Sabtu, 12 Mei 2012

Intel CIA dan NYPD [New York Police Department] Menghantui Muslim Amerika


cia-nypd-
Setelah peristiwa serangan 11 September 2001 atas komplek gedung World Trade Center di New York, secara sepihak dan tanpa bukti kaum Muslim dipersalahkan sebagai pelaku kejahatan itu. Di seluruh dunia, terutama di Amerika Serikat, sorotan tajam penuh kecurigaan dan kebencian ditujukan atas Muslim secara terus menerus. Aktivitas intelijen yang memata-matai kaum Muslim, meski operasi itu selalu disangkal, terasa di mana-mana. Dan kini, salah satu operasi rahasia tersebut terungkap.
Associated Press pada Rabu 24/8/2011 menurunkan laporan tentang kegiatan intelijen Kepolisian New York dan CIA yang memata-matai seluruh aktivitas keseharian komunitas Muslim Amerika.
yellow-cabHari itu Selasa 2 Juni 2009, seorang penjaga bangunan di New Brunswick, New Jersey, membuka pintu apartemen nomor 1076. Meskipun suasana hari itu sangat nyaman, namun si penjaga mendapati pemandangan yang sangat mengejutkan; buku-buku tentang terorisme bertebaran di atas meja dan di ruangan sebelah terdapat seperangkat komputer dan alat pengintai.
Penjaga gedung yang panik itu lantas menghubungi nomor 911, meminta agar petugas polisi dan FBI segera datang ke gedung yang terletak di dekat Universitas Rutgers siang itu juga.

Ternyata, apa yang mereka temukan di lantai satu gedung apartemen tersebut bukanlah tempat persembunyian teroris, melainkan sebuah pusat komando yang dibangun oleh tim khusus dari dinas intelijen Kepolisian New York (NYPD).
Dari apartemen itu, sekitar satu jam di luar yuridiksi polisi, NYPD sedang melakukan operasi penyamaran dan memata-matai seluruh wilayah New Jersey. Polisi setempat maupun FBI tidak tahu tentang kegiatan itu.
Pasca serangan 11 September 2001, NYPD menjadi salah satu agen intelijen di Amerika Serikat yang paling agresif.
Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan Associated Press selama berbulan-bulan lamanya, terungkap bahwa NYPD telah melakukan operasi jauh di luar batas wilayah tugasnya dan menarget kelompok-kelompok etnis, yang mana jika operasi itu dilakukan oleh pemerintah federal berarti melanggar undang-undang tentang kebebasan warga negara. Dan operasi tersebut mendapat bantuan dari Central Intelligence Agency (CIA), sehingga mengaburkan garis batas antara aktivitas intelijen di dalam negeri dan luar negeri. 
Baik dewan kota yang membiayai operasional NYPD, maupun pemerintah federal yang mengucurkan dana ratusan juta setiap tahunnya, tidak ada yang diberitahu tentang apa yang sebenarnya terjadi.
NYPD menurunkan tim-tim penyamaran yang terdiri dari para petugas keamanan yang dikenal sebagai'rakers' alat penyapu. Mereka diterjunkan ke dalam lingkungan-lingkungan masyarakat minoritas, sebagai bagian dari program pemetaan manusia. Demikian menurut para pejabat yang terlibat langsung dalam program itu.
Tugas para rakers itu adalah memantau aktivitas sehari-hari dari masyarakat tempat mereka ditugaskan, termasuk kegiatan di toko-toko buku, bar, kafe dan klab malam.
Disamping menggunakan rakers, polisi juga memanfaatkan para informan, yang dikenal sebagai 'mosque crawler' perayap masjid.
Tugas khusus dari para perayap masjid itu adalah memata-matai khutbah dan ceramah yang disampaikan, meskipun sebenarnya tidak ada satupun bukti yang menunjukkan ada kesalahan di dalamnya. Para pejabat di NYPD menyelidiki semua imam dan mengumpulkan informasi intelijen tentang sopir taksi, penjual makanan kaki lima dan pekerjaan-pekerjaan lain yang sering dilakukan oleh Muslim.
Kebanyakan operasi tersebut dilakukan dengan bantuan CIA, yang sebenarnya dilarang memata-matai warga Amerika [CIA adalah agen intelijen untuk operasi di luar negeri dan FBI di dalam negeri]. Namun peran CIA itu disisipkan sedemikian rupa ke dalam peran unit intelijen NYPD.
Seorang pejabat veteran CIA, yang masih mendapat gaji dari badan intelijen itu, merupakan arsitek dari program intelijen NYPD tersebut.
Agen CIA itu melatih seorang detektif polisi di Farm -- sekolah mata-mata CIA yang ada di Virginia -- lalu mengirimkannya kembali ke New York, tempat di mana ia mempraktekkan keterampilan spionase yang dipelajarinya untuk melakukan aksi mata-mata di dalam negeri Amerika Serikat.
Dan baru-baru ini, tepatnya bulan lalu, CIA mengirim seorang petugas senior untuk menjalankan operasi klandestin di dalam markas-markas kepolisian.
Sementara kegiatan unit mata-mata NYPD yang meluas telah diketahui, banyak rincian tentang operasi-operasi klandestin mereka -- termasuk yang terkait erat dengan CIA -- belum pernah dilaporkan sebelumnya.
NYPD menyangkal tuduhan bahwa mereka 'memancing' di dalam lingkungan masyarakat etnis, dan berdalih bahwa mereka sekedar menuruti perintah saja. Di kota yang sering mendapat ancaman teror itu, polisi merasa tidak perlu minta maaf karena telah berbuat melampaui batas kewenangannya. Operasi intelijen NYPD katanya, telah menggagalkan rencana aksi teroris dan menjebloskan sejumlah calon pelaku teror ke penjara.
"Kepolisian New York akan melakukan apa saja guna memastikan bahwa tidak akan ada lagi 9/11 di sini dan tidak ada lagi warga New York tak berdosa yang dibunuh oleh teroris," kata jurubicara NYPD Paul Browne.
"Dan kami tidak akan meminta maaf atas hal tersebut," imbuhnya.
Namun, para pejabat juga mengatakan bahwa mereka sangat berhati-hati menjaga sejumlah informasi agar tidak sampai terbawa ke pangadilan, di mana hakim mungkin akan memiliki pandangan berbeda. NYPD bahkan menganggap informasi dasar seperti bagan organisasi divisi intelijen sebagai sesuatu yang rahasia dan terlalu sensitif untuk diungkap di pengadilan.
Salah satu pertanyaan yang tak ada habisnya selama beberapa dekade terakhir adalah; apakah untuk menjadi aman sebagian kebebasan dan privasi harus dilepaskan. Perdebatan tentang hal itu berfokus antara lain pada masalah penyadapan dan penahanan tanpa batas waktu oleh pemerintah federal.
Pertanyaan semacam itu sepertinya kurang mendapat perhatian di New York, di mana para penduduknya  tidak tahu pasti apa yang telah -- jika ada -- mereka korbankan.
Kisah tentang bagaimana Divisi Intelijen NYPD menjalankan program agresif seperti di atas, dirangkai olehAssociated Press berdasarkan hasil wawancara dengan lebih dari 40 orang mantan dan petugas aktif di NYPD dan pejabat federal. Kebanyakan dari mereka terlibat langsung dalam perencanaan dan pelaksanaan  operasi-operasi rahasia ini. Walaupun banyak di antara mereka mengakui bahwa taktik operasi itu berhasil membuat kota mereka menjadi lebih aman, namun kebanyakan bersikukuh enggan disebutkan identitasnya, karena mereka tidak berwenang untuk berbicara kepada wartawan mengenai masalah keamanan.

Kisah ini dimulai dengan seorang pria bernama David Cohen.
cia-nypdDavid Coleman datang ke New York Police Departement (NYPD) pada Januari 2002, hanya beberapa pekan setelah bara api di reruntuhan menara kembar World Trade Center dipadamkan. Cohen, pensiunan veteran CIA berusia 35 tahun, menjadi kepala intelijen sipil pertama di kepolisian itu.
Karir Cohen di CIA tergolong luar biasa, dia pernah ditempatkan di bagian analis maupun operasional. Dia juga seseorang dengan karakter pemecah belah yang tidak biasa, lidahnya yang tajam dan kepercayaan diri yang tinggi akan kemampuannya membuat ia mendapat reputasi sebagai seorang arogan. Pekerjaannya sebagai kepala operasi CIA dan mata-mata terkemuka seantero negeri begitu penuh perdebatan, sehingga tahun 1997 New York Times di halaman editorialnya mengambil langkah yang tidak biasa, menyerukannya agar ia didepak dari CIA.
Cohen tidak punya pengalaman di bidang kepolisian. Dia tidak pernah mempertahankan sebuah kota dari serangan. Tapi New York tidak sedang mencari seorang polisi.
"Pasca 9/11, kami memerlukan seseorang yang sangat tahu seluk-beluk intelijen," kata John Cutter, seorang pensiunan pejabat NYPD yang pernah menjadi salah satu bawahan top berseragam yang dimiliki Cohen.
Pada saat itu, divisi intelijen dikenal sebagai pengawal orang-orang terhormat berkeliling kota. Cohen mempunyai visi untuk membentuk sebuah unit yang akan menganilsa intelijen, melakukan operasi penyamaran dan memelihara jaringan informan. Singkat kata, ia ingin agar New York punya CIA versinya sendiri.
Cohen memiliki pandangan yang sama dengan Ray Kelly, yang menyakini bahwa peristiwa 9/11 merupakan bukti kepolisian bukan satu-satunya yang bisa diandalkan pemerintah federal untk mencegah terorisme di New York.
"Bila sesuatu terjadi atas New York, maka itu salahmu," kata seorang mantan petugas polisi, mengingat kata-kata yang pernah diucapkan Cohen kepada bawahannya.
Salah satu langkah awal yang diambil Cohen ketika sampai di NYPD adalah menghubungi kolega-kolega lamanya di markas besar CIA di Langley, Virginia. Dia mengajukan permintaan kepada mereka. Dia membutuhkan seseorang untuk membantu membangun unit operasinya yang baru, seseorang yang memiiki pengalaman dan pengaruh, dan yang paling penting, seseorang yang memiliki akses atas informasi intelijen terbaru. Sehingga NYPD tidak harus mengandalkan FBI untuk menggali informasi yang mereka butuhkan.
Direktur CIA kala itu George Tenet meresponnya dengan menugaskan Larry Sanchez, seorang veteran yang disegani yang telah bertugas sebagai pejabat CIA di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sering kali, ketika CIA menempatkan seseorang dalam suatu tugas sementara, agen lainnya menyokong (dana) dari belakang. Dalam hal ini, tiga mantan pejabat intelijen mengatakan, Tenet tetap memasukkan Sanchez dalam daftar gaji CIA.
Saat ia tiba di New York pada bulan Maret 2002, Sanchez memiliki kantor di NYPD dan juga pos CIA di New York, kata seorang mantan pejabat. Sanchez mewawancarai petugas polisi untuk ditugaskan dalam dinas intelijen yang baru dibentuk. Dia membimbing dan mengarahkan petugas-peugas polisi itu, menyekolahkannya untuk belajar seni mengeruk informasi. Sachez juga mengarahkan mereka dalam tugas-tugasnya.
Tidak pernah ada pengaturan tugas yang seperti itu sebelumnya. Sejumlah pejabat senior CIA kemudian mulai menanyai Tenet apakah ia yang mengizinkan Sanchez beroperasi di kedua sisi dinding (dalam dan luar negeri), padahal semestinya CIA tidak mencampuri urusan intelijen di dalam negeri.
"Tidak mengejutkan bagi banyak orang bahwa setelah 9/11, CIA melangkah lebih jauh dengan bekerjasama dengan aparat penegak hukum dalam masalah kontraterorisme, atau contoh dari peningkatan kerjasama itu terjadi di New York, di tempat kejadian (ground zero)," kata jurubicara CIA Jennifer Youngblood.
Sama seperti halnya CIA, Cohen dan Sanchez tahu bahwa para informan akan menjadi tulang punggung operasi mereka. Tapi dengan adanya ancaman yang datang dari seluruh dunia, mereka tidak bisa menunggu berbulan-bulan untuk membuat perencanaan yang sempurna. 
Maka mereka pun bergerak dengan solusi yang berbeda. Mereka menerjunkan lebih banyak lagi petugas polisi ke lingkungan warga keturunan Pakistan. Menurut keterangan seorang mantan petugas yang terlibat langsung dalam operasi itu, keduanya memerintahkan petugas polisi untuk mencari-cari alasan sehingga bisa menghentikan kendaraan, seperti melebihi batas kecepatan, lampu belakang yang mati, melanggar rambu lalu lintas, atau apa saja.
Dengan menghentikan kendaraan, polisi mendapat kesempatan untuk mencari alasan penahanan atau melihat gerakan atau tindakan yang mencurigakan. Dari penahanan itu, polisi bisa memanfaatkannya untuk membujuk orang yang terjaring agar mau menjadi informan.

Bagi Cohen, transisi dari mata-mata menjadi polisi tidak terjadi dengan alami, kata mantan koleganya. Ketika harus membuat keputusan, terutama di masa awal tugasnya, dia terjebak dengan latarbelakangnya sebagai agen CIA. Cutter mengatakan, dia dan para petugas polisi berseragam lainnya harus memperingatkan Cohen berulang kali. Seperti dengan mengatakan, "Tidak, kita tidak bisa menerobos masuk ke apartemen seseorang tanpa surat penggeledahan", "Tidak, kita tidak bisa begitu saja langsung menggeledah", atau "Aturan kerja polisi berbeda."
Sementara Cohen sedang dibentuk oleh kepolisian, latar belakang CIA-nya justru mewarnai kepolisian. Tapi, satu halangan yang paling jelas adalah cara berpikir Cohen.
Sejak tahun 1985, NYPD beroperasi dibawah peraturan pemerintah federal yang membatasi cara kerja intelijen. Sepanjang tahun 1960-an dan 1970-an, kepolisian menggunakan informan, petugas berpakaian sipil (menyamar) untuk menyusup ke kelompok-kelompok protes antiperang dan aktivis lainnya tanpa alasan untuk mencari tersangka yang bertindak kriminal.
Untuk membuat tuntutan hukum, polisi setuju untuk mengikuti ketentuan yang mengharuskan adanya "informasi khusus" dari aktivitas kriminal sebelum polisi bisa mengamat-amati aktivitas politik.
Pada bulan September 2002, Cohen mengatakan kepada hakim federal bahwa ketentuan itu jelas-jelas mempersulit polisi untuk mendeteksi rencana terorisme. FBI pernah mengganti aturan itu untuk merespon 9/11, dan menurut Cohen NYPD harus melakukan hal yang sama.
"Dalam kasus teorisme, menunggu adanya indikasi kejahatan sebelum kemudian menyelidikinya adalah penantian yang terlalu lama," tulis Cohen.
Hakim distrik AS, Charles S Haight Jr, sepakat dengan Cohen. Menurutnya, aturan lama itu adalah "untuk menghadapi bahaya di zaman yang berbeda." Dia kemudian menyingkirkan aturan yang lama dan menggantinya dengan aturan yang lebih lentur.
Itu adalah sebuah titik balik bagi NYPD.*
cia-nypd1Dengan kewengannya yang baru, Cohen menciptakan kesatuan rahasia yang kemudian akan menyusup ke dalam lingkungan masyarakat Muslim, begitu menurut beberapa pejabat dan mantan pejabat yang terlibat langsung dalam program itu.
NYPD membagi kota ke dalam lebih dari selusin zona dan menerjunkan petugas-petugas yang menyamar untuk memonitor mereka, mencari potensi masalah.
Di CIA, salah satu masalah terbesar yang selalu dihadapi Amerika Serikat adalah agen intelijen mereka dibanjiri oleh orang kulit putih, dengan tindak-tanduk yang sangat kentara Amerika-nya. Berbeda dengan NYPD, karena kepolisian di New York itu memiliki anggota yang berasal dari berbagai etnis.
Dengan menggunakan data sensus, kantor kepolisian mencocokkan petugas yang menyamar dengan komunitas etnis tempat tugasnya. Petugas polisi Amerika keturunan Pakistan ditugaskan ke lingkungan etnis Pakistan, keturunan Palestina fokus di komunitas Palestina. Begitu seterusnya. Mereka diperintahkan untuk berbaur. Mereka ikut kongkow-kongkow di bar-bar hookah, di kafe, sambil mengamati keadaan lingkungan itu secara diam-diam.

Kesatuan rahasia, yang kini telah terungkap keberadaannya itu, kemudian menjadi dikenal di NYPD sebagai Unit Demografi, kata para mantan pejabat di sana.
"Ini bukan masalah profiling. Ini tentang tempat di mana masalah akan muncul," kata Mordecai Dzikansky, seorang pensiunan pejabat intelijen NYPD yang mengaku mengetahui adanya Unit Demografi tersebut.
"Dan syukur pada Tuhan, kami punya kemampuan. Kami punya kemampuan berbahasa dan petugas dari (berbagai) etnis. Itu senjata rahasia kami."
Para petugas yang diterjunkan tidak bekerja di luar markas kepolisian. Mereka melimpahkan informasi intelijen yang dimilikinya ke polisi yang menangani, yang tahu identitas mereka.
Cohen mengatakan, ia ingin agar pasukannya tersebut "mengeruk batubara, mencari tempat hot spot (titik api)," kata para mantan pejabat.
Para petugas yang melakukan penyamaran itu kemudian dikenal sebagai para raker, 'tukang sapu / garu' yang mengumpulkan informasi.
Titik api yang dicari itu bisa berupa toko alat dan bahan kecantikan yang menjual bahan-bahan kimia yang dapat digunakan untuk membuat bom. Atau sebuah hawala, jasa pengiriman uang ke seluruh dunia dengan dokumentasi yang minim.
Petugas yang menyamar mengunjungi warung-warung internet dan melihat browsing history dari sebuah komputer, kata seorang mantan petugas yang terlibat dalam operasi itu. Jika ditemukan bahwa komputer tersebut pernah dipakai untuk mengakses website-website radikal, maka warung internet itu bisa dimasukkan sebagai titik api, tempat sumber masalah.
Toko buku milik etnis tertentu tidak lepas dari daftar periksa. Jika seorang raker melihat ada seorang pelanggan toko yang mencari buku radikal, maka ia berusaha untuk dapat berbicara dengan pemilik toko. Tujannya, tidak lain untuk mencari lebih banyak informasi. Toko buku itu, atau bahkan pemilik dan pelanggannya bisa jadi bahan pengintaian lebih lanjut.

Jika bos sebuah rumah makan kelihatan gembira dengan kabar kematian yang menimpa pasukan Amerika, maka pemilik beserta rumah makannya dapat dimasukkan dalam daftar titik api.
Tujuan dari aktivitas di atas adalah untuk membuat "peta manusia dari sebuah kota," kata seorang petugas penegak hukum.
Program itu meniru program yang dilaksanakan oleh pemerintah Zionis Israel di wilayah Tepi Barat, Palestina, kata seorang mantan pejabat polisi.
Memetakan tindak kejahatan adalah sebuah strategi yang sukses diterapkan di banyak negara bagian. Memetakan perampokan dan penembakan adalah satu hal. Sementara memetakan lingkungan masyarakat tertentu adalah hal yang berbeda. Yang terakhir ini, dianggap pemerintah federal sebagai racial profiling.
(Racial Profiling adalah menjadikan satu ciri etnis tertentu sebagai alasan untuk menindak seseorang secara hukum. Contoh kasus, polisi langsung menciduk seorang berwajah Arab yang membawa tas hitam dengan wajah gugup di sebuah bandara. Hal itu dilakukan polisi dengan dalih mencegah terulangnya terorisme di bandara.-red)
Jurubicara NYPD Paul Browne mengatakan bahwa Unit Demografi itu tidak ada. Dia bilang, NYPD punya Zone Assessment Unit yang bertugas mencari lokasi-lokasi yang potensial menarik teroris.
Browne mengatakan bahwa petugas yang menyamar hanya menjalankan perintah atasan dan mereka tidak nongkrong di lingkungan masyarakat tertentu.
"Kami akan mendatangi sebuah lokasi, baik apakah itu sebuah masjid atau toko buku, jika ada surat perintahnya," kata Browne.
Keterangan Browne itu berbeda dengan cerita para pejabat dan mantan pejabat polisi serta bertentangan dengan kesaksian seorang petugas polisi yang menyamar di tahun 2006 dalam kasus Shahawar Matin Siraj. Siraj didakwa menrencanakan serangan di jalur kereta api bawah tanah New York. Polisi yang menyamar itu mengaku bahwa ia diperintahkan untuk tinggal di kawasan Brooklyn dan bertindak sebagai "kamera berjalan" bagi polisi.
"Saya disuruh berperilaku seperti warga sipil -- nongkrong di lingkungan itu, mengumpulkan informasi," kata polisi yang berdarah Bangladesh tersebut, saat bersaksi dengan menggunakan nama samaran.
Keterangan polisi itu memberikan sedikit gambaran tentang program penyusupan NYPD ke dalam lingkungan tempat tinggal etnis tertentu.
Para pejabat polisi menilai, penyusupan mereka ke dalam lingkungan Muslim dapat diterima, karena teroris melancarkan serangan 9/11. Mereka mengatakan, hal itu tidak bertentangan dengan peraturan daerah tahun 2004 yang melarang NYPD menggunakan agama atau etnis tertentu "sebagai faktor determinan untuk mengambil tindakan hukum".
"Itu bukan profiling," kata Cutter. "Itu seperti pasca kasus penembakan. Anda pergi 20 blok jauhnya lalu menanyai orang-orang, atau menuju ke lingkungan di mana peristiwa itu terjadi?" dalih Cutter dengan nada tanya.
Tahun 2007, Los Angeles Police Departemen (LAPD) pernah dikritik karena berencana melakukan program serupa.
Polisi Los Angeles mengumumkan hendak melakukan pemetaan di lingkungan Muslim dan mencari kantung-kantung radikalisasi di tempat tinggal sekitar 500.000 Muslim. Akibat kritikan yang bertubi-tubi, Kepala LAPD Willian Bratton akhirnya membuang rencana itu.
"Kebanyakan orang ini datang dari negara di mana polisi adalah terorisnya," kata Bratton dalam sebuah konferensi pers, seperti dikutip Los Angeles Daily News. "Kami tidak melakukan hal seperti itu di sini. Kami tidak ingin menyebarkan ketakutan," katanya.
Di New York, kata sejumlah pejabat dan mantan pejabat polisi, pelajaran yang bisa diambil dari kontroversi itu adalah bahwa program semacam itu harus dilakukan secara rahasia.
Sejumlah pihak di NYPD, termasuk para pengacara, secara pribadi telah menyampaikan keprihatinannya atas cara pengumpulan informasi itu dan bagaimana cara polisi menggunakan informasi tersebut. Demikian menurut beberapa pejabat dan mantan pejabat polisi.

Mereka khawatir, karena sepertinya polisi membuat berkas dokumen atas orang-orang tak berdosa. Sementara kekhawatiran lain adalah, jika ada kasus terkait penyusupan itu yang masuk ke pengadilan, maka program rahasia tersebut bisa terbongkar.
Itulah kenapa, kata para mantan pejabat di NYPD, polisi secara rutin menghancurkan dokumen-dokumen yang bicara tentang raker.
Saat Cohen maju ke pengadilan untuk meminta wewenang lebih dalam menyelidiki terorisme, dia berjanji akan mematuhi peraturan FBI. Namun, FBI dilarang undang-undang menggunakan petugas yang menyamar kecuali ada bukti bahwa suatu tindak kejahatan telah terjadi. Artinya, program pengumpulan informasi dengan menerjunkan para raker itu melanggar pedoman FBI.
NYPD tidak mengizinkan Cohen untuk bersuara saat Associated Press (AP) meminta komentarnya. Dalam wawancara berbagai topik sebelumnya dengan AP, Komisioner Polisi Ray Kelly mengatakan bahwa unit intelijen tidak melanggar hak-hak sipil warga negara.
"Kami melakukan apa yang kami yakini untuk melindungi kota ini," kata Kelly.
"Kami mempunyai banyak, banyak pengacara yang kami tugaskan. Kami sangat waspada dengan kebebasan warga negara. Dan kami tahu bahwa akan selalu ada ketegangan antara polisi dan kelompok-kelompok yang disebut pembela kebebasan warga negara terkait tugas yang kami lakukan."
Salah satu kasus mencuat setelah anak buah Cohen menyusup ke kelompok-kelompok antiperang sebelum 2004 Republican National Convention di New York. Tuntutan hukum atas program penyusupan itu hingga kini masih disidangkan.
Menurut dokumen pengadilan, selama konvensi berlangsung, polisi menanyai orang-orang yang ditangkap dengan sejumlah daftar pertanyaan. Di antaranya, "Apa kelompok politik Anda?" "Apakah Anda punya aktivitas politik?" dan "Apakah Anda benci George W. Bush?"
"Itu tidak lain adalah operasi pengintaian domestik (dalam negeri)," kata Christopher Dunn, seorang pengacara New York Civil Liberties Union yang terlibat dalam penuntutan hukum.
***
Petugas yang menyamar seperti para raker itu memang sangat berharga. Tapi yang paling didambakan Cohen dan Sanchez adalah informan.
NYPD mendedikasikan sebuah unit untuk mengurus informan, namanya Terrorist Interdiction Unit. Menurut mantan dan pejabat aktif, Sanchez yang menangani dan mengajari mereka.
Selama bertahun-tahun, detektif menggunakan informan yang dikenal sebagai 'mosque crawler' penyusup masjid untuk memonitor ceramah di masjid-masjid dan melaporkan apa yang disampaikan. Begitu menurut mantan dan pejabat aktif yang terlibat langsung dalam program informan tersebut.
Jika agen FBI yang melakukan hal itu, maka berarti melanggar Privacy Act, yang melarang agen pemerintah federal mengumpulkan informasi intelijen dari aktivitas yang dijamin Amandemen Pertama.
FBI punya cara sendiri menempatkan informan di dalam masjid, tapi tidak seperti program NYPD yang diceritakan kepada AP. FBI harus terlebih dulu punya bukti adanya tindak kejahatan, sebelum menempatkan informan di dalam masjid.
Menurut Valerie Caprioni dari penasehat umum FBI, yang tidak mau mendiskusikan program informan NYPD, informan FBI di masjid tidak bisa begitu saja mengorek-ngorek informasi di masjid. Karena operasi semacam itu, katanya, menyangkut masalah kebebasan sipil.

"Jika Anda mengirimkan seorang informan ke masjid saat tidak terdapat bukti adanya kesalahan, itu adalah tindakan beresiko tinggi," kata Caprioni. "Anda melanggar inti hak-hak konstitusional, tentang kebebasan beragama."
Itulah mengapa, para pejabat senior FBI di New York memerintahkan anak buah mereka untuk tidak menerima laporan apapun dari 'mosque crawler' perayap masjid NYPD, kata dua orang pensiunan agen FBI.
Tidak jelas apakah kepolisian masih menggunakan perayap masjid. Para pejabat polisi mengatakan, begitu warga Muslim mengetahui apa yang terjadi, perayap masjid menjadi perayap kafe, menyebar ke tempat-tempat nongkrong kelompok etnis di seluruh penjuru kota.

"Orang punya khayalan hebat," kata Browne, jurubicara NYPD. "Tidak ada itu yang namanya perayap masjid," katanya menyangkal keberadaan intel yang menyusup ke masjid-masjid.

Namun, informan kunci dalam sebuah kasus teror di kereta bawah tanah yang berhasil digagalkan, Osama Eldawoody, mengatakan bahwa ia menghadiri ratusan kali shalat jamaah dan mengumpulkan informasi dari orang-orang, bahkan dari orang yang tidak menunjukkan tanda-tanda radikalisasi.
Detektif-detektif NYPD merekrut penjaga toko dan penduduk yang banyak omong untuk menjadi "benih" informan, yang memberikan informasi terbaru kepada polisi tentang apa yang terjadi di lingkungan etnis tertentu, kata seorang pejabat yang terlibat dalam program informan tersebut.
NYPD juga punya daftar nama informan yang dapat "diarahkan" untuk melakukan suatu tugas. Sebagai contoh, jika seorang raker mengidentifikasi sebuah toko buku sebagai hot spot, polisi akan menerjunkan seorang informan untuk mengumpulkan informasi, jauh sebelum adanya bukti konkret bahwa terjadi tindak kriminal di sana.
Untuk mencari informan yang cocok, polisi menciptakan apa yang disebut 'debriefing program' program wawancara.
Ketika seseorang yang ditahan polisi kelihatannya berguna bagi unit intelijen -- baik itu karena ia mengatakan sesuatu yang mencurigakan atau semata-mata karena ia seorang pemuda keturunan Timur Tengah -- maka akan dipisahkan untuk ditanyai lebih lanjut. Para pejabat intelijen tidak peduli dengan tuduhan yang akan dikenai atas orang itu, yang mereka inginkan dari tahanan itu semata-mata informasi tentang lingkungan tempat tinggalnya. Intinya, intelijen kepolisian ingin memanfaatkan tahanan itu sebagai informan.

Di penjara-penjara polisi juga menerapkan hal yang sama. Polisi menawarkan kondisi yang lebih baik di dalam sel, menawarkan bantuan atau uang, jika narapidana Muslim mau bekerja untuk polisi.
Dulu di awal divisi intelijen itu ada, polisi meminta pengelola taksi memberikan laporan tentang semua sopir taksi keturunan Pakistan yang ada di kota. Polisi mencari-cari kalau ada yang menggunakan izin atau surat-surat palsu. Kemudian orang itu akan ditekan, agar mau bekerjasama dengan polisi. Begitu kata sejumlah pejabat yang pernah terlibat dalam program wawancara itu.
Strategi menjaring informan semacam itu ditolak di kota lain.
Polisi Boston misalnya. Mereka pernah meminta daftar semua sopir taksi keturunan Somalia yang ada di daerah Cambridge, kata Kepala Kepolisian Cambridge Robert Haas. Tapi Haas menolak. Katanya, tanpa alasan yang khusus, pencarian bakal informan semacam itu tidak pantas dilakukan.
"Akibatnya mengerikan bagi hubungan antara polisi setempat dengan kelompok-kelompok etnis tersebut, jika hal itu terjadi, kata Haas.
Bagi Cohen, divisi informan sangat penting, sehingga ia meminta bekas teman-temannya agar melatih detektif Steve Pinkall di pusat pelatihan CIA di Farm.
Pinkal yang punya latar belakang marinir, diberikan tugas yang tidak biasa di markas CIA, kata para pejabat polisi. Dia diikutkan pelatihan operasi rahasia bersama calon mata-mata CIA, lalu dikembalikan ke New York untuk melakukan investigasi.
"Menurut kami menguntungkan bagi personel NYPD untuk dilatih melakukan operasi rahasia," kata Browne.
Ide pelatihan tersebut menyulitkan sejumlah pejabat FBI, yang melihat apa yang dilakukan NYPD dan CIA mengaburkan batas antara pekerjaan polisi dengan mata-mata, di mana petugas yang menyamar seringkali melanggar hukum negara asing.
Tindakan itu akhirnya diketahui Direktur FBI Robert Muller, kata dua mantan pejabat FBI. Tapi pelatihannya sudah terlanjur terjadi, dan Muller tidak mengungkapkan hal itu.*
cia-nypd2Operasi intelijen NYPD tidak terbatas pada kota New York saja, sebagaimana terungkap dalam operasi di New Jersey.
Kepolisian berhasil menempatkan petugasnya sebagai federal marshal, sehingga mereka bisa bertugas lintas negara bagian. Namun seringkali, tidak ada yuridiksi yang jelas sama sekali.
Pasukan penyamaran Cohen, yang diberi nama Special Service Unit, beroperasi di negara bagian seperti New Jersey, Pennsylvania dan Massachussets. Mereka tidak bisa melakukan penahanan, kecuali jika sesuatu terjadi -- seperti misalnya penembakan atau kecelakaan kendaraan. Namun, NYPD sudah memikirkan resikonya, begitu kata seorang mantan pejabat polisi.
 Dengan dukungan dari Komisioner Polisi Ray Kelly, Cohen menerapkan kebijakannya sendiri. Yaitu, apapun yang potensial mengancam New York, maka hal itu menjadi urusan NYPD, tidak peduli di mana pun terjadinya.
Keagresifan NYPD itu tidak jarang menimbulkan benturan dengan polisi lokal, dan seringkali dengan FBI.
FBI tidak suka cara kerja Cohen dan menilai operasi yang dilakukannya menerobos tanggungjawab FBI.
Misalnya saja, suatu kali para petugas yang menyamar diberhentikan polisi di Massachussets. Ketika itu mereka melakukan pengintaian atas sebuah rumah.
Di lain waktu, NYPD menimbulkan kekhawatiran karena melakukan aksi intelijen yang berhubungan dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang seharusnya menjadi wilayah kerja FBI.
Associated Press tidak menceritakan lebih rinci operasi FBI dan NYPD tersebut, karena berhubungan dengan kontraintelijen luar negeri.
Mueller dan Kelly mengatakan bahwa lembaga mereka menjalin kerjasama yang erat, dan laporan yang menyebutkan bahwa mereka bersaing adalah tidak benar dan dibesar-besarkan. Mereka juga menyatakan bahwa operasi NYPD di luar negara bagian mencapai sukses.
Sebagai contoh dalam kasus yang ditangani oleh seorang petugas polisi keturunan Mesir, yang menyamar di New Jersey. Ia berhasil mengungkap kasus Muhamed Mahmood Alessa dan Carlos Eduardo Almonte. Keduanya ditangkap di Bandara John F Kennedy tahun lalu, saat akan terbang ke Somalia untuk bergabung dengan Al Shabab. Keduanya mengaku bersalah melakukan konspirasi.
Tidak hanya ke negara bagian lain, Cohen juga mengirimkan anak buahnya melakukan operasi di luar negeri. Ia menempatkan anak buahnya di 11 kota di luar negeri.
Jika seorang bomber meledakkan bom di Yerusalem, maka petugas NYPD langsung menuju tempat kejadian, kata Dzikansky. Pria ini pernah bertugas di Israel dan menulis buku yang akan diterbitkan berjudul "Terrorist Suicide Bombings: Attack Interdiction, Mitigation, and Response."
"Saya berada di sana untuk menjawab pertanyaan New York," kata Dzikansky. "Mengapa tempat ini (yang menjadi sasaran)? Apakah ada sesuatu yang unik yang telah dilakukan oleh pelaku bom? Apakah ada pemberitahuan awal? Apakah ada kelalaian dalam keamanan?"
Semua informasi intelijen itu -- yang didapat dari para raker, petugas yang menyamar, penghubung luar negeri dan informan -- dikirim ke sebuah tim analisa yang disewa dari berbagai universitas ternama di AS. Para analis akan menandai tren dan merangkumnya berdasarkan topik. Misalnya, aktivitas Hizbullah di New York dan ancaman dari teroris-teroris Asia Selatan.
Tim analis itu juga menangani topik-topik yang diperdebatkan, termasuk merancang laporan analitis tentang setiap masjid  yang terletak dalam radius 100 mil dari dari New York. Informasi tentang masjid-masjid tu didapat dari para perayap masjid, petugas yang menyamar dan informasi dari masyarakat.
Tim analis itu kemudian memetakan ratusan masjid, apakah masjid tertentu terkait dengan Al Qaidah, Hizbullah atau kelompok lainnya.
Bagi Cohen, hanya satu cara untuk mengukur kesuksesan, yaitu "Mereka belum menyerang kita," katanya dalam disposisi yang disampaikan tahun 2005. Cohen mengatakan, apa yang buruk bagi teroris adalah baik untuk NYPD.
***
Meskipun CIA dilarang mengumpulkan informasi intelijen di dalam negeri, dinding yang membatasi operasi domestik dan luar negeri semakin keropos.
Informasi intelijen yang diperoleh NYPD, di mana Sanchez -- sebagai agen CIA -- yang mengawasinya, seringkali disampaikan ke CIA dalam pembicaraan-pembicaraan informal dan lewat saluran-saluran tidak resmi.
Dengan disengaja, NYPD semakin terlihat seperti CIA yang beroperasi di dalam negeri.
"Itu seperti memulai CIA pasca 9/11," kata Cohen dalam buku tentang NYPD "Protecting the City" yang terbit tahun 2009.
Tugas Sanchez di New York berakhir tahun 2004, tapi ia mendapat izin cuti dari CIA, lalu menjadi deputinya Cohen, kata para mantan pejabat polisi.
Meskipun penugasan Sanchez direstui CIA, sebagian pejabat CIA di New York menilai, kehadiran seorang agen senior seperti Sanchez di kota itu, jelas-jelas merupakan penyusupan.
Oleh karena itu Tom Higgins, kepala dinas CIA di New York, menghubungi markas besarnya. Higgins mengeluhkan Sanchez, yang dinilainya "mengenakan dua topi" -- kadang-kadang menjadi agen CIA dan kadang-kadang menjadi petugas polisi New York.
 CIA akhirnya memaksa Sanchez untuk memilih, tetap menjadi agen intelijen CIA atau bergabung dengan NYPD.
Sanchez menolak menceritakan tentang hal itu kepada Associated Press. Tapi diketahui bahwa pada akhirnya ia memilih NYPD. Sanchez pensiun tahu lalu dan sekarang menjadi seorang konsultan di Timur Tengah.
Bulan Juli lalu, CIA bahkan mempererat hubungannya dengan NYPD. Dinas intelijen itu mengirimkan salah satu agennya yang paling berpengalaman, mantan kepala dinas CIA di dua negara Timur Tengah. Orang itu ditugaskan di kantor kepolisian sebagai asisten khusus Cohen, dengan gaji berasal dari kas CIA.
Sebagian pejabat dan mantan pejabat AS melihat hal itu sebagai keganjilan. Namun, kerjasama itu dianggap sebagai bentuk kolaborasi baru pasca 9/11.
Para pejabat tidak mau mengungkap nama orang tersebut, karena dianggap membahayakan keamanan negara.
Mereka hanya menjelaskan, misinya seperti menjalani selibasi. Dia adalah agen senior yang memiliki jabatan dalam manajemen. Tapi, sejumlah pejabat mengatakan bahwa orang itu dikirim ke kepolisian untuk mendapatkan pengalaman kerja manajerial.
Di NYPD, orang itu bertugas melakukan penyamaran di jajaran pejabat tinggi di divisi intelijen. Para pejabat bersikukuh bahwa orang itu tidak terlibat dengan operasi pengumpulan informasi intelijen di lapangan.
***
NYPD dalam sepuluh tahun terakhir tidak terlalu mendapat sorotan tajam, terkait misi intelijen yang dilakukannya, yang menarget lingkungan tempat tinggal etnis tertentu dan bekerjasama dengan CIA lewat cara yang tidak biasa.
Dewan Kota New York sebagai pengawasnya, belum menanyai NYPD tentang operasi yang dijalankan divisi intelijennya.
Sementara menurut sejumlah mantan pejabat NYPD, anggota dewan sepertinya juga tidak bertanya lebih lanjut.
"Ray Kelly memberikan pengarahan singkat kepada saya secara pribadi tentang hal-hal yang tidak boleh diungkapkan ke publik," kata anggota Dewan Kota Peter Vallone.
"Kami membicarakannya secara tertutup, tentang bagaimana cara mereka menyelidiki kelompok tertentu yang dicurigai memiliki simpatisan teroris atau tersangka teroris," kata Vallone.
Petugas pemeriksa dari Dewan Kota telah mengaudit beberapa komponen NYPD sejak 9/11, kecuali unit intelijen, yang tahun lalu saja memiliki anggaran USD62 juta.
Pemerintah federal juga tidak terlalu menyorot tajam NYPD -- yang merupakan dinas kepolisian terbesar di AS -- tentang penggunaan anggaran besar dari pemerintah federal.
Pejabat Keamanan Dalam Negeri memang memeriksa dana yang diterima NYPD, tapi tidak untuk program-program rahasia tersebut.
Misalnya, dalam laporan Inspektur Jenderal Keamanan Dalam Negeri bulan Januari lalu, ditemukan bahwa NYPD melanggar peraturan kontrak negara bagian dan federal antara tahun 2006 dan 2008. Pada tahun itu mereka melakukan pembelian peralatan tanpa melalui proses tender. NYPD berdalih, tender terbuka akan mengungkap informasi sensitif kepada teroris. Tapi pada saat yang sama, NYPD tidak pernah mendapatkan persetujuan dari pemerintah negara bagian atau federal atas peraturan yang mereka buat sendiri itu, kata inspektur jenderal.
Di Capitol Hill, di mana FBI sering mendapatkan kecaman jika ketahuan melanggar hak-hak warga sipil dalam operasinya, NYPD tidak pernah dikecam atas apa yang dilakukannya.
Tahun 2007, Sanchez bersaksi di depan Komite Keamanan Dalam Negeri Senat AS. Di sana, ia ditanya bagaimana NYPD mengetahui lokasi-lokasi radikalisasi.
Dia menjawab, kuncinya adalah dengan melihat aktivitas-aktivitas yang tidak berbahaya -- termasuk aktivitas yang dilindungi oleh Amandemen Pertama -- sebagai aktivitas yang potensial memunculkan terorisme.
Mendapat jawaban seperti itu, komite tidak menanyainya lebih lanjut.
Departemen Kehakiman memiliki otoritas untuk menyelidiki pelanggaran hak-hak sipil. Departemen mengeluarkan peraturan pada tahun 2003, yang menentang racial profiling, termasuk melarang para petugas menghentikan kendaraan hanya berdasarkan ras seseorang.
Tapi, peraturan itu hanya berlaku bagi pemerintah federal dan tidak berlaku untuk penyelidikan kasus terorisme.
Departemen Kehakiman tidak akan memeriksa polisi atas pelanggaran hak sipil yang dilakukannya, jika hal itu terjadi saat polisi sedang menangani kasus yang berkaitan dengan keamanan negara.
"Salah satu tanda kejayaan divisi intelijen lebih dari 10 tahun terakhir ini adalah bahwa tidak hanya mereka begitu agresif dan canggih, tetapi juga berjalan semau mereka," kata Dunn, seorang pengacara pembela hak kebebasan sipil.
"Tidak ada pemeriksaan. Tidak ada pengawasan," ujar Dunn.
NYPD disebut-sebut sebagai model polisi era pasca 9/11. Tapi, sepertinya model itu hanya cocok buat New York saja. Sebabnya, tidak ada kota selain Big Apple -- julukan untuk New York -- yang tingkat kriminalitasnya serendah kota itu, punya anggaran untuk polisi sebesar USD4,5 milyar, dan memiliki 34.000 personel polisi. Dan tentu saja tidak ada kepolisian lain yang memiliki hubungan erat dengan CIA, seerat polisi New York.
Mungkin yang paling penting, tidak ada kota lain yang mengalami 9/11 seperti yang dialami New York. Tidak ada kota lain yang kehilangan 3.000 nyawa dalam satu pagi.
Satu dekade telah berlalu. Polisi mengatakan bahwa warga New York masih berharap NYPD akan melakukan apa saja untuk mencegah serangan lain terjadi. Dan NYPD merangkul harapan itu.
Sebagaimana dikatakan Sanchez saat bersaksi di Capitol Hill; "Kami telah diberikan toleransi oleh masyarakat dan kemewahan untuk bertindak agresif dalam menangani masalah (terorisme-red) ini."*



Tidak ada komentar:

Posting Komentar