Al Wa'i
الَّذِينَ يَتَرَبَّصُونَ بِكُمْ فَإِن كَانَ لَكُمْ فَتْحٌ مِّنَ اللّهِ قَالُواْ أَلَمْ نَكُن مَّعَكُمْ وَإِن كَانَ لِلْكَافِرِينَ نَصِيبٌ قَالُواْ أَلَمْ نَسْتَحْوِذْ عَلَيْكُمْ وَنَمْنَعْكُم مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ فَاللّهُ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَن يَجْعَلَ اللّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً(yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka berkata: "Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu?" Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata: "Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai /memusnahkan orang-orang yang beriman. (QS An-Nisaa 4:141)
Ayat ini merupakan kelanjutan dari ayat-ayat sebelumnya yang mengulas karakter orang-orang munafik.
Firman Allah alladziina yatarabbashuuna bikum (orang-orang yang menunggu-nunggu giliran kekalahan dan kehancuran yang akan terjadi pada dirimu).
Menurut Ibnu Katsir, ayat ini merupakan pemberitahuan bahwa orang munafik menunggu dengan penuh harap (yatarabbashuuna) agar Islam, kaum muslim, dan kekuasaan yang menjadi penopangnya hancur. Pemberitaan Allah ini juga bisa berarti kasyf al-mu'amarah (tindakan membongkar konspirasi) dengan maksud untuk mengingatkan orang-orang mukmin agar mereka waspada terhadap sikap orang-orang munafik.
Firman Allah fa in kaana lakum fathun minAllahi qaalu alam nakun ma'akum
Allah juga menunjukkan sikap hiprokit mereka seraya menyatakan dengan frasa fa in kaana lakum fathun minAllahi qaalu alam nakun ma'akum (jika kalian mendapat kemenangan dari Allah, mereka (orang-orang munafik) berkata, "Bukankah kami turut berperang beserta kalian?"). Allah menjelaskan dengan huruf in asy syarthiyyah (huruf in yang bersifat kondisional) untuk menggambarkan bahwa ketika kondisi orang-orang mukmin sedang menang mereka pun tampil ke depan seolah-olah jasanya besar, sehingga menuntut bagian ghanimah (rampasan perang), namun ketika kemenangan itu memihak kaum kafir mereka berkata,"
Bukankah kami turut memenangkan kalian dan membela kalian dari orang-orang mukmin?"
Firman Allah wa in kaana lil kaafiriina nashiibun qaaluu alam nastahwidz'alaikum wa namna'kum minal mu-miniina
Ungkapan mereka nastahwidz 'alaikum yang dinyatakan Allah dalam konteks alam nastahwidz'alaikum yang bermakna "bukankah kami menyelamatkan kalian ketika kami mengalahkan kalian dan bisa membunuh kalian namun kami biarkan kalian hidup?" juga membuktikan sikap hipokrit orang munafik. Ini diperkuat dengan ungkapan wa namna'kum minal mukminiina (serta melindungi kalian agar tidak dibunuh dan dihancurkan orang-orang mukmin)
Sementara itu Allah juga menggunakan ungkapan yang berbeda untuk menjelaskan konteks kemenangan dalam dua kondisi ini. Ketika menjelaskan kemenangan orang mukmin Allah menggunakan kata fathun,sedangkan ketika menyatakan kemenangan orang kafir, Allah menggunakan kata nashiibun. Menurut Al Baidhawi, digunakannya kata fathun untuk menyebut kemenangan kaum mukmin atas orang-orang kafir karena kemenangan tersebut merupakan kemenangan yang hakiki, dunia dan akhirat; kemenangan yang langgeng, bukan sementara.
Sebaliknya, digunakannya kata nashiibun untuk menyebutkan kemenangan orang kafir menunjukkan bahwa kemenangan mereka itu hanya sebagian dan tidak langgeng.
Firman Allah fallaahu yahkumu bainakum yaumal qiyaamati wa lan yaj'alallaahu lil kaafiriina 'alal mu-miniina sabiilan
Sikap hipokrit orang munafik ini memang menyulitkan posisi orang-orang mukmin bahkan sangat menyakitkan hati mereka. Di sini Allah menyatakan fallaahu yahkumu bainakum yaumal qiyaamati.Ungkapan Allah ini untuk mengobati sakit hati orang-orang mukmin. Seakan akan Allah hendak menyatakan, "Biarkanlah mereka seperti itu, bukankan pada hari kiamat Allahlah yang akan menhakimi seluruh perbuatan kalian?". Ini kemudian ditambah dengan janji Allah wa lan yaj'alallaahu lil kaafiriina 'alal mu-miniina sabiilan (Allah tidak akan pernah memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin) sehingga semangat orang-orang mukmin pun terpompa.
Dalam konteks ini Allah menggunakan huruf lan yang merupakan huruf nafiy yakni nafyi al istimraar ataunafy at ta'biid (penafikan secara permanen). Dengan kata ini Allah hendak menyatakan penafiyan selama-lamanya. Allah tidak akan pernah memberikan kesempatan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang mukmin.
Dalam konteks penafian tersebut Allah juga menggunakan kata ja'ala (menjadikan). Dalam bahasa arab kata tersebut mengandung perngertian bahwa kejadian itu bukan semata-mata ditentukan oleh Allah namun disertai ikhtiar manusia. Dengan kata lain Allah ingin menegaskan bahwa agar selamanya orang kafir tidak bisa mengalahkan orang-orang mukmin, orang-orang mukmin harus berikhtiar dan membendung upaya orang kafir, tidak memberi peluang kepada mereka untuk menguasai, dan mengalahkan, orang-orang mukmin. Inilah maksud firman Allah wa lan yaj'alallahu lil kaafiriina 'alal mu-miniiina sabiilan
Ketika Ali bin Abi Thalib ditanya mengenai maksud firman Allah di atas, bagaimana mungkin Allah tidak memberikan peluang kepada mereka untuk mengalahkan kita, sementara mereka memerangi kita dan mengalahkan kita dalam peperangan, beliau menjawab bahwa kemenangan yang dimaksud adalah kemenangan di akhirat. Hari keputusan (yaumul hukm). Pandangan Ali RA ini bisa jadi karena konteks kalimat tersebut jatuh setelah frasa fallaahu yahkumu binakum yaumal qiyaamati. Artinya huruf waw yang mengawali frasa wa lan dianggap sebagai waw athaf, bukan waw isti'naf. Menurut Al Qurthubi pendapat inilah yang dijadikan pandangan hampir seluruh ahli takwil.
Namun pandangan ini dilemahkan oleh Ibn al Arabi. Menurut belian, tidak berarti jika kalimat wa lan yaj'alallaahu jatuh setelah frasa fallaahu yahkumu bainakum berarti konotasinya mengikuti kalimat sebelumnya. Menurut beliau, kalimat wa lan yaj'alallaahu mengandung maksud bahwa Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir yang bisa digunakan untuk melenyapkan negara orang-orang mukmin dan pengaruhnya. Pandangan ini dikuatkan oleh hadis Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dari Tsauban,
"Aku telah meminta kepada Tuhanku agar tidak menghancurkan dalam dua puluh tahun, tidak mengalahkan mereka musuh selain dari diri mereka sendiri, sehingga membinasakan masyarakat dan kekuasan mereka. Tuhanku berfriman,"Wahai Muhammad, jika Aku telah membuat keputusan maka keputusan itu tidak bisa ditolak. Aku telah memberikan kepada umatmu untuk tidak menghancurkan mereka dalam dua puluh tahun dan tidak mengalahkan mereka musuh selain dari diri mereka sendiri, sehingga ia menghancurkan masyarakat dan kekuasaan mereka" (HR Muslim)
Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya, pandangan yang kedua inilah yang lebih kuat, mengingat konteks ayat ini secara keseluruhan menyangkut ancaman orang-orang munafik dan orang kafir terhadap oang-orang mukmin di dunia serta ambisi mereka untuk mengalahkan dan menghancurkan kedudukan orang-orang mukmin.
Namun demikian yang lebih penting untuk dianalisa adalah janji Allah yang dinyatakan dengan frasa wa lan yaj'ala tersebut. Dengan menganalisis penggunaan kata yaj'ala (menjadikan) dalam konteks kalah-menang sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bisa disimpulkan bahwa janji tersebut bukannya tanpa ikhtiar manusia. Justru sebaliknya, janji tersebut benar-benar bisa terwujud jika disertai ikhtiar orang-orang mukmin. Caranya dengan menjalankan hukum kausalitas. Artinya jika mereka mengharapkan agar selamanya orang-orang kafir tidak bisa mengalahkan mereka maka mereka harus berikhtiar dan membendung upaya orang-orang kafir supaya tidak bisa mengalahkan mereka. Hadits riwayat Muslim dari Tsauban di atas telah menjelaskan sebab kekalahan orang-orang mukmin yaitu musuh dari dalam tubuh mereka sendiri ketika orang mukmin berperang sesama mereka.
Kasus konflik internal di tubuh Khilafah Abbasiyyah misalnya telah mendorong tentara salib untuk mengobarkan perang salib yang berlangsung selama dua abad. Hilangnya kesadaraan yang shahih (al wa'yu ash shahiih) dari tubuh jama'ah, gerakan, dan partai Islam telah menyebabkan mereka dengan mudah diadu domba satu sama lainnya dan disesatkan dari jalan kebangkitan oleh orang-orang kafir dan kaki tangan mereka. Kekaburan fikrah dan thariqah mereka juga telah menyebabkan mereka dengan mudah dieksploitasi oleh orang-orang munafik dan kafir untuk kepentingan politik mereka; mulai isu demokratisasi, HAM, hingga terorisme.
Ketidakjelasan fikrah dan thariqah serta ketidaksahihan kesadaran mereka itulah yang menyebabkan mereka selaku memposisikan diri sebagai pihak yang tertuduh. Akibatnya dengan isu yang sama, Islam,umat Islam, dan kekuatan politiknya hingga kini tetap belum bisa tampil sebagai pemenang. Belum lagi instrumen lain yang sengaja digunakan untuk mencengkeram umat Islam seperti IMF, dengan bantuan keuangannya.
Semua ini membuktikan bahwa kemenangan dan kekalahan itu tidak bisa dilepaskan dari hukum kausalitas;bukan semata-mata janji Allah yang diberikan begitu saja. Karena itu jika orang-orang mukmin menghendaki kemenangan dan tidak pernah bisa dikalahkan oleh orang-orang kafir sebagai mana yang telah dijanjikan Allah, mau tidak mau mereka harus benar-benar memperhatikan hukum kausalitas.
Haram Memberi Jalan Orang-Orang Kafir Untuk Menguasai Orang-Orang Mukmin.
Para fuqaha telah menggunakan ayat ini sebagai pijakan untuk menarik hukum (istidlaal) dalam banyak hal. Secara umum, pendapat mereka menyangkut soal keharaman memberikan peluang, kesempatan atau jalan kepada orang kafir yang memungkinkan mereka bisa menguasai dan mengalahkan orang-orang mukmin.
Misalnya, Asy Syafi'i mengharamkan oang-orang kafir mempunyai budak orang muslim, harta seorang muslim juga haram dimiliki orang kafir, setelah mereka dikalahkan dan dicengkeram oleh orang kafir, juga haram meminta bantuan orang kafir.
Ibnu al Qayyim mengharamkan cengkeraman orang kafir terhadap orang muslim yang karenanya orang muslim terpaksa harus menyerahkan kepemilikan mereka kepada orang kafir. Jumhur ulama menyatakan bahwa wanita kafir tidak berhak atas hadhanah (hak mengasuh) anak muslim karena hadhanah merupakan masalah wilayah (perwalian) yang haram diberikan kepada orang kafir.
Ibnu Hazm menyatakan bahwa status darah dan anggota tubuh mereka tidak sama dengan orang muslim sehingga mereka tidak bisa menuntut diyat (uang tebusan) atau qishash atas darah dan anggota tubuh mereka.
Penarikan hukum-hukun di atas dari ayat wa lan yaj'alallaahu lilkafiriina 'alal mukminiina sabiilan ini bisa dimaklumi. Sebab dari aspek dalalahnya adalah kata sabilan yang berbentuk nakirah (umum) berada dalam posisi sebagai subyek penafiyan. Merupakan shiyagh al umum (bentuk struktur kalimat umum) yang bisa berkonotasi: semua aspek yang bisa digunakan sebagai jalan untuk menguasai dan mengalahkan orang muslim.
Dengan demikian, ayat tersebut tidak hanya berkonotasi janji, tetapi juga larangan yang tegas (nahyan jaaziman) atau tahriim. Inilah yang disepakati para fuqaha. Ruang lingkup larangannya dilihat dari aspek keumuman dalalahnya meliputi semua aspek yang bisa digunakan sebagai jalan untuk menguasai dan mengalahkan orang-orang muslim.
Ini berarti meliputi aspek ekonomi, sosial, budaya, politik, pendidikan, dan militer. Dalam bidang ekonomi misalnya, haram hukumnya membuka penanaman modal asing (PMA), utang luar negeri, dan perdagangan bebas yang semuanya bisa menjadi sarana kaum kafir untuk menguasai perekonomian domestik umat Islam.
Di bidang politik misalnya, bantuan Amerika Serikat termasuk UNDP untuk menyelenggarakan pemilu juga bisa menjadi alat politik negara imperealis kafir untuk menguasai negeri kaum muslim. Oleh karena itu juga termasuk perkara yang diharamkan berdasarkan ayat ini.
Di bidang pendidikan misalnya, beasiswa belajar di luar negeri yang dijadikan sebagai alat untuk membeli kaum terpelajar sebagai agen kaum imperealis kafir juga termasuk dalam keharaman yang dinyatakan dalam ayat ini.
Pendek kata, semua aspek yang bisa digunakan sebagai jalan untuk menguasai dan mengalahkan orang muslim termasuk dalam keharaman dalam ayat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar