Sekitar 20 menit setelah take-off dari bandara Halim Perdanakusuma yang juga merupakan pangkalan AURI, pilot meminta ijin kepada pengawas penerbangan untuk turun ke ketinggian 6.000 kaki dari semula 10.000 kaki. Meski terjadi gerimis, cuaca saat itu tidak terlalu membahayakan. Alasan pilot mengajukan permintaan untuk turun ketinggian masih belum jelas. Tidak lama setelah pesawat diijinkan turun ketinggian, pengawas kehilangan kontak dengan pesawat. Beberapa saksi yang melihat pesawat sebelum hilang mengatakan pesawat tampak terbang dengan labil.
Halim selain menjadi pangkalan udara sipil, juga merupakan pangkalan udara militer Indonesia dimana personil-personil militer Amerika sering mengadakan pelatihan kepada personil-personil militer AURI tentang berbagai taktik dan strategi perang modern, termasuk perang elektronik di antaranya "membajak" sistem komunikasi dan navigasi musuh. Sebagian dari pelatihan merupakan bagian dari program EXERCISE COPE WEST yang diadakan sekali setahun. Program ini disponsori oleh "Commander of the U.S. Pacific Command" di Hawaii. Latihan tahun lalu berkode "COPE WEST 10" berupa simulasi operasi militer terhadap angkatan udara Cina yang kebanyakan pesawatnya adalah buatan Rusia, termasuk Sukhoi 27, Sukhoi 29 dan Sukhoi 30.
Pesawat komersil Sukhoi Superjet 100 merupakan pesawat komersil pertama Rusia yang dibuat setelah runtuhnya komunisme Rusia. Selain berbagai keunggulan teknis, di antaranya dalam hal manuver sebagaimana semua pesawat militer Sukhoi, pesawat ini relatif murah dibanding pesaing-pesaing sejenis dengan harga $35 juta per-pesawat. Tidak heran jika beberapa meskapai penerbangan nasional langsung tertarik untuk membeli pesawat ini, di antaranya Sky Aviation, Kartika Airlines dan Queen Air yang telah memesan sejumlah besar pesawat. Di seluruh dunia sudah ada sekitar 170 pesawat yang dipesan dan Indonesia adalah salah satu pemesan terbesar. Jatuhnya pesawat tersebut membuat daya tarik pesawat ini mulai diragukan.
Di sisi lain beberapa waktu lalu dunia menyaksikan terjadinya sebuah kontrak penjualan pesawat terbang komersial terbesar di dunia yang dilakukan oleh meskapai penerbangan Lion Air yang memesan 230 pesawat Boeing senilai $22 miliar, atau senilai sekitar Rp 200 triliun. Penandatanganan kontrak tersebut bahkan dihadiri oleh Presiden Obama dan Presiden SBY di Jakarta dalam kunjungan kenegaraan Obama ke Indonesia beberapa waktu lalu. Kehadiran Sukhoi, dengan berbagai keunggulannya tentu saja sangat mengancam dominasi Boeing yang selama ini menguasai pasar pesawat komersial di Indonesia. Namun setelah kejadian jatuhnya Sukhoi Superjet 100 Meneg BUMN Dahlan Iskan langsung saja mengumumkan bahwa Garuda tidak akan membeli pesawat tersebut.
Lion Air dimiliki oleh 2 bersaudara yang sebelumnya adalah pengusaha travel agent, Kusana dan Rusdi Kirana. Tingkat keamanan yang rendah meskapai penerbangan ini membuatnya dilarang terbang oleh Uni Eropa. Di samping kasus pencurian bagasi, dianggap lemah dalam hal pemeliharaan pesawat, transparansi perusahaan selain juga banyak pilotnya yang terlibat dalam penyalahgunaan obat bius. Pada tgl 5 Februari lalu "Reuters" menulis tentang kehadiran Kirana bersaudara dalam pameran udara Singapore Air Show, seraya menyebutkan kemisteriusan sosok mereka kecuali fakta bahwa mereka selain pernah menjadi pengusaha travel agent juga sebagai salesman mesin ketik merk "Brother". Lion Air didirikan sekitar 10 tahun lalu.
Singapore Air Show juga dihadiri pimpinan Boeing wilayah Asia Tenggara Ralph “Skip” Boyce yang berusaha mempromosikan pesawat-pesawatnya komersil terbarunya seperti Boeing 787 Dreamliner, Boeing 737-MAX, dan Boeing 747-8 Intercontinental, sebagaimana juga pesawat militer seperti KC-135R Stratotanker dan F-15 Fighter. Boyce adalah mantan dubes Amerika untuk Indonesia dan Thailand dan pernah menjadi diplomat di Singapura sebagai Deputy Chief of Mission. Boyce sukses membuat Thai Internasional Airways membeli 77 pesawat Boeing meski diprotes para oposisi karena kedekatannya dengan militer Thailand. Ia juga dicurigai menyembunyikan banyak fakta mengenai peristiwa Bali Bombing 2002.
Meski mendapat dukungan Obama dan SBY sehingga mendapatkan jaminan pinjaman dari EX-IM Bank untuk pembelian pesawat Boeing, Lion Air gagal melakukan IPO senilai $1 miliar karena krisis keuangan global dan membuat perusahaan dilanda masalah keuangan. Ada analisis kuat bahwa tanpa jaminan Obama dan SBY dalam pembelian pesawat-pesawat Boeing, Lion Air akan bangkrut.
Amerika tidak akan segan melakukan sabotase terhadap saingan-saingannya, terutama saat harus bersaing di Asia. Dalam persaingan dengan produsen-produsen mobil Jepang, Obama melalui menteri transportasinya Ray LaHood, melakukan kampanye hitam yang keji terhadap Toyota terkait masalah pada alat pedal akselerator. Padahal alat ini tidak dibuat sendiri oleh Toyota melainkan oleh perusahaan Amerika, Chicago Telephone Supply, dengan pabriknya yang berada di India. LaHood melakukan perangnya terhadap Toyota dengan menyerukan kepada rakyat Amerika untuk berhenti mengendarai mobil Toyota dan mengembalikannya ke dealer untuk diperbaiki. Akibat kampanye tersebut jutaan mobil Toyota di Amerika ditarik dari jalanan.
Pada tahun 1995 Presiden Clinton juga melakukan hal yang senada. Ia memerintahkan dinas inteligen National Security Agency (NSA) untuk melakukan mata-mata terhadap Toyota dan Nissan dalam masa perundingan soal impor mobil mewah Jepang ke Amerika. Presiden George Bush juga memerintahkan NSA untuk memata-matai negosiasi kontrak telekomunikasi besar-besaran antara perusahaan Jepang, NEC, dengan pemerintah Indonesia di bawah pemerintahan Soeharto. Dan dengan tekanannya akhirnya Soeharto membagi kontrak dengan memberikan sebagiannya kepada perusahaan Amerika AT&T.
Sabotase terkait bisnis juga terjadi di internal Amerika sendiri. Pada bulan Februari 2010 Ketua Komisi Pertahanan parlemen Amerika John Murtha, meninggal dunia secara misterius setelah menjalani sebuah operasi kecil di Bethesda Naval Hospital Washington, DC. Kala itu ia menjadi pemain penting untuk kontrak senjata senilai $35 miliar untuk pengadaan pesawat tanker angkatan udara Amerika. Kala itu Boeing dan pesaingnya dari Eropa, Airbus, terlibat dalam kompetisi ketat. Setelah kematiannya Murtha diganti oleh Norman Dicks yang dijuluki “Congressman from Boeing” karena kedekatannya dengan perusahaan itu. Benar saja, setahun kemudian Airbus terdepak dari persaingan.
Jika kepada seorang anggota parlemen Amerika sendiri saja Amerika sanggup melakukan sabotase, tentu saja mereka tidak akan sungkan melakukan hal yang sama kepada Sukhoi. Dan keberadaan penumpang misterius yang mengenakan parasut menambah kecurigaan adanya sabotase tersebut. Kecuali telah mengetahui pesawat akan jatuh, sangat janggal bagi seorang penumpang bahkan bagi seorang pilot pesawat komersial untuk mengenakan parasut. Identitasnya mungkin tercantum dalam manifes yang turut terbakar di dalam pesawat. Namun saya ragu penyidik akan sanggup menyingkap tabir misteri yang melingkupi tragedi Sukhoi Superjet 100 meski Presiden SBY telah berteriak lantang untuk mengungkap penyebab kecelakaan tersebut.
Sumber utama:
"Was Industrial Sabotage at Play with Super Jet crash in Indonesia?"; Wayne Madsen;Wayne Madsen – Strategic Culture; dalam thetruthseeker.co.uk; 12 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar