Senin, 21 Mei 2012

Ke-galauan Israel Di Bumi Palestina


Yahudi datang ke bumi Palestina berharap memperoleh peluang kerja dan hidup sejahtera. Namun kini mereka menyaksikan impian itu segera hilang. Krisis ekonomi menghantam Israel. Pusat Statistik Israel terakhir mengungkap bahwa lebih dari 30% warga Israel hidup di bawah garis kemiskinan. Semua orang tahu bahwa krisis Israel lebih dalam dari masalah kemiskinan, tingginya harga-harga, merebaknya kejahatan, korupsi dan suap.
Tidak akan ada orang bisa hidup aman di entitas Israel. Jika seseorang terlambat pulang ke rumahnya, maka keluarganya akan menyangka dia diculik oleh perlawanan Palestina. Semua orang pun akan ikut mencarinya. Jika terdengar suatu ledakan, maka semua akan mengira bahwa itu ledakan oleh perlawanan Palestina. Semua orang akan gemetar ketakutan. Jika di fron utara Israel tenang, front selatan akan meletus. Adapun roket yang berhasil dikembangkan dan diproduksi oleh perlawanan Palestina  atau yang diimpor, ternyata Israel tidak mampu membuktikan janjinya bisa menghadangnya. Sebaliknya, jangkauan dan ketepatan target roket ini  makin membaik dari waktu ke waktu. Setelah hanya menjadi ancaman bagi pemukiman-pemukiman yahudi di sekeliling Jalur Gaza, kini roket ini menjadi ancaman bagi kota-kota utama di Israel seluruhnya tanpa kecuali.
Perbatasan Israel hanya aman untuk waktu terbatas. Hari ini kita saksikan bagaimana tembok yang diyakini Israel bisa memberikan perlindungan ternyata tidak,  ketika menghadapi bangsa yang menginginkan kebebasan. Banyak  negara menghadapi berbagai macam tekanan, tapi mereka selalu meneriakkan perjuangan pembebasan Al-Quds dari tangan penjajah. Citra Israel kian buruk. Lihatlah, bagaimana keturunan yahudi harus menyembunyikan identitasnya ketika berada di luar negeri dan tidak ingin ada orang yang mengetahui dia warga Israel. Citra Israel pasti terkait dengan pembunuhan, penggusursan, penghancuran, perusakan, tindakan tidak manusiawi. Jalur Gaza yang diblokade selama 5 tahun dengan alasan menyelamatkan serdadu Gilad Shalit justru menjadi propaganda anti Israel yang menggambarkan kebengisan dan kejahatan bangsa yahudi ini. Sementara agresi Israel ke Gaza cukup mengingatkan bagaimana warga dunia seluruh jagat turun ke jalan memprotes dan mengecam kejahatan Israel.
Tentara gagal. Badan intelijen Israel Mossad, Shabak dan Shinbet atau para agen-agennya gagal dan tidak mampu mengendus keberadaan Shalit. Semua justru tunduk kepada perlawanan Palestina dan syarat-syaratnya. Perlawanan Palestina mendatang akan semakin kuat. Semua warga yahudi yang tinggal di Israel harus memilih antara dua jalan; seperti yang dilakukan Simo Abraham, orang tua salah seorang serdadu Israel yang terbunuh selama Intifadhah Al-Aqsha II dan menyatakan diri berbela sungkawa 10 tahun berikutnya atas kematian anaknya Yusha dan seorang serdadu lainnya sebagai protes atas pembebasan tawanan Abdul Aziz Shalihah, salah seorang yang ikut dalam pembunuhan anaknya dan serdadu tersebut.
Atau dia memilih jalan kedua yang lebih selamat yaitu seperti keputusan keluarga Mair Sihordar untuk pulang ke Belanda, tanah kelahirannya. Kepulangannya sebagai protes atas pembebasan tawanan Palestina dalam pertukaran tawanan dengan serdadu Gilad Shalit yang juga memiliki kaitan dengan pembunuhan keluarganya tahun 2001. Pada aktivis Israel kini lebih realities, ketika keluar unjuk rasa membawa bendera putih, tanda menyerah setelah keberhasilan pertukaran tawanan dengan Hamas. Penulis pribadi, siap membayar tiket perjalanan terakhir dari Palestina bagi keluarga yahudi yang memutuskan untuk hengkang setelah membaca artikel ini. Siapapun warga yahudi yang ingin bertahan di Palestina, silahkan saja menghadapi umat Islam yang memiliki kekuatan yang bersumber dari Allah yang Mahakuat dan Perkasa. Hari ini kita bebaskan tawanan dan besok kita bebaskan Al-Aqsha, dengan izin Allah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar