Senin, 16 April 2012

PEMERINTAH BERBOHONG LAGI SOAL PENDAPATAN MINYAK"

oleh: adi's blog


Regim SBY akhirnya gerah juga setelah dituduh tidak transparan dalam soal pengelolaan pendapatan minyak bumi. Dan melalui Wamen ESDM Wijayono Partowidagdo, pemerintah akhirnya memberikan keterangan tertulis kepada tabloid ekonomi "Kontan", Minggu (8/4). Namun sayangnya keterangan tersebut justru menambah kebingungan masyarakat soal pengelolaan pendapatan minyak bumi.

Menurut pengakuan Wamen, pendapatan negara dari minyak bumi saat ini adalah sekitar Rp 205 triliun dengan asumsi produksi 930.000 barrel/hari, harga minyak $105/barrel dan kurs Rp 9.000/dollar. Sampai di sini penjelasan cukup memuaskan. Namun penjelasan selanjutnya membuat saya bingung.

Menurut Wamen setiap tahun pemerintah mengeluarkan subsidi BBM yang disebabkan pemerintah harus membayar minyak yang diimpor. Tahun ini, menurut Wamen subsidi BBM yang dikeluarkan pemerintah adalah Rp 178 triliun dengan asumsi harga minyak $105/barrel dan kurs Rp 9.000/dollar (serta jumlah minyak impor yang mencapai 516.000 barrel/hari atau 82 juta liter/hari; tambahan blogger berdasarkan hitungan matematika asumsi-asumsi di atas).

Dalam akutansi, biaya adalah semua pengeluaran yang tidak kembali alias hangus. Dan subsidi juga termasuk biaya. Dengan pengertian tersebut maka berarti subsidi senilai Rp 178 triliun per-tahun tersebut adalah untuk membayar impor minyak yang diberikan gratis kepada masyarakat. Dengan demikian subsidi tersebut benar-benar menjadi biaya yang tidak kembali alias hangus. Padahal masyarakat tidak pernah gratis mendapatkan minyak. Masyarakat membayar, meski lebih rendah dari harga impornya, katakanlah seharga harga premium Rp 4.500/liter. 

Dari pembayaran impor sebesar Rp 178 triliun tersebut pemerintah melalui Pertamina mendapat pemasukan sebesar Rp4500 x 82 juta x 365 = Rp 134 triliun. Dengan kata lain subsidi yang benar-benar subsidi adalah Rp 178 triliun - Rp 134 triliun = Rp 44 triliun. Dibanding pendapatan pemerintah dari minyak sebesar Rp 205 triliun, nilai 44 trilyun sungguh tidak berarti.

Saya tidak tega untuk mengatakan Wamen yang guru besar ITB itu seorang idiot sehingga gelar "teh botol", (tehnokrat bodoh tolol), tidak lagi dimonopoli para teknokrat dari UI dan UGM. Namun saya tidak pernah ragu mengatakan bahwa pak Wamen, dalam hal ini adalah seorang pembohong. Apalagi kalau kebohongan itu digunakan untuk menjustifikasi kebohongan yang lainnya lagi.

Menurut pak Wamen, akibat subsidi yang besar tersebut di atas (dikatakannya Rp 178 triliun, sebenarnya Rp 44 triliun, belum dihitung pendapatan yang Rp 205 triliun), alokasi untuk membangun infrastruktur dan mengentaskan kemiskinan menjadi berkurang.

"Dengan subsidi listrik Rp 60 triliun akibat naiknya harga BBM, maka seluruh pendapatan minyak pemerintah dari minyak hampir habis, hanya sisa Rp 8 triliun," katanya.

Saya tidak tahu hitung-hitungan soal listrik, namun saya yakin 100% omongan subsidi listrik ini sama dengan omongan tentang subsidi minyak. Dianggap rakyat mendapatkan listrik gratis, padahal bayar. Begitupun dengan "subsidi-subsidi" lainnya. Ketika Dahlan Iskan diangkat menjadi dirut PLN saya berharap ia akan melakukan perbaikan mendasar, dimulai tentunya dengan audit internal. Namun ternyata ia pun tidak berbeda dengan para pejabat lainnya.

Dan saat rakyat bingung dengan semua permainan itu, diam-diam ratusan triliunan uang pajak yang dibayarkan rakyat dan menjadi sumber belanja pemerintah dan pembangunan, raib entah kemana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar