnya semua organisasi HAM dan semua media internasional terutama Al-Jazeera untuk memenuhi kewajiban moral dan kemanusiaan dengan mengekspos barbarisme ini dan menginformasikan kepada masyarakat tentang realitas tersebut. Kemudian, seluruh kaum muslimin harus memenuhi kewajiban mereka melawan kekejaman dan teror yang tidak proporsional ini.


Afghanistan (lasdipo.com)

PIARA: Kita Lebih Sibuk Urus Ariel Daripada Rohingya



 
Etnis Muslim Rohingnya tetap taat beragama
Etnis Muslim Rohingnya, Arakan masih mengharapkan uluran tangan negara lain, khususnya negara-negara Muslim seperti Indonesia juga menekan rezim junta militer Myanmar (Burma).
Pernyataan ini disampaikan Dr Heru Susetyo dari Pusat Informasi dan Advokasi Rohingya-Arakan (PIARA) dalam diskusi publik bertema, “Muslim Rohingya: Lukamu adalah Luka Kami Semua”, di UI, di Universitas Indonesia Senin kemarin.
Heru juga menyampaikan bahwa Muslim Arakan ingin hidup bebas menjalankan agamanya, melanjutkan pendidikan sampai dipermudah melakukan pernikahan.
Sebagai negara Muslim terbesar di dunia, Indonesia seharusnya bisa berbuat lebih dari Muslim Malaysia yang lebih konkrit begerak meski hanya berpenduduk 16 juta jiwa. Tapi faktanya tidaklah demikian, ujar Heru.
“Kita lebih sibuk mengurus Ariel daripada Muslim Rohingya,” ujar pakar hukum ini.
Lebih jauh,Heru menyampaikan fakta duka Muslim etnis Rohingnya tersebut. Meski Myanmar merdeka pada tahun 1948, sejatinya Muslim Arakan belum sempat merasakan manisnya kebebasan. Ketika rezim Militer berkuasa tahun 1988, intensitas penindasan terus meningkat terhadap mereka..
“Jadi duka Arakan sudah berlangsung lama, tapi dulu belum ada media sosial,” demikian dikatakan.
Heru menceritakan pengalamannya ketika mengunjungi Myanmar pada tahun 2009. Menurutnya, Myanmar adalah negara yang memprihatinkan. Padahal, Myanmar adalah negara dengan sumber daya alam terbesar kedua di Asia Tenggara setelah Indonesia.
“Tapi rakyat mereka tetap miskin, yang kaya rezim militer,” paparnya yang menjelaskan Arakan adalah propinsi paling miskin di Myanmar.
Selama ini berbagai metode juga dilakukan pemerintah Myanmar agar orang Rohingya keluar dari Arakan. Mulai dari pemerkosaan struktural, pembatasan pernikahan, hingga membatasi kehamilan. Namun Muslim Rohingya tidak bisa berbuat banyak.
“Siapa yang mau melawan, karena mereka minoritas,” ceritanya.
Meski demikian masyarakat diminta untuk tidak memandang sebelah mata pengungsi muslim Arakan. Walau hidup dalam penindasan, mereka memiliki semangat Islam luar biasa.
“Saya pernah melihat tempat pengungsian mereka di Thailand, di sana anak-anak mereka belajar mengaji,” kenang mahasiswa program Doktor Chulalongkorn University, Bangkok ini.*


Selasa, 24 Juli 2012 
Hidayatullah.com
oleh: Cholis Akbar

Pembantaian Muslim Rohingya; SUU KYI "PANEN" KECAMAN


Sudah lama saya (blogger) curiga dengan sosok Aung San Suu Kyi, "pejuang demokrasi" dan salah satu "ikon pecinta perdamaian" dunia. Suaminya yang orang Inggris dan latar belakang pendidikannya di universitas elit Inggris ditambah namanya yang meroket di dunia internasional-lah penyebab kecurigaan saya. Karena media-media massa barat tidak akan pernah "mengangkat" nama seseorang demikian tinggi kecuali dengan "imbalan" atau "tujuan" tertentu.

Dan kecurigaan saya terbukti sudah dengan sikap bungkamnya atas pembantaian sistematis yang kini dialami kaum muslim Rohingya di Myanmar. Ia mencoba menghindar dari "kewajiban moral" membela orang-orang Rohingya, saat diminta komentarnya oleh media massa tentang nasib orang-orang Rohingya itu, dengan berpura-pura tidak mengetahui status kewarganegaraan orang-orang Rohingya itu. Namun hal ini justru menimbulkan kesan kemunafikannya karena sebagai seorang pejuang HAM mustinya ia tidak melihat status kewarganegaraan seseorang yang tengah mengalami penindasan. Selain itu komentar ketidaktahuan status kewarganegaraan orang-orang Rohingya juga memperlihatkan "kebodohannya". Orang-orang Rohingya, meski berasal dari luar Myanmar, namun sudah ratusan tahun hidup di Myanmar jauh sebelum negara Myanmar terbentuk.

Dan karena sikap munafik dan bodoh itulah Suu Kyi harus memanen kecaman dari berbagai belahan dunia. 

"Sangat mengecewakan, ia berada pada posisi sulit, namun orang kecewa dengan sikap diamnya," kata Anna Roberts, pimpinan LSM Burma Campaign yang bermarkas di Inggris. 

“Dalam hal ini ia melewatkan kesempatan untuk menyampaikan hal-hal terpuji," kata Brad Adams, direktur Human Rights Watch wilayah Asia. 

“Segalanya terasa meledak saat ia berkeliling Eropa namun tidak menyinggung (masalah Rohingya) sama sekali," tambah Brad Adams menyinggung kunjungan Suu Kyi ke beberapa negara Eropa baru-baru ini.

Suu Kyi juga dikritik kalangan aktifis kemanusiaan karena menolak mengkritik Presiden Myanmar Thein Sein, mantan jendral, yang melakukan kebijakan "pembersihan etnis" atas orang-orang Rohingya. Menurut Thein Sein orang-orang Rohingya yang berjumlah sekitar 800.000 orang itu harus direlokasi ke kamp-kamp pengungsi sebelum diusir ke Bangladesh.

Para analis politik percaya sikap diam Suu Kyi adalah karena motifasi politik. Ia yang kini telah menjadi anggota parlemen dan bakal mencalonkan diri menjadi presiden dalam pemilu tahun 2015 mendatang, tidak ingin ditinggalkan orang-orang Buddha yang merupakan warga mayoritas Myanmar dengan membela orang-orang Rohingya.

Pemerintah Myanmar menolak mengakui kewarganegaraan orang-orang Rohingya dan menyebut mereka sebagai pendatang ilegal, meski bukti-bukti sejarah menunjukkan orang-orang Rohingya telah tinggal di Myanmar sejak abad 8 masehi. Mereka berdarah campuran antara Persia, Turki, Bengali dan Pathan. 

Menurut laporan PBB, kebijakan diskriminasi yang dilakukan pemerintah Myanmar membuat orang-orang Rohingya terlantar. Pemerintah membatasi mobilitas mereka dan menahan hak kepemilikan tanah bagi mereka sebagaimana juga hak-hak sosial seperti pendidikan dan kesehatan.

Berbagai laporan menyebutkan ribuan orang Rohingya telah menjadi korban pembantaian yang dilakukan orang-orang Buddha Myanmar dengan fasilitas pemerintah. Pada tgl 28 Juni lalu dikabarkan sebanyak 650 orang Rohingya tewas dibantai. Angka itu di luar 1.200 orang Rohingya yang hilang dan 80.000 lainnya yang terusir dari tempat tinggalnya. 



Ref:
"Myanmar’s Suu Kyi under fire for silence on Rohingya massacre"; Press TV; 27 Juli 2012

http://cahyono-adi.blogspot.com

artikel terkait:

PM Turki Erdogan Ancam Akan Membalas Perlakuan Pemerintah Myanmar

Minggu, 29 Juli 2012

Belajar Islam Kok Ke Barat? part 3

Agenda di Balik Studi Islam di Barat, Hati-hati!

Ada upaya meminimalisir sentimen terhadap Barat. Caranya, melalui jalur pendidikan. Inikah agenda di balik studi Islam di Barat? 

Tidak selamanya lulusan Barat terpengaruh gaya berfikir ala Barat yang liberal dan sekuler. Sebagian ada yang tetap kritis, bahkan ikut dalam menghadang gerakan sekularisme dan liberalisme di Indonesia.

Professor Rasjidi, misalnya. Lulusan program Islamic Studies di Universitas McGill, Kanada ini justru ikut dalam menghadang gerakan anti sekularisme dan liberalisme di Indonesia. Menurut mantan Menteri Agama RI pertama ini, pada umumnya belajar Islam di Barat sangat terpengaruh oleh pemikiran orientalis.

“Inilah salah satu kekurangan belajar Islam di Barat, dan sulit dihindari,” ujarnya.

Hal senada juga disampaikan Hamid Fahmi Zarkasyi, lulusan Inggris. Kampus-kampus di Barat mempelajari Islam dengan framework (cara berfikir) orientalis. Dimana framework orientalis itu begitu detail dan rumit, sehingga kalau tidak cermat orang yang sedang belajar Islam di sana tidak akan menyadarinya.

Padahal, ungkapnya, cara orientalis dalam mempelajari Islam ini sangat berbahaya. Pasalnya, mereka mempelajari Islam bukan untuk mencari kebenaran, melainkan semata-mata untuk ilmu.

“Artinya Islam tidak dipelajari berdasarkan iman, sehingga bertambahnya ilmu tidak otomatis menjadikan bertambahnya iman. Bahkan sebaliknya dapat makin menjauhkan orang dari Tuhan,” ulas Fahmi Zarkasyi kepada Suara Hidayatullah melalui sambungan telepon. Oleh karena itu, di Barat ilmu tidak dipakai untuk beriman, dan sudah sejak lama ilmu dipisahkan dengan agama.

Walhasil, orang Islam yang belajar Islam dengan menggunakan framework orientalis ini akan menjadi Muslim yang kritis terhadap tradisi intelektual Islam, tetapi apresiatif terhadap tradisi intelektual Barat. Di sinilah Islam dipelajari secara telanjang, tidak dengan iman. “Jadi bagaimana mungkin Anda belajar ilmu tafsir tanpa keimanan? Surûthu tafâsir (syarat-syarat menafsirkan -red) nya saja sudah dilanggar,” ujar Hamid. Yang paling jelas, tambah Hamid, cara mempelajari Islam seperti ini akan merubah cara pandang orang terhadap Islam.

Perubahan cara pandang ini pada akhirnya akan merubah banyak hal, termasuk merubah cara berfikir dan merubah cara berislam orang yang bersangkutan.

Sementara menurut Syamsuddin Arif dari Johann Wolfgang Goethe-Universität, Frankfurt am Main, Jerman, efek negatif belajar Islam di Barat adalah orang bisa menjadi skeptis (senantiasa meragukan), agnostik (selalu mencari tapi tidak pernah menemukan), pedantik (cenderung berbelit-belit), reduksionistik (suka mengerucutkan permasalahan), dan lain sebagainya.

Walaupun menurutnya ini tergantung pada masing-masing individunya. ”Kalau yang bersangkutan 'ignorant', jahil mengenai agamanya sendiri dan buta akan tradisi intelektual Islam, apalagi kalau sudah kemasukan inferiority complex alias minder, tentu mudah sekali terpukau dan terpengaruh oleh hasil kajian islamolog Barat,” ujar dosen Universitas Antar Bangsa Malaysia ini.

Di samping itu, giatnya Barat mengundang mahasiswa muslim untuk belajar Islam di universitas mereka juga memiliki tujuan tertentu. Hal ini tidak terlepas dari agenda mereka untuk merubah pandangan umat Islam terhadap agamanya.

Sebagaimana yang dijelaskan Hamid, bahwa sekarang ini Barat menginginkan orang Islam memahami Islam sebagaimana Barat memahami Islam. “Karena sementara ini mereka menganggap bahwa pemahaman-pemahaman Islam yang berasal dari lembaga-lembaga Islam seperti pesantren menghasilkan Islam yang tidak toleran terhadap agama lain atau bangsa lain yang pada puncaknya tidak toleran terhadap Barat,” Hamid memberikan alasannya.

Menghilangkan Sentimen Anti-Barat


Djayadi Hanan, mahasiswa S3 The Ohio State University USA, juga membenarkan penjelasan Hamid. Menurutnya, program beasiswa studi Islami ke Barat adalah merupakan upaya pihak Barat (Amerika Serikat) membangun hubungan dengan dunia Islam, khususnya Indonesia .

Menurut perspektif mereka (Barat), ini adalah strategi meminimalisir sentimen negatif terhadap Barat (AS maupun Eropa) yang tumbuh di masyarakat Muslim. Semakin banyak mahasiswa muslim belajar ke AS, semakin terbuka peluang mereka membangun jembatan ke dunia Islam.

“Mereka anggap cara militeristik tidaklah ampuh untuk meredam kebencian masyarakat muslim terhadap Barat. Maka dilakukan pendekatan sosial, dalam dunia politik dikenal dengan cara soft power (kekuasaan lunak). Dan itu salah satunya melalui pendidikan,” ujar mantan Ketua Umum PB PII periode 1998-2000 ini.

Jalaluddin, alumni Al-Azhar Mesir, mengamini pendapat di atas. Menurutnya, meskipun kajian orientalis nampak obyektif dan tanpa interest (kepentingan), namun sebenarnya ia berfungsi untuk tujuan politik. Hal ini, ulasnya, dapat dilihat dari isu-isu yang digulirkan dalam studi-studi Islam di Barat, seperti sistem politik demokrasi, doktrin kesetaraan gender, pluralisme agama, hak asasi manusia, liberalisme, sekularisme dan relativisme, yang kesemuanya memiliki nilai-nilai pro Barat.

”Maka sulit untuk tidak mengatakan bahwa studi-studi Islam tidak digunakan untuk mendukung ide-ide Barat,” ujar pria yang sehari-hari mengajar di UIN Malang ini.

Syamsuddin Arif setuju dengan hal ini. Menurutnya studi Islam di Barat misinya sudah jelas, yaitu untuk mempertahankan dan mengukuhkan hegemoni intelektual Barat atas dunia Islam. Lebih jauh Syamsuddin mengatakan ada hubungan yang sangat erat antara program ini dengan agenda-agenda tertentu yang jelas berpihak pada kepentingan politik, ekonomi dan budaya mereka. ”Hal ini dapat dimaklumi dan terlalu naif untuk kita pungkiri,” tegasnya.

Jika demikian apakah masih boleh umat Islam belajar Islam ke Barat?

Jalaluddin menjelaskan bahwa makna ”belajar Islam” itu sendiri mengandung arti tilawah (membaca), taklim (menambah ilmu dan rasa takut kepada Allah) dan tazkiyah (mensucikan jiwa) guna mencapai tujuan puncak yaitu tauhid. Artinya dengan belajar Islam seyogyannya seorang muslim semakin dekat dengan Al Quran, semakin shaleh dan takut kepada Allah, mengamalkan ilmunya, semakin bersih jiwa dan semakin murni tauhidnya. ”Nah, tujuan-tujuan ini barangkali tidak kita dapatkan kalau kita belajar ke Barat, sebab tidak ada keteladanan amal di sana,” ujarnya.

Namun, Hamid, Jalaluddin dan Syamsuddin sepakat mengatakan boleh. Asal yang bersangkutan harus memiliki bekal terlebih dahulu. Apa bekalnya?

Pertama, niatnya harus benar. “Niatnya meningkatkan pengetahuan, menambah pengalaman dan memperluas wawasan lillahi ta'ala, bukan li-dunya yushibuha (karena motivasi keduniaan, -red),” terang Syamsuddin.

Kedua, ”Yang bersangkutan harus sudah matang dulu secara intelektual maupun spiritual,” lanjut Syamsuddin.

Untuk syarat kedua ini Hamid menjelaskan lebih jauh, bahwa yang bersangkutan harus memiliki latar belakang pemikiran khazanah dalam tradisi-tradisi Islam. “Jadi penguasaan Islamnya mencukupi, haditsnya mencukupi, tafsir, fikihnya mencukupi. Baru dia ke Barat,” ujarnya. Dan yang tak kalah penting menurut Hamid, sebelum belajar filsafat Barat orang itu harus belajar filsafat Islam lebih dulu.*

Syaikh Al Utsaimin:
Jika Ilmu yang Dituntut Tidak Mendatangkan Maslahat,
Maka Tidak Boleh Bermukim di Negeri Kuffar


Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, salah satu anggota Dewan Ulama Saudi Arabiya pernah ditanya: “Bagaimana hukumnya bermukim di negeri kuffar?”

Setelah memberikan mukaddimah, kemudian Beliau rahimahullah menyebutkan dua syarat pokok dibolehkannya tinggal di negeri kuffar. Pertama, orang yang mukim terjamin keamanan agamanya, yaitu ia harus memiliki ilmu, keimanan dan kuatnya tekad untuk beristiqomah dalam agamanya. Kedua, ia mampu melaksanakan syiar-syiar agamanya dengan tanpa halangan, seperti menunaikan shalat, melaksanakan shalat jum'at, berzakat, berpuasa, berhaji dan syiar-syiar lainnya.

Setelah terpenuhinya dua syarat pokok di atas, Beliau rahimahullah membagi beberapa hal tentang dibolehkannya bermukim di negeri kuffar. Di antara hal tersebut adalah boleh bermukim di negeri kuffar dalam rangka belajar. Kemudian beliau menyebutkan empat syarat dalam hal ini, selain dua syarat pokok di atas:

Pertama, penuntut ilmu haruslah orang yang sudah matang akal pikirannya, yang dapat membedakan hal yang bermanfaat dan hal yang membahayakan. Ia harus dapat memandang jauh ke depan. Kedua, penuntut ilmu harus memiliki ilmu agama yang cukup untuk membedakan hal yang benar dan yang salah. Ketiga, penuntut ilmu harus memiliki motivasi beragama yang kuat, sehingga agama akan menjaganya dari kekufuran dan kefasikan. Keempat, hendaknya ilmu yang dituntut di negeri kuffar benar-benar dibutuhkan bagi kemaslahatan kaum muslimin, dan tidak dapat dipelajari melainkan di institusi-institusi pendidikan di dalam negeri kuffar tersebut.

Jika ilmu yang dituntut tidak mendatangkan kemaslahatan yang penting bagi kaum muslimin, atau ilmu itu dapat dipelajari di institusi-institusi pendidikan di negeri kaum muslimin, maka bermukim di negeri kuffar dalam keadaan demikian tidak diperbolehkan karena banyaknya bahaya yang mengancam agama, akhlak, membuang-buang harta yang banyak tanpa faidah. 

5. Dr. Syamsuddin Arif, Dosen IIUM Malaysia


‘Tak Mungkin Belajar Islam pada orang yang Seumur Hidupnya Junub”

Lutfie Assyaukanie pernah mengatakan, "Asiknya belajar Islam di Barat" Anda sendiri menemukan di mana asiknya?

Kalau ingin mempelajari seluk-beluk ajaran Islam secara serius lagi mendalam, dengan tujuan menjadi ulama pewaris Nabi dalam arti yang sesungguhnya, maka universitas-universitas di Barat bukanlah tempatnya –paling tidak hingga sekarang ini dan mungkin pula sampai nanti.

Bagaimana mungkin seorang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak pernah bersuci, tidak pernah shalat, disebut ahli hadis, ahli tafsir, ahli fiqh? Bagaimana mungkin orang yang seumur hidupnya dalam keadaan junub disejajarkan dengan Imam as-Syafi'i, Imam Ahmad, Imam al-Ghazali? Hayhaata hayhaata, saa'a maa yahkumuun (Aduhai, aduhai sungguh suatu keputusan yang buruk-red).

Namun kalau tujuannya mempelajari cara sarjana Barat mengkaji Islam, maka saya kira bukan masalah. Adapun soal asiknya belajar di Barat itu memang betul. Tapi ini tentu bukan hanya di Barat, tetapi lebih tepatnya di negeri orang. Bagi orang Barat belajar di Timur itu mengasikkan, banyak kejutan karena serba tak pasti. Berbeda dengan suasana di negeri asal mereka yang semuanya teratur dan serba terencana, sehingga hidup sehari-hari monoton menjemukan. Sebaliknya, bagi orang Timur hidup di Barat itu nyaman dan menyenangkan. Lingkungannya bersih, transportasi murah, lancar, aman, dan lain sebagainya. Jadi, yang asik bagi saya itu suasana hidup di Barat, bukan belajar Islam di Barat.

Menurut Anda, untuk seorang Muslim Indonesia, perlukah belajar studi Islam di Barat?

Nah, pertanyaan ini sudah betul. Belajar studi Islam di Barat, bukan belajar Islam. Jawabannya, menurut saya, tetap perlu, meski harus diikat dengan niat dan syarat yang jelas. Niatnya meningkatkan pengetahuan, menambah pengalaman dan memperluas wawasan lillahi ta'ala, bukan li-dunya yushibuha. Pelajarilah apa metodologi riset yang biasa disebut sebagai technique of scholarship, yang menggabungkan penguasaan bahasa, budaya dan sejarah dengan kecakapan filologi dan ketajaman analisis falsafi. Adapun syaratnya yang bersangkutan harus sudah matang dulu secara intelektual maupun spiritual.

Sebenarnya, apa sih efeknya jika belajar studi Islam di Barat?

Efeknya banyak, bisa positif dan bisa negatif. Positifnya anda dilatih untuk serius dan teliti dalam mengkaji suatu masalah. Anda juga akan paham mengapa dan untuk apa orang-orang Barat itu menekuni studi Islam.

Efek negatifnya juga ada. Menjadi skeptis (senantiasa meragukan), agnostik (selalu mencari tapi tidak pernah menemukan), pedantik (cenderung berbelit-belit), reduksionistik (suka mengerucutkan permasalahan) dan lain sebagainya. Namun, menurut saya, soal efek ini tergantung orangnya. Kalau yang bersangkutan 'ignorant', jahil mengenai agamanya sendiri dan buta akan tradisi intelektual Islam, apalagi kalau sudah kemasukan 'inferiority complex' alias minder, tentu mudah sekali terpukau dan terpengaruh oleh hasil kajian islamolog Barat.

Bukankah, di banyak kasus, orang mengaku menemukan Islam di Barat?

Saya kira itu ungkapan frustasi yang berlebihan. Sebuah jawaban untuk pertanyaan yang telah menggangu para pemikir Muslim dari mulai Abduh, Iqbal, Rahman hingga al-Attas: limaadza ta'akhkhara l-muslimun wa taqaddama ghayruhum? Kenapa umat Islam tertinggal, sementara umat-umat lain maju pesat? Keterbelakangan umat bukan disebabkan oleh ajaran Islam, sebagaimana kemajuan Barat bukan dikarenakan agamanya. Kemajuan, kebersihan, kesehatan, ketertiban itu soal mentalitas, soal disiplin, kejujuran dan kerja keras. Meminjam ungkapan almarhum Ustadz Rahmat Abdullah: " Umat islam ini bagaikan mobil tua yang remnya pakem, sedangkan Barat itu bagiakan mobil mewah yang remnya blong."

Menurut Anda, apakah studi-studi Islam di Barat atau Eropa itu selalu kental misi orientalisme?

Saya tidak ingin memukul-rata. Namun, pada banyak kasus memang tak dapat dipisahkan dari agenda-agenda tertentu yang jelas berpihak pada kepentingan politik, ekonomi, budaya mereka. Hal ini dapat dimaklumi dan terlalu naif untuk kita pungkiri.*



(suara hidayatullah)

Belajar Islam Kok Ke Barat? part 2


Produk Barat Made in Lokal

Belajar Islam di Barat kini mempunyai gaya baru. Tidak dengan berangkat ke sana, tapi tetap belajar di Indonesia. Hanya saja sistem belajarnya meniru model belajar Islam di Barat.

Di Yogyakarta misalnya, tahun ini dibuka studi agama yang bernama ”Inter-religious International Ph.D. Program”. Program ini bertempat di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, dan terselenggara atas kerjasama UGM, UIN Sunan Kalijaga dan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW). Ketiga kampus itu bekerjasama membentuk satu konsorsium yang diberi nama ”Indonesian Consortium for Religious Studies” (ICRS- Yogya). Direktur konsorsiumnya adalah Pror Dr Bernard Adeney-Risakotta, seorang Kristen asal Amerika Serikat. Inilah satu-satunya program doktor studi agama yang diprakarsai oleh universitas muslim, kristen, dan nasional-sekuler.

Penekanan utama dari program ini adalah studi tentang agama-agama di Indonesia, khususnya Islam. Program diselenggarakan dengan bahasa Inggris. Dan selama satu semester para mahasiswa diharuskan kuliah di universitas terkemuka di luar negeri.

Yang menarik dari program ini adalah dosen-dosen yang direncanakan akan mengajar. Dari UIN Yogya ada nama Prof. Dr. M. Amin Abdullah yang sudah tersohor sebagai pendukung pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd. Ada juga Dr. Nurcholish Setiawan, murid Abu Zayd yang menerbitkan disertasinya dengan judul ”Al-Quran Kitab Sastra Terbesar”. Kemudian ada pula Prof. Dr. Machasin yang menerbitkan disertasinya dengan judul ”Al-Qaddi Abd al-Jabbar, Mutasyabih al-Quran: Dalih Rasionalitas Al-Qur’an.”

Lainnya adalah Dr. Fatimah Husein yang menulis disertasi doktor di Melbourne University tentang hubungan Islam-Kristen di Indonesia dalam perspektif Muslim Inklusif dan Muslim Eksklusif. Ada juga Dr. Sahiron Syamsuddin, yang dikenal banyak menulis mengenai pemikir liberal asal Suria, Muhammad Syahrur. Lalu, ada Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain yang disertasinya diterbitkan dengan judul ”Gerakan Ahmadiyah di Indonesia”.

Di samping dosen lokal ada juga rencana mendatangkan dosen dari luar. Diantara dosen tamu yang direncanakan memberi kuliah adalah Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zaid (Utrecht, ISIM), Prof. Dr. Abdullahi A. An Na'im, dan Dr. Khaled M Abou El Fadl (UCLA). Ketiganya adalah tokoh-tokoh muslim sekuler-liberal. Nasr Hamid adalah pemikir asal Mesir yang dikenal dengan pendapatnya bahwa Al-Quran adalah produk budaya (muntaj tsaqafi), Abdullahi A. An Na'im bulan lalu berkunjung ke Indonesia dalam rangka mempromosikan buku terbarunyanya yang berjudul Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syari’ah. 

Pada proses seleksi di tahun pertama ini, ICRS-Yogya sudah meloloskan 17 mahasiswa, yang kemudian menyusut menjadi 15 mahasiswa karena 2 orang mengundurkan diri. Dari 15 mahasiswa tersebut, 3 orang berasal dari Pilipina, Polandia, dan Serbia, selebihnya dari dalam negeri dan mayoritas adalah muslim. Pilihan bidang favorit dalam program doktor ICRS ini adalah Religious Study.

Menurut Elis Zuliati Anis, ICRS-Yogya Administrative Assistant, ICRS berhasil menggandeng mitra dari Ford Foundation, yang akan menyediakan seluruh fasilitas untuk ICRS-Yogya, termasuk di antaranya menanggung gaji dosen yang mengajar, dan memberikan living cost bagi mahasiswa sebesar Rp 500.000,-/bulan.

ICRS saat ini terpilih oleh DIKTI sebagai Center of Exellence dalam bidang Religious Study di UGM, dan dipercaya untuk menyeleksi 9 beasiswa penuh S-3 ke luar negeri sebagai ikatan dinas, yang berkewajiban mengajar di CRCS/ ICRS setelah selesai studi.

Di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta juga sudah dibuka program Master dengan jurusan Islamic Studies. Program ini memakai pola Islamic Studies di McGill University.

3. Potret Alumni Pendidikan ala Barat

 
Sejumlah mahasiswa di kampus Islam mengeluh, dosennya lulusan Barat malah nyeleneh.

Menurut salah satu sumber Suara Hidayatullah, jumlah dosen di kampus Pascasarjana UIN Jakarta yang menyandang gelar doktor atau master dari Barat mencapai 20%. Setara dengan jumlah dosen lulusan Timur Tengah dan Mesir.

Hal yang sama juga di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Amin Abdullah, seorang aktifis Muhammadiyah yang terkenal berpikiran liberal ini, jajaran pimpinan mayoritas diisi oleh alumni Barat. Misalnya Fatimah Husein, lulusan McGill University dan Monash University. Ada juga, Hamim Ilyas dengan pemikiran kontroversialnya yang membolehkan perempuan menjadi imam shalat.

Hal ini diakui sendiri oleh Drs. H. Ali bin Abdul Manan, MM, Kepala Bagian Kepegawaian UIN Sunan Kalijaga. Menurutnya, jajaran pimpinan di univeritas saat ini adalah keluaran McGill University, termasuk Amin Abdullah. Hal ini dapat dimaklumi, pasalnya sudah sejak tahun 90-an hingga saat ini, UIN Sunan Kalijaga terus mengirimkan dosennya untuk belajar Islam di McGill University Kanada. Pengiriman ini adalah hasil kerjasama UIN Sunan Kalijaga dengan CIDA dan McGill University sendiri.

Pak Ali – demikian Kabag Kepegawaian UIN Sunan Kalijaga itu biasa disapa - tidak dapat memastikan komposisi dosen UIN lulusan Barat, karena diakuinya manajemen di lingkup kepegawaian masih belum begitu rapi, sehingga kadang ada dosen yang ke luar negeri tanpa melapor ke bagian yang dipimpinnya.

Namun Ali menegaskan, kerjasama dengan CIDA dan McGill University hingga saat ini masih terus berjalan. Banyak program-program yang ditunjang oleh kerjasama ini, baik studi lanjut, program pengembangan manajemen, maupun pertukaran guru besar.

Arif Maftuhin, dosen UIN Sunan Kalijaga lulusan Seattle University USA yang mendapatkan beasiswa Fullbright, menambahkan, sekitar ratusan dosen UIN Sunan Kalijaga telah belajar Religious Study di McGill University. Mereka biasanya sudah mengadakan ikatan dinas, dimana begitu pulang ke Indonesia diharuskan mengajar di UIN Sunan Kalijaga. Artinya, dengan data dosen per Juni 2007 sebanyak 291 orang, maka hampir dapat dipastikan bahwa sebagian besar pengajar di UIN Sunan Kalijaga adalah lulusan McGill University.

Oleh karena itu, Ratna, staf bagian kepegawaian saat dikonfirmasi menjelaskan, jika diperbandingkan, maka jumlah dosen lulusan universitas Timur Tengah yang mengajar di UIN Sunan Kalijaga sangat sedikit jika dibandingkan dengan lulusan Barat. Dan biasanya para dosen itu kuliah ke Timur Tengah atas usaha sendiri, bukan karena difasilitasi kampus.
 
***

Tentu akan muncul pertanyaan, ada apa dengan mereka yang mendapat gelar dari Barat? Berikut ini potret anak negeri yang pernah dan sedang “nyantri” di Barat.

1. Harun Nasution. Lulusan Islamic Studies McGill University ini dikenal sebagai pelatak dasar sekularisme dan liberalisme di IAIN dan STAIN. Buku Harun yang berjudul “Islam Ditijau dari Berbagai Aspeknya” dijadikan buku wajib untuk mata kuliah Pengantar Agama Islam, mata kuliah yang wajib diambil oleh seluruh mahasiswa IAIN, STAIN dan UIN.

Padahal, menurut Prof Rasjidi, mantan Menteri Agama RI yang pertama, dalam bukunya berjudul “Koreksi Terhadap DR. Harun Nasution tentang Islam Ditijau dari Berbagai Aspeknya” ini menyatakan, dalam buku Harun itu banyak terdapat ide-ide sangat berbahaya mengenai Islam. Salah satunya adalah penjelasan Harun bahwa Islam memiliki posisi yang sama dengan agama-agama lain, yaitu sama-sama agama yang berevolusi (evolving religion). Padahal Islam adalah satu-satunya agama wahyu, yang berbeda dengan agama-agama lain, yang merupakan agama sejarah dan agama budaya (historical and cultural religion).

Disamping itu, ketika menjabat rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Harun mendirikan Islamic Studies dengan model MIIS di IAIN.

2. Nurcholis Madjid. Mendiang merupakan salah seorang pencetus ide sekularisme di Indonesia. Melalui ceramahnya yang berjudul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” pada 03 Januari 1970 itulah Nurcholis mulai melemparkan ide sekularisme. Ungkapan yang paling terkenal dari pidatonya waktu itu adalah “Islam Yes Partai Islam No”.

Kemudian Nurcholis kembali menggegerkan umat Islam pada tahun 1992, ketika ia menyampaikan pidatonya di TIM dengan judul “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia”. Dalam pidatonya ia mengkritik fundamentalisme agama yang dianggapnya lebih berbahaya dari narkoba.

3. Ulil Abshar Abdalla. Mantan koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) ini kini sedang “nyantri” di Boston University untuk mendapatkan gelas S2 dan S3 sekaligus. Pemikiran liberalnya sudah banyak yang dipublikasikan. Di antaranya yang dimuat Majalah Gatra (21/09/02). Dalam artikelnya itu Ulil menulis, “Semua agama sama. Jadi, Islam bukan yang paling benar”. Di lain tulisannya ia menulis, “Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan,semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya (Kompas, 18 November 2002). 

4. Nur Kholish Setiawan. Ia merupakan salah satu murid kesayangan Nasr Hamid Abu Zayd. Ia pernah menerbitkan buku dengan judul “Al-Qur`an Kitab Sastra Terbesar”. Pikiran-pikirannya tak jauh beda dengan sang guru, menganggap al-quran sebagai produk budaya. Kini ia mengajar di UIN Suan Kalijaga Yogyakarta.*


Menyebar Pemikiran Liberal di Kampus

 
Sholihin, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta mengaku pusing dengan ulah dosen-dosen lulusan Barat. Menurutnya, para dosen itu bukannya membawa pemikiran orisinil tentang Islam sebagaimana literatur aslinya, tapi justru banyak yang mengusung ide-ide liberalisme dan pluralisme ketika mengajar mahasiswanya.

“Mereka selalu membawa isu-isu kesetaraan gender dan pluralisme ketika mengajar,” ujar Sholihin. Menurut mereka, ungkap Sholihin, dosen-dosen itu selalu menekankan persamaan antara laki-laki dan perempuan di berbagai sektor.

“Bahkan tidak jarang para dosen tersebut mengkritisi beberapa tafsir Al-Quran yang dinilai tidak sensitif gender sehingga harus diubah.”

Senada dengan Sholihin, Jabir, mahasiswa S2 program Islamic Studies UIN Jakarta mengatakan bahwa dosen-dosen lulusan Barat mayoritas menggiring mahasiswanya untuk berpikiran liberal.*

Suara Hidayatullah)

Belajar Islam Kok Ke Barat?? part 1

Belajar Islam di Barat. Sebenarnya bukan termasuk istilah baru, hanya saja kini jadi tren di sebagian kalangan akademisi Muslim. Meminjam ungkapan Djayadi Hannan, mahasiswa S3 Ohio University, ada prestise tersendiri kalau Muslim Indonesia belajar Islam di Barat. Prestise di mata siapa? Wallahu’alam.

Belajar di Barat memang menawarkan berbagai fasilitas kemudahan. Mulai fasilitas perpustakaan, kurikulum, metodologi belajar, dan lingkungan. Bahkan, yang tidak kalah penting lagi adalah uang saku. Sudah gratis, dapat uang saku minimal 10 juta. Enak bukan?

Tapi, tahukah Anda jika misi orientalis ternyata ada di balik ini semua. Bahkan, menurut Syamsuddin Arif, doktor yang sempat mukim di Jerman, studi Islam di Barat misinya untuk mempertahankan dan mengukukuhkan hegemoni intelektual Barat atas dunia Islam.

Walhasil, kalau kita amati lulusan studi Islam di Barat malah berfikir ala Barat yang mengusung liberalisme dan sekularisme. Contohnya, Anda tentu sudah mengetahui! Tentu tidak semua. Buktinya, masih ada lulusan Barat yang tetap, bahkan makin kuat memegang ajaran Islam. 

Tentu, kami tidak bermaksud menghalangi Anda untuk berangkat studi Islam ke Barat. Setidaknya, tulisan ini dapat menjadi bahan pertimbangan sebelum Anda berangkat ke sana.


Fasilitas Lengkap, Dijamin Gratis

Departemen Agama RI menjalin kerjasama dengan kampus di Barat. Fasilitas lengkap, gratis, dan dapat uang saku pula.

Belajar Islam ke negara-negara Timur Tengah, itu biasa. Belajar Islam ke negara-negara Barat, ini baru beda dari biasa. Padahal, negara-negara tersebut—setidaknya menurut catatan sejarah—bukan negara yang menjadi tempat berkembangnya Islam, seperti Timur Tengah. Meski demikian, peminatnya dari tahun ke tahun terbilang tidak sedikit.

Menurut data Direktorat Perguruan Tinggi Islam Departemen Agama tahun 2005, pengiriman mahasiswa untuk belajar Islam ke negeri Barat dimulai pada tahun 1950-an. Jumlah mahasiswa yang berangkat berjumlah tiga orang, yaitu: Harun Nasution, Mukti Ali, dan Rasyidi. Ketiga orang tersebut belajar di McGill’ Institute of Islamic Studies (MIIS), Kanada. Program ini merupakan hasil kerjasama antara Indonesia dan Kanada.

Tahun 1970-an, Indonesia kembali mengirimkan 17 orang mahasiswanya ke institut studi Islam di Universitas McGill yang didirikan oleh Wilfred Cantwell Smith, seorang orientalis terkenal. Pengiriman ini atas beasiswa dari CIDA dan Hazen Foundation yang diberikan kepada, antara lain: Anton Timur Djaelani, Murni Jamal, dan Zaini Muchtarom.

Kerjasama


Keberangkatan mahasiswa Indonesia untuk kuliah atau penelitian Islam di negara-negara Barat, tidak terlepas dari kerjasama yang dijalin Indonesia dengan beberapa negara Barat, misalnya Kanada, Australia, Jerman, dan Belanda. Dari kerjasama itulah, mahasiswa Indonesia mendapatkan kursi di kampus-kampus negara tersebut. 

Misalnya dengan Kanada, dilakukan antara McGill University dengan IAIN dalam bentuk proyek Indonesia Canada Islamic Higher Education (ICIHEP) yang berjalan selama dua fase (1989-1994 dan 1995-1999). Fase pertama (1989-1994) difokuskan pada pemberian beasiswa untuk mengembangkan kapasitas staff pengajar di 14 IAIN.

Fase kedua (1994-1999), difokuskan untuk memperkuat kapasitas kelembagaan UIN Jakarta dan UIN Yogyakarta melalui pemberian beasiswa, penelitian gabungan (joint research), pengiriman dosen tamu (visiting professor), dan sejumlah pelatihan. Di bawah proyek ICIHEP, lebih dari 90 dosen IAIN telah mendapatkan beasiswa untuk menyelesaikan program master dan 11 dosen menyelesiakan program doktor di McGill University, Kanada.

Terakhir, Indonesia dan Kanada membangun proyek IAIN Indonesia Social Equity Project (IISEP) pada tahun 2001-2006. Proyek ini lebih diarahkan pada percepatan kesetaraan sosial melalui peran akademis dan sosial UIN Jakarta dan UIN Yogyakarta

Kerjasama lainnya dijalin oleh Departemen Agama RI dengan dua universitas di Jerman, yaitu Universitas Hamburg dan Universitas Leipzig. Ruang ligkup kerjasama, antara lain: beasiswa bagi program doktor dalam bidang kajian Islam di Universitas Leipig, program pertukaran dosen dan kerjasama penelitian, dan seminar bersama.

Di samping dengan universitas dari Jerman, Depag juga mengadakan perjanjian kerjasama dengan universitas dari Australia dan universitas dari Belanda. Dengan Australia Depag menandatangani perjanjian Arrangement between The Australia-Indonesia Intitute of the Australian Department of Foreign Affairs and Trade and The Department of Religious Affairs of Republic of Indonesia in relation to Partnership in education and training of regional Islamic Intitutions pada 09 Juni 2004 di Jakarta.

Perjanjian kerjasama ini menyelenggarakan program pelatihan pascasarjana untuk IAIN/STAIN luar Jawa. Di antaranya pengiriman empat dosen IAIN/STAIN luar Jawa untuk mengikuti program pelatihan selama satu tahun di beberapa universitas di Australia.

Sementara perjanjian kerjasama dengan Belanda ditandatangani oleh Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam dan Rektor Universitas Leiden di Jakarta pada tanggal 26 April 2004. Diantara isi perjanjiannya adalah pengiriman mahasiswa Indonesia untuk belajar di Universitas Leiden dan program penelitian bersama bagi 14 tenaga pengajar perguruan tinggi agama Islam di Leiden University.

Fasilitas Lengkap


Menurut Dr. Siti Syamsiatun, MA, lulusan Islamic Studies McGill University, belajar Islam di Barat tidak kalah dengan kuliah di Timur Tengah. Siti mencontohkan orang-orang telah menjadi lulusan Barat, misalnya Harun Nasution.

Ia merasa bersyukur bisa kuliah di Barat. “Cara studi di Barat sangat intensif, satu kelas hanya enam – dua belas orang, sehingga interaksi dosen dan mahasiswa sangat baik,” terang Siti yang mendapat beasiswa tahun 1996 dari Depag. Tidak hanya itu, menurut Siti, metodologi di Barat lebih kaya.

“Di Barat kita tidak hanya menggunakan metodologi studi-studi Islam yang tradisional, tapi juga menggabungkan metode-metode yang ditemukan di ilmu sosial seperti sosiologi, histori, psikologi kita gunakan juga untuk memahami keberagamaan,” jelasnya. Yang lebih unggul lagi, tambah Siti, di McGill tidak hanya speak-speak, tapi living practicies by muslim around the world juga menjadi bagian dari studi.

Lain halnya di Timur Tengah. Menurut yang Siti ketahui, di Mesir untuk S1 masih seperti pengajian, struktur kurang jelas, banyak menghafal, satu kelas terdiri dari banyak mahasiswa. “Itu kurang intensif,” cetusnya.

Di Universitas McGill, program Islamic Studies terdiri dari 4 jurusan, yaitu: Pemikiran Islam, Hukum Islam, Sejarah Islam, dan Pendidikan Islam. “Di sana yang lebih enak lagi, kita bisa mengambil subjek (mata kuliah-red) di fakultas lain,” tutur Siti.

Sementara itu, pengajar Islamic Studies di McGill ada yang Muslim dan non Muslim. Menurut Siti, pengajar non Muslim memiliki kualifikasi yang sangat tinggi, seperti dosen di bidang Tafsir yang menguasai bahasa Arab dengan baik, kebudayaan Arab, dan sebagainya. “Kadang-kadang kita sampai bingung, ini orang Islam atau bukan karena pengetahuannya tentang Al-Quran, Hadits justru lebih baik dari kita,” aku Siti.

Siti juga mengaku, dalam materi yang mereka berikan juga didapati bias-bias peninggalan dari orientalis. “Tapi, untuk sarjana-sarjana mulai tahun 80-an, 90-an sudah mulai fair dalam memandang agama lain,” tambahnya.

Hal yang sama juga disampaikan Jainuri, doktor lulusan Universitas McGill, Kanda. Menurutnya, belajar di Barat lebih konsentrasi dan cepat selesai. Di samping itu, professor di Barat, terutama di Universitas McGill cukup terkenal. Komposisi antara yang Islam, Kristen, dan Orientalis selalu harus dipertahankan. “Tidak boleh didominasi oleh salah satu kelompok,” ujar pria yang kini mengajar di Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Hal yang lain tentu ada fasilitas. “Di Indonesia kita tidak menjumpai perpustakaan Islamic Studies. Di sana ada,” ulas Jainuri. Di perpustakaan itu, tambah Jainuri, bisa didapatkan buku-buku Islam klasik sampai modern. Semua bisa didapatkan. Buku-buku tafsir lengkap, hadist, kutubusittah, dan banyak lagi. Semua dari yang aslinya, juga ada yang terjemahan. Bahkan, kitab-kitab sejarah, manuscript lama juga tersedia.

“Tinggal kita mau seperti apa? Sekuler, bisa. Fundamentalis, juga bisa.”

Ditambah lagi, di Barat, banyak karya-karya hasil penelitian lapangan tentang masyarakat Muslim dan budaya. Jadi kombinasi yang sangat penting. “Di Indonesia penekannya hanya kajian normatif, tapi analisanya kurang. Lain dengan di Barat,” ulas Jainuri.

Sehingga dari penelitian itu, bagaimana Islam yang diyakini secara normatif, di lapangan ternyata sangat beragam. “Di lapangan, Islam sangat beragam. Semuanya mengklaim Muslim. Keragaman kenapa terjadi, itulah hal yang menarik,” aku Jainuri.

Mahasiswa di sana juga sangat apresiatif dengan budaya lain. “Bagi mereka kekayaan budaya umat manusia di dunia ini perlu diketahui untuk menikmati. Karena itu bagi mereka untuk mempelajari Islam tidak harus masuk Islam. Sekedar pengetahuan saja,” ungkap Junairi.

10 Juta per Bulan

 
Sementara itu, menurut Hamid Fahmi Zarkasyi, lulusan universitas Birmingham Inggris, penyebab para mahasiswa Indonesia belajar ke Barat bukan semata-mata karena minat, tapi lebih karena dana yang disediakan untuk belajar Islam di sana mengalir deras. “Jadi karena ada kemudahan-kemudahan,” ujarnya.

Kemudahan yang dimaksud diantaranya adalah pemberian beasiswa selama studi. Sebagian besar mahasiswa Indonesia yang belajar Islam di Barat memang mendapatkan beasiswa selama menempuh studinya.

Ibnu Adam Aviciena misalnya, mahasiswa lulusan IAIN Banten yang mendapatkan beasiswa S.2 ke Universitas Leiden, Belanda ini mengatakan bahwa selain tidak harus bayar kuliah dia juga mendapatkan uang saku. Selama 1,5 tahun di Belanda mahasiswa asal Banten ini mengaku mendapatkan uang saku sebesar 870 Euro per bulan, bila dirupiahkan menjadi sekitar 10 juta rupiah.

Itu belum seberapa karena menurut teman-temannya beasiswa sejumlah itu relatif kecil dibandingkan dengan beasiswa di negara lain.*

(Suara Hidayatullah)