Minggu, 01 April 2012

Antara Idealism, Pragmatism dan Robotism




Manusia adalah komposisi antara jiwa dan raga. Kedua komposisi inilah yang membuat manusia bisa hidup di dunia dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan segala kelebihan dan kekurangan itu pula manusia menjadi khalifah/pemimpin di bumi ini. Bukankah Allah SWT juga telah menawarkan kekhalifahan di bumi ini kepada gunung tapi gunung pun tak mampu mengembannya? Tapi manusia yang ada padanya segala kelebihan yang telah diberikan Allah SWT mampu mengemban amanah menjadi khalifah di dunia.

Manusia bisa menjadi terhina dan terhormat. Kedua hal ini hanya satu faktor yang menyebabkannya. Itulah tingkah laku/akhlak manusia di dunia. Dia akan menjadi terhina bila yg dilakukannya itu keluar dari norma-norma yang telah ditetapkan-Nya dan terhormat bila manusia tersebut tetap dalam koridor-Nya. Dalam mengemban tugasnya sebagai khalifah/pemimpin di bumi ini, ada tiga jenis manusia yang bisa kita ambil pelajaran darinya.

Manusia tipe pertama yaitu manusia idealis. Manusia tipe ini menjalankan amanah yang diembannya sebagai sebuah tanggungjawab yang akan dipertanyakan di akhirat kelak. Bia ia menjadi seorang pemimpin, ia memiliki visi yang jelas kedepan akan organisasi/masyarakat yang dipimpinnya. Manusia jenis ini juga bekerja all out, tidak setengah-setengah. Sehingga apapun yang dikerjakannya, dengan segala daya upaya, semata-mata hanya mencari ridho-Nya dan kemaslahatan bersama.

Manusia tipe yang kedua adalah manusia pragmatis. Pragmatis dalam kamus besar Bahasa Indonesia artinya bersifat menggunakan segi kepraktisan dan kegunaan. Manusia pragmatis disini diartikan sebagai manusia yang hanya bekerja mencari sisi keuntungan saja tanpa memperhatikan dampak negatifnya terhadap sesama. Hampir sama seperti tipe yang pertama, manusia pragmatis memiliki visi yang jelas akan apapun yang dipimpinnya. Tetapi manusia pragmatis tidak berfikir panjang tentang dampak negatif yang merugikan dari kebijakan-kebijakan yang diambilnya. Manusia pragmatis hanya berfikir; "yang penting saya aman, masa bodo buat yang lain", atau "mumpung lagi menjabat maka manfaatkanlah". Inilah tipe mindset manusia pragmatis.

Manusia tipe yang terakhir adalah manusia pelaksana. Manusia jenis ini tidak jauh beda dengan robot. Robot tidak punya nyawa, tidak punya akal dan tidak punya rasa. Manusia pelaksana sama seperti robot dalam menjalankan tugasnya/pekerjaannya. Manusia pelaksana tidak akan pernah dan tidak akan mau berfikir untuk apa dia mengerjakannya dan mau dibawa kemana organisasi/masyarakat yang dipimpinnya. Yang ada dalam benaknya hanya melaksanakan sesuatu tanpa mau tau apakah yang dilakukannya itu baikkah atau burukkah, haramkah atau halalkah. Manusia tipe ini juga hampir sama dengan tipe yang diatas, manusia pragmatis.



Bahaya Pragmatism

Sepintas pragmatisme seperti cara berpikir yang benar. Mudahnya, jika sebuah gagasan atau ideologi tidak bisa diterapkan dan diambil manfaatnya dalam praktik, maka buat apa dipertahankan. Kebenaran -- menurut kaum pragmatis -- adalah yang terbukti bermanfaat dalam praktik. Bukan teori an sich. Jika sesuatu tidak memberikan keuntungan bagi manusia, ia layak ditinggalkan. Sekalipun hal itu bernilai ideologis dan idealis.
Inilah sebenarnya mudlorot (bahaya) pragmatisme. Ia dengan mudah mengkhianati kebenaran sejati dalam pandangan ideologi dan tataran idealis. Pragmatisme mendorong manusia selalu menginginkan keuntungan yang seketika. Akibatnya ia akan melakukan tindakan apapun untuk mewujudkannya.
Faktanya, keuntungan itu sering bersifat subyektif. Bergantung pada manusia itu sendiri dan kelompoknya. Belum tentu sesuatu yang dianggap benar oleh sekelompok orang, adalah kebenaran yang sejati. Begitupula manfaat yang dirasakan seketika bisa jadi membawa mudlorot di waktu lain.
Di kancah politik kekinian, pragmatisme dijadikan world of view oleh banyak insan politik dan parpol. Walau saat kampanye banyak menjanjikan keberpihakan pada rakyat, tapi ucapan dan tindakan mereka bisa ditebak sekedar mengamankan kedudukan mereka. Masyarakat sering melihat parpol-parpol yang seolah bermusuhan, tapi kemudian mudah berangkulan dalam waktu singkat. Banyak insan politik dan pejabat yang mengumbar kalimat berpihak pada rakyat, tapi membiarkan hajat hidup rakyat naik harga atau dikuasai pihak asing.
Menilik dari sisi ajarannya, maka pragmatisme sebenarnya merugikan dan membahayakan masyarakat. Siapapun yang memakainya sebagai cara berpikir dan bertindak, tidak lagi mengindahkan rasa keadilan dan kebenaran yang objektif. Kaum pragmatis tidak membutuhkan lagi ideologi dan nilai-nilai idealis. Bagi mereka, yang terpenting adalah mendapatkan keuntungan spontan bagi dirinya dan kelompoknya. Dengan demikian aturan dan nilai-nilai ideologi rawan untuk dimanipulasi.
Dengan demikian pragmatisme menjadikan pelakunya senantiasa bersikap oportunis dan hipokrit. Bagi mereka yang terpenting bukanlah mempertahankan idealisme dan ideologi, tetapi mendapatkan keuntungan dari tindakan yang mereka lakukan. Tidak peduli bahwa keuntungan itu hanya bersifat jangka pendek.
Dalam kehidupan sehari-hari pragmatisme diterjemahkan dalam sebuah peribahasa lama; tiada rotan, akar pun berguna. Atau dalam praktiknya pragmatisme digunakan masyarakat dengan istilah "daripada". Logika "daripada" ini padahal seringkali ‘menyesatkan’. Orang merasa aman melakukan sesuatu yang keliru dengan cara pandang ‘daripada’. Misalnya, daripada parlemen dikuasai orang-orang jahat, mending kita yang kuasai. Meski realitanya mereka sendiri berkoalisi dengan orang-orang yang mereka sebut ‘daripada’. Itulah pragmatisme.
Oleh karena itu sudah saatnya rakyat Indonesia, khususnya umat muslim, meninggalkan cara berpikir pragmatisme dan ‘daripada’. Tidak selamanya akar bisa menggantikan rotan. Jika kita masih bisa mendapatkan rotan mengapa harus mengambil akar pohon? Jadilah rakyat dan politisi yang idealis, yang setia pada kebenaran dan ideologi, bukan mencari keuntungan sesaat. Apalagi jika keuntungan itu hanya berlaku untuk kelompok tertentu saja dan manipulatif pula.[ ]

1 komentar: