Negara demokrasi sekular sering dianggap sebagai negara yang ideal.
Karena pembandingnya adalah negara komunis sosialis atau sistem lain
yang cenderung otoriter atau totaliter. Maka tak heran bila negara
demokrasi sekulerlah yang menjadi alternatif. Adanya pembanding
dengan negara khilafah berikut ini diharapkan bisa membuka mata kita
bahwa ternyata hanya negara khilafahlah sebenarnya sistem yang paling
sempurna.
1. Konsep kedaulatan
Konsep ini disebut sovereignty/As-Siyadah. Kedaulatan adalah wewenang
untuk menangani atau menjalankan suatu kehendak tertentu. Dalam negara
demokrasi sekuler kedaulatan ada di tangan rakyat. Rakyatlah yang
memiliki hak menentukan perjalanan hidup masyarakat, sistem hukum,
atau konstitusi yang cocok bagi mereka. Rakyatlah yang bisa
membatalkan, mengganti, merubah undang-undang, bahkan ada istilah
suara rakyat adalah suara Tuhan. Dari suara rakyat yang beragam
inilah diputuskan dalam suara mayoritas. Tidak peduli apakah keputusan
benar atau salah, dan sudah memenuhi kemaslahatan seluruh rakyat,
bahkan tidak sejalan atau bertabrakan dengan hukum Allah Ta'ala. Dengan
demikian bisa dimungkinkan suatu hukum/undang-undang yang disetujui
rakyat mayoritas seperti menyetujui perjudian atau prostitusi dengan
alasan dilokalisasi agar tidak menyebar ke mana-mana dan ini tidak
bisa ditolelir pada hukum Islam.
Kontradiktif dengan sistem khilafah dimana kedaulatan ada
di tangan Allah secara mutlak (syariat) yang merupakan pemilik
otoritas pembuat hukum (Al Hakim) dan Syariat (Al Musyari') dalam
semua perkara hidup. Islam tidak memberi peluang kepada manusia untuk
menetapkan hukum meski satu hukum sekalipun. Justru manusia, apapun
kedudukannya baik rakyat atau khalifah sama berstatus sebagai mukallaf
(pihak yang mendapat beban hukum) yang wajib tunduk dan patuh dengan
seluruh hukum yang dibuat Allah SWT.
"Menetapkan hukum hanya hak Alloh…." (QS Yusuf 40)
Maka pada negara khilafah, hukum hanya bersumber pada Al Qur'an, As
Sunnah, Ijma dan Qiyas. Dapat dipastikan bahwasannya hukum Allah
pastilah benar dan sungguh hanya untuk kemaslahatan umat yang tentunya
diperuntukkan bagi kaum yang mengetahui.
2. Bentuk Pemerintahan
Sistem pemerintahan negara demokrasi-sekular dapat berbentuk republik
dengan kepala negara seorang presiden seperti Amerika Serikat atau
Monarki dengan kepala negara seorang raja atau kaisar seperti di
Inggris atau Jepang. Berbeda dengan bentuk pemerintahan Islam yang
hanya mengenal satu bentuk yaitu khalifah. Pada sistem selain
khilafah, seorang pemimpin atau raja bisa memiliki hak-hak istimewa
bahkan bisa kedudukannya di atas undang-undang. Dalam sistem khilafah,
tidak diberikan hak-hak istimewa bagi khalifah kecuali sama dengan
rakyatnya. Khalifah adalah wakil umat dalam masalah pemerintahan dan
kekuasaan yang mereka dibaiat untuk tunduk dengan hukum Alloh.
Dalam sistem presidentil atau kerajaan, jabatannya dibatasi atas
periode tertentu atau diwariskan pada putra mahkota. Dalam Islam
sepanjang tidak menyimpang dari hukum-hukum Islam yang berasal dari
kitabulloh dan sunnah serta mampu menjalankan urusan-urusan negara dan
tanggungjawab kekhalifahan sekalipun jabatannya amat panjang ia masih
bertahan sebagai seorang khalifah. Ketetapan ini berdasarkan nash
baiat yang ada dalam hadist-hadist yang semuanya bersifat mutlak tidak
ada masa jabatan tertentu.
Diantaranya adalah riwayat Anas bin Malik bahwa beliau bersabda:
"Dengar dan taatilah sekalipun yang memimpin kalian budak Habasyah,yang kepalanya seperti kismis." (HR. Bukhori)
Juga riwayat Muslim dari jalur Ummu Al-Husain ada ungkapan :
"…..selama dia masih memimpin kalian dengan Kitabulloh" (HR. Muslim).
Tentangan Formalitas Hukum Islam Justru Dari Kaum Muslim (yang Sekuler)
Rosululloh SAW diutus dengan membawa Islam sebagai petunjuk dengan
kebenaran untuk dimenangkan atas semua agama dan ideologi. Beliau
telah menyaksikan janji tersebut saat tegaknya Islam di Madinah hingga
wafatnya. Sehingga kemunculan kembali khilafah di atas metode kenabian
pada saat ini akan menjadi penerang sekaligus benteng bagi kaum
muslim.
Sejarah membuktikan berbagai tantangan yang menghadang
pada masa lalu dalam penegakan khilafah secara internal dan eksternal.
Dan hal ini mungkin saja terjadi sama keras dan ekstrimnya pada saat
sekarang ini bila negara khilafah akan benar terwujud. Ada dua hal
yang sangat mungkin di hadapi. Pertama, tantangan internal yakni
berupa tantangan saat diterapkannya Islam secara total dan tantangan
yang menyangkut penyatuan negeri-negeri Islam. Kedua, tantangan
eksternal berupa serangan militer yang mungkin terjadi dari negara-
negara kafir.
Pada saat sekarangpun muncul komunitas yang anti syariat Islam juga
dari kalangan yang memandang Al Qur'an tidak bisa ditarik kesana
kemari sesuai dengan tangan manusia dengan segala kepentingannya.
Jika sejarah kekinian menunjukkan adanya gejala tersebut, maka ada
kemungkinan di saat khilafah berdiri, tantangan pada saat
diterapkannya Islam secara total juga muncul. Bisa saja kelak ada
kelompok yang secara sengaja dibentuk seakan-akan Islam tetapi
berupaya untuk meragu-ragukan terhadap Islam dan khilafah atau
menyerukan kembali pada sistem negara sebelumnya. Apalagi di negara
kita yang sangat pluralisme, perbedaan paham yang mencolok, etnis
budaya agama, juga disintegrasi bangsa dan kepentingan-kepentingan
orang atau golongan tertentu yang tentunya akan menyulitkan
terwujudnya negara khilafah tersebut.
Juga tantangan dari negara luar yang tentunya dari negara sekuler-
kafir seperti "Si pemimpin dunia" AS, tentu saja tidak rela melihat
suatu negara muslim berdiri kuat. Selalu saja mencari upaya adu
domba, memecah belah, fitnah, sampai invasi militerpun mereka lakukan
dengan berlindung di balik misi kemanusiaan. Afganistan, dan Irak
merupakan beberapa negara yang telah diporakporandakan Amerika.
Merujuk hal yang demikian ada solusi yang bisa dilakukan, diantaranya
adalah:
1. Daulah khilafah harus menerapkan Islam secara langsung, menyeluruh
tanpa bertahap karena ini bisa memutus pihak-pihak yang berupaya
membelokkan penerapan hukum Islam, propaganda tentang ketidakmampuan
Islam, dan mengatasi celah mengambil kekuasaan lagi.
2. Menerapkan akad szimmah dengan non muslim yang bersedia menjadi warga
negara. Agar tidak ada kelompok/separatis yang akan mucul.
3. Menjalin komunikasi dan hubungan dengan negara-negara Islam di dunia
dengan membentuk pondasi/pilar persaudaraan, hubungan perekonomian,
dan ilmu pengetahuan. Membentuk perserikatan khilafah merupakan unjuk
gigi dengan PBB.
4. Memperkuat sistem pertahanan militer dalam dan luar negeri bila
sewaktu-waktu terjadi invasi dengan negara lain.
5. Memperkuat segala sendi tatanan dari semua bidang mulai pendidikan,
aspek hukum, juga politik.
Dari seluruh paparan di atas dapat disimpulkan bahwa keyakinan akan
terbentuknya negara khilafah tidaklah sesuatu yang bersifat
"keniscayaan". Karena selain merupakan puncak tertinggi pengabdian
manusia kepada Robb-Nya. Dengan tegaknya khilafah Islamiyah hukum
Islam bisa diterapkan secara sempurnya dan jaminan bagi tersebarnya
risalah Islam ke seluruh dunia, serta terwujudnya kesatuan kaum
muslimin dalam ummatan wahidah. Wallahu a'lam bisshowab
Ada sangat banyak konsep-konsep yang beredar, mulai dari konsep
"negara sekuler", "negara khalifah", "negara sosialis", dan masih
banyak lainnya. Setiap konsep mengklaim dirinya lebih baik daripada
konsep yang lain.
Pertama-tama, yang dilihat orang tentu saja adalah kenyataanya.
Setiap konsep diwakili oleh contoh-contoh konkret. Benarkah konsep ybs
itu lebih baik dari lainnya? Ndak usah susah-susah mikir, lihat saja
contohnya .... :)
Kedua, semakin banyak umat manusia yang menolak segala konsep yang
segalanya diatur "dari atas". Mengapa menolak? Alasannya bukanlah
karena argumentasi teoritis, tetapi berdasarkan pengalaman praktis di
masa lampau. Meskipun konsep ybs. diklaim berasal dari Tuhan Sang
Sumber Kebenaran itu sendiri, namun pengalaman membuktikan bahwa
pelaksanaannya selalu bergantung pada manusia-manusia yang
melaksanakan. Salah satu hal yang sudah berkali-kali terbukti adalah
bahwa semua pemimpin selalu dihantui oleh rasa Haus Kekuasaan.
Di negara-negara agama, para pemimpin yang haus kekuasaannya itu akan
meligitimasi kekuasaannya dengan berlindung di balik "hukum-hukum
Tuhan" yang lama-kelamaan menjadi absolutisme yang keras dan kadang-
kadang menjadi bentuk lain dari penindasan. Sekali lagi, ini bukan
soal argumentasi teoritis, tetapi merupakan pengamatan terhadap
pengalaman praktis di masa lampau.
Di negara-negara sekuler, pemimpin-pemimpin yang haus kekuasaan tentu
juga ada. Tetapi ada mekanisme check-balance yang mencegah mereka
menjadi penguasa absolut..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar