Selasa, 29 Mei 2012

American Nightmare In Afghanistan


Segera setelah 4000 tentara AS diberangkatkan ke Helmand pada 2 Juli 2010 yang lalu, Mullah Abdul Ghani Baradar memanggil semua komandan Taliban di seluruh wilayah untuk pertemuan darurat. Pertemuan itu digelar di Pakistan-tak jauh dari perbatasan Afghanistan tapi masih sangat aman dari jangkauan Amerika.
Baradar mengatakan bahwa ia menghendaki satu hal dari para komandannya: buatlah seolah Taliban kalah sampai ke tingkat minimum, sementara musuh terus memaksimumkan biaya perangnya. "Jangan pernah menembaki tentara musuh secara langsung berhadap-hadapan," perintahnya. "Teruslah bergerilya."
Di akhir pertemuan itu, Baradar mengingatkan anak buahnya, "Jangan pernah meninggalkan anak buah kalian. Teruslah pegang senjatamu erat. Amerika punya kekuatan militer yang lebih kuat, tapi kita mempunyai komitmen dan keyakinan yang lebih besar."

Kita mungkin tak pernah mendengar Mullah Baradar. Yang paling sering kita dengar barangkali Mullah Mohammed Omar, yang alat penglihatannya tinggal satu lagi. Omar yang yang tinggal di sebuah desa kecil ini terus-menerus menjadi target utama, dengan ganjaran $10 juta untuk kepalanya. Tapi ia tak pernah terlihat selama tiga tahun belakangan ini, bahkan oleh anak buahnya sekalipun. Tak heran, jika kemudian Amerika mengalihkannya pada Baradar, yang sejak tahun 2001 memegang komando.
Baradar tampaknya tak seperti Omar. Menurut Mullah Shah Wali Akhund, seorang komandan dari pronvisni Helmand, Baradar memegang semua kendali militer, politik, agama dan finansial Taliban. "Ia adalah seorang komandan yang brilian." Ucap Prof. Thomas Johnsin, seorang ahli yang telah lama mengamati Afghanistan. "Dia mampu, karismatik, dan menguasai wilayah dan dekat dengan rakyat. Bagi AS, ia adalah musuh yang mengerikan!"
Taliban leader Mullah Mohammed Omar and Sheik Moktar Ali Zubeyr, Emir of al-Shabab
Baradar selalu memperlihatkan kesetiaannya kepada Omar. Ia mengaku, ia senantiasa berhubungan dengan Omar tapi karena risiko keamanan, kontak itu tidak dilakukan secara terus-menerus. Berbeda terhadap Omar, anggota Taliban melihat Baradar sebagai seseorang yang konsisten, lebih terbuka, lebih berorientasi dan lebih bisa mendengar aspirasi dan perbedaan pendapat. "Baradar tak pernah memerintah tanpa pemahaman dan investigasi masalahnya terlebih dahulu." Tutur seorang komandan dari provinsi Zabul. "Dia sangat sabar dan bersedia mendengarkan Anda sampai akhir. Dia tak pernah marah dan hilang temperamennya."
Baradar jelas meninggalkan sebuah pertanyaan baru: apakah Amerika dan pemerintah Afghanistan bisa bernegosiasi dengan Baradar? Pengaruhnya kepada para pejuang Taliban bukan lagi sesuatu yang perlu diperdebatkan. Dia tidak cupat. Pada tahun 2004, ia sempat membuka percakapan dengan pemerintah Hamid Karzai-presiden Afghanistan. Baradar adalah seorang Pashtun, sama halnya dengan Karzai. Namun tidak seperti Karzai, Baradar tak akan pernah mengingkari bangsanya. Ia selalu percaya bahwa pejuang Taliban akan kembali memiki momentumnya sendiri.
Baradar mempunyai kemampuan membangun kembali Taliban yang sempat terpecah berkeping-keping karena ledakan efek peristiwa 9/11 yang ditudingkan kepada Afghanistan. Ia melindungi Mullah Omar seperti ia melindungi dirinya sendiri. Ketika para jurnalis investigasi bertahun-tahun mencari kebenaran hidup atau matinya Mullah Omar, ia dengan santai dan sabar mengatakan, "Ia sehat wal afiat."
Pada zaman penjajahan Soviet dulu, mereka saling bahu membahu berjuang. Omar yang kehilangan salah satu matanya dalam sebuah pertempuran dengan Soviet sangat terkenal karena keberaniannya. Sebaliknya Baradar menjadi tangan kanannya. Zaif, seorang pejuang Taliban yang sering bersama mereka berdua mengatakan, "Persahabatan mereka melebihi ikatan sebuah keluarga." 

Taliban Yang Dekat dan Melindungi Rakyat
Setelah Soviet mundur dari Afghanistan dan pemerintah boneka Kremlin di Kabul jatuh, Omar dan Baradar tinggal di Maiwand. Di sana mereka membangun madrasah. Di tempat ini pula mereka mulai memerangi para pemilik tanah yang semena-mena dan terkenal menculik dan memerkosa anak-anak, baik perempuan ataupun laki-laki. Omar mendeklarsikan peperangan terhadap penguasa tanah ini, dan Baradar menjadi orang pertama yang mendukung gerakannya ini.
Cara ini ternyata efektif dalam menarik hati rakyat Afghanistan. Baradar dalam sekejap telah menjadi komandan kedua Mullah Omar di Kandahar. Ia menjadi komandan militer penting dan sangat dipercaya oleh Omar. Ketika AS pertama kali menyerang Kandahar pada November 2001, Baradar lah yang pertama kali menyelamatkan Omar.
Baradar tak punya kantor ataupun rumah yang tetap. Ia bekerja selama 18 jam sehari, dan hampir jarang tidur dua kali di tempat yang sama. Dia menggalang kekuatan dengan para komandan senior Taliban. Ia berpergian dengan tenang, bahkan hanya dengan sebuah mobil kecil. Dari satu perjalanan ke perjalanan lain, di situlah Baradar menyusun strategi dan mengatur semua komandan Taliban.
Baradar adalah seorang Pashtun sejati. Dia duduk dan berbicara tidak hanya dengan para komandannya yang sudah senior, tapi juga dengan anak buahnya dan semua orang yang ia temui. Ketika ia bertemu dengan penduduk sipil, ia sangat santun. Banyak yang mengatakan, Baradar adalah orang pertama yang memikirkan kesulitan hidup rakyat Afghanistan.
Semua komandan Taliban mempunyai kesetiaan luar biasa terhadap Baradar, sepanjang yang diperjuangkan oleh mereka adalah kebenaran. Anak buah Baradar selalu meluruskan perilaku-perilaku oknum yang mengaku Taliban-misalnya mencuri dan menculik. Mereka bahkan berada di garis depan yang pertama kali memerangi opium di negeri mereka. Bagaimana tidak, sekarang ini Afghanistan telah menjadi salah satu negara yang menghasilkan opium atau narkoba terbesar di dunia.
Baradar hanya muncul ke permukaan manakala ada sebuah isyu lokal yang perlu pernyataan atau klarifikasi. Seperti misalnya di provinsi Zabul awal tahun ini ketika terjadi perdebatan panas di antara komandannya dalam hal memerangi pasukan asing. Komandan yang berebutan wilayah atau pernikahan yang tidak berasal dari satu suku, juga selalu saja melibatkan Baradar.
Komandan Zabul yang belum pernah bertemu dengan Baradar memberikan kesaksian. Ketika ia menemuinya di Quetta, mereka berbincang selama dua jam, "Dia mendengarkan semua keluhan saya dan juga masukan dari saya. Ia bertanya, dan ia akan segera mengambil tindakan." Papar komandan Zabul tersebut. Hasilnya, konflik internal itu sudah bisa diselesaikan hanya dalam waktu dua pekan.
Baradar menegaskan bahwa strateginya adalah hanya mengganggu konsentrasi AS dan Nato terpecah. Mereka diberi perintah hanya mengambil bahan persediaan AS dan Nato. Tahun ini, hanya karena dirasanya AS sudah kelewat batas, Baradar akhirnya memeritahkan anak buahnya untuk juga membalas menyerang. Dilaporkan sebanyak 120 orang militer AS tewas dalam tujuh bulan saja di tahun 2009, bandingkan dengan tahun 2008 yang secara keseluruhan hanya 155 tentara asing yang tewas.  (sa/bbc-2)


Komandan Satu Pintu
Tidak diragukan lagi, Abdul Ghani Baradar adalah seorang jenderal. Dia tanggung dan keras seperti Mullah Omar. Namun begitu, Baradar dikaruniai dia berhati lembut. "Jika Anda mau bernegosiasi tentang perdamaian, Baradar-lah orangnya," Ujar Hamdullah, seorang intelijen senior Taliban dari pronvinsi Ghozni. "Dia sama sekali bukan seorang ekstremist."
Namun, saat ini tampaknya Baradar sudah tak lagi percaya kepada pasukan asing. Ia didukung oleh orang-orang Popalzai-suku Pashtun paling besar di Afghanistan dan palinng berpengaruh. "Saya pikir, sekarang sudah tak ada ada lagi manfaatnya buat Islam untuk membicarakan damai," ujar Baradar.
Kedekatan Baradar dengan Mullah Omar bukannya tanpa friksi sama sekali. Dadullah Akhund tidak menyukai cara-cara Baradar yang selalu berhati-hati.
Sebaliknya, Baradar pun sering tak setuju dengan cara Akhund yang kasar dan kadang brutal. Namun ketika Akhund terbunuh pada Mei 2007, Baradar termasuk orang pertama yang mengurusnya. Ada empat jenderal lain yang dipercaya oleh Mullah Omar. Dua jenderal telah ditangkap oleh Pakistan dan dua lagi terbunuh oleh AS.
Rivalitas antara Baradar dan Dadullah bermula setelah invasi AS, ketika Taliban yang porak-poranda menyembunyikan diri. Dadullah memerintah Baradar untuk mengumpulkan kembali pasukannya. Baradar menolak, karena saat itu ia merasa belum saatnya Taliban segera kembali, karena jelas sangat terburu-buru.
Ia menganjurkan Dadullah untuk tinggal di madrasah Karachi untuk beberapa bulan. Dadullah menolak dan bersikeras akan tetap membentuk pasukan dan mulai melakukan perlawanan kepada tentara asing di Kandahar dan Helmand.
Tahun 2006, Dadullah telah menjadi komandan yang ditakuti. Beberapa pejuang Taliban yang tidak sabaran, bergabung dengan Dadullah. Dadullah juga memberikan konferensi perss di markas Waziristan dan terlihat jelas egonya-sesuatu yang seharusnya dihindari oleh seorang pejuang.
Baradar mengingatkan Dadullah untuk berhati-hati, tapi lagi-lagi Dadulllah menolaknya. "Biarkan aku melakukan apapun yang aku mau. Aku akan mempersenjatai seluruh Afghanistan." Karena informasi konferensi pers itu pula Daddullah mudah ditemukan dan pada akhirnya bisa ditebak, ia segera saja terbunuh.
Adik kandung Dadullah menuduh Baradar yang menjerumuskan Dadullah. Karena gelap mata, ia dikeluarkan sebagai pejuang Taliban. Sebulan kemudian, ia sudah menjadi tahanan Pakistan.
Saat ini Baradar berdiri sendiri, menghadapi badai besar Afghanistan yang akan segera jatuh dalam beberapa hari ke depan, seiring dengan dilaksanakannya pemilu Afghanistan 2009. Ia tetap tenang namun menghanyutkan. Ia menjadi komandan sendirian di tepian koordinasi Taliban saat ini.
Baradar tahu, api di negaranya belum akan berakhir ketika pemilu usai digelar, namun akan ada banyak api dan badai yang lain. Maka dari itu, ia seolah-olah terus menjadi seperti angin dan mitos belaka. Tak ada yang bisa mendeteksinya, karena maut senantiasa memburu. Baradar menjadi impian buruk AS dan pasukan Nato yang terus menghantui setiap saat. HABIS (sa/newsweek)

Di Afghanistan, Kami Hanya Alat Amerika
Malang benar nasib tentara Inggris ini. Gara-gara menolak bertugas di Afghanistan dan meminta perdana menteri Gordon Brown untuk menarik pasukan Inggris, tentara yang bernama Joe Glenton, 27, ini menghadapi tuntutan pengadilan.
Yang membuat ia menghadapi pengadilan sebenarnya bukan hanya tuntutan itu, tapi ia menuliskan surat yang ia sampaikan langsung ke kantor Brown di Downing Street Kamis pekan lalu. "Kami hanya alat dari kebijakan luar negeri AS." ujarnya. Glenton juga mengatakan bahwa misi NATO di Afghanistan hanya mengantarkan mereka kepada "kematian dan kerusakan" dan akan gagal.
"Saya yakin bahwa perubahan singkat yang tidak etis ini tidak hanya akan menyengsarakan  masyarakat Inggris yang keluarganya terbunuh dan terluka, tapi juga untuk kehormatan bangsa Afghanistan sendiri." tulis Glenton.
Tahun ini, kementrian pertahanan Inggris mengonfirmasikan bahwa pasukan Inggris tewas dengan jumlah yang sangat banyak melebihi tahun-tahun sebelumnya sejak tahun 2001. "Perang Afghanistan tidak akan mengurangi risiko teroris, dan tidak akan pernah memperbaiki kehidupan orang Afghanistan. Inggris sama sekali tak punya kepentingan di sana." tambah Glenton.
Glenton akan menghadapi pengadilan pekan depan, dan kemungkinan dihukum dua tahun penjara. Namun ia menegaskan bahwa ia tak akan pernah kembali ke Afghanistan.
Awal pekan ini sebuah polling diadakan di Inggris dan menyatakan bahwa lebih dari setengah warga Inggris menyatakan bahwa militer Inggris tidak akan menang perang di Afghanistan dan harus segera ditarik dari sana secepatnya. 58% melihat serangan kepada Taliban sebagai sesuatu yang tak akan pernah bisa dimenangkan, dan 52% menyatakan tentara Inggris harus pulang secepatnya. Polling ini dilakukan oleh COmRes dan diterbitkan di harian Independent. 

Sumber:eramuslim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar