Agenda di Balik Studi Islam di Barat, Hati-hati!
Ada upaya meminimalisir sentimen terhadap Barat. Caranya, melalui jalur pendidikan. Inikah agenda di balik studi Islam di Barat?
Tidak selamanya lulusan Barat terpengaruh gaya berfikir ala Barat yang liberal dan sekuler. Sebagian ada yang tetap kritis, bahkan ikut dalam menghadang gerakan sekularisme dan liberalisme di Indonesia.
Professor Rasjidi, misalnya. Lulusan program Islamic Studies di Universitas McGill, Kanada ini justru ikut dalam menghadang gerakan anti sekularisme dan liberalisme di Indonesia. Menurut mantan Menteri Agama RI pertama ini, pada umumnya belajar Islam di Barat sangat terpengaruh oleh pemikiran orientalis.
“Inilah salah satu kekurangan belajar Islam di Barat, dan sulit dihindari,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan Hamid Fahmi Zarkasyi, lulusan Inggris. Kampus-kampus di Barat mempelajari Islam dengan framework (cara berfikir) orientalis. Dimana framework orientalis itu begitu detail dan rumit, sehingga kalau tidak cermat orang yang sedang belajar Islam di sana tidak akan menyadarinya.
Padahal, ungkapnya, cara orientalis dalam mempelajari Islam ini sangat berbahaya. Pasalnya, mereka mempelajari Islam bukan untuk mencari kebenaran, melainkan semata-mata untuk ilmu.
“Artinya Islam tidak dipelajari berdasarkan iman, sehingga bertambahnya ilmu tidak otomatis menjadikan bertambahnya iman. Bahkan sebaliknya dapat makin menjauhkan orang dari Tuhan,” ulas Fahmi Zarkasyi kepada Suara Hidayatullah melalui sambungan telepon. Oleh karena itu, di Barat ilmu tidak dipakai untuk beriman, dan sudah sejak lama ilmu dipisahkan dengan agama.
Walhasil, orang Islam yang belajar Islam dengan menggunakan framework orientalis ini akan menjadi Muslim yang kritis terhadap tradisi intelektual Islam, tetapi apresiatif terhadap tradisi intelektual Barat. Di sinilah Islam dipelajari secara telanjang, tidak dengan iman. “Jadi bagaimana mungkin Anda belajar ilmu tafsir tanpa keimanan? Surûthu tafâsir (syarat-syarat menafsirkan -red) nya saja sudah dilanggar,” ujar Hamid. Yang paling jelas, tambah Hamid, cara mempelajari Islam seperti ini akan merubah cara pandang orang terhadap Islam.
Perubahan cara pandang ini pada akhirnya akan merubah banyak hal, termasuk merubah cara berfikir dan merubah cara berislam orang yang bersangkutan.
Sementara menurut Syamsuddin Arif dari Johann Wolfgang Goethe-Universität, Frankfurt am Main, Jerman, efek negatif belajar Islam di Barat adalah orang bisa menjadi skeptis (senantiasa meragukan), agnostik (selalu mencari tapi tidak pernah menemukan), pedantik (cenderung berbelit-belit), reduksionistik (suka mengerucutkan permasalahan), dan lain sebagainya.
Walaupun menurutnya ini tergantung pada masing-masing individunya. ”Kalau yang bersangkutan 'ignorant', jahil mengenai agamanya sendiri dan buta akan tradisi intelektual Islam, apalagi kalau sudah kemasukan inferiority complex alias minder, tentu mudah sekali terpukau dan terpengaruh oleh hasil kajian islamolog Barat,” ujar dosen Universitas Antar Bangsa Malaysia ini.
Di samping itu, giatnya Barat mengundang mahasiswa muslim untuk belajar Islam di universitas mereka juga memiliki tujuan tertentu. Hal ini tidak terlepas dari agenda mereka untuk merubah pandangan umat Islam terhadap agamanya.
Sebagaimana yang dijelaskan Hamid, bahwa sekarang ini Barat menginginkan orang Islam memahami Islam sebagaimana Barat memahami Islam. “Karena sementara ini mereka menganggap bahwa pemahaman-pemahaman Islam yang berasal dari lembaga-lembaga Islam seperti pesantren menghasilkan Islam yang tidak toleran terhadap agama lain atau bangsa lain yang pada puncaknya tidak toleran terhadap Barat,” Hamid memberikan alasannya.
Menghilangkan Sentimen Anti-Barat
Djayadi Hanan, mahasiswa S3 The Ohio State University USA, juga membenarkan penjelasan Hamid. Menurutnya, program beasiswa studi Islami ke Barat adalah merupakan upaya pihak Barat (Amerika Serikat) membangun hubungan dengan dunia Islam, khususnya Indonesia .
Menurut perspektif mereka (Barat), ini adalah strategi meminimalisir sentimen negatif terhadap Barat (AS maupun Eropa) yang tumbuh di masyarakat Muslim. Semakin banyak mahasiswa muslim belajar ke AS, semakin terbuka peluang mereka membangun jembatan ke dunia Islam.
“Mereka anggap cara militeristik tidaklah ampuh untuk meredam kebencian masyarakat muslim terhadap Barat. Maka dilakukan pendekatan sosial, dalam dunia politik dikenal dengan cara soft power (kekuasaan lunak). Dan itu salah satunya melalui pendidikan,” ujar mantan Ketua Umum PB PII periode 1998-2000 ini.
Jalaluddin, alumni Al-Azhar Mesir, mengamini pendapat di atas. Menurutnya, meskipun kajian orientalis nampak obyektif dan tanpa interest (kepentingan), namun sebenarnya ia berfungsi untuk tujuan politik. Hal ini, ulasnya, dapat dilihat dari isu-isu yang digulirkan dalam studi-studi Islam di Barat, seperti sistem politik demokrasi, doktrin kesetaraan gender, pluralisme agama, hak asasi manusia, liberalisme, sekularisme dan relativisme, yang kesemuanya memiliki nilai-nilai pro Barat.
”Maka sulit untuk tidak mengatakan bahwa studi-studi Islam tidak digunakan untuk mendukung ide-ide Barat,” ujar pria yang sehari-hari mengajar di UIN Malang ini.
Syamsuddin Arif setuju dengan hal ini. Menurutnya studi Islam di Barat misinya sudah jelas, yaitu untuk mempertahankan dan mengukuhkan hegemoni intelektual Barat atas dunia Islam. Lebih jauh Syamsuddin mengatakan ada hubungan yang sangat erat antara program ini dengan agenda-agenda tertentu yang jelas berpihak pada kepentingan politik, ekonomi dan budaya mereka. ”Hal ini dapat dimaklumi dan terlalu naif untuk kita pungkiri,” tegasnya.
Jika demikian apakah masih boleh umat Islam belajar Islam ke Barat?
Jalaluddin menjelaskan bahwa makna ”belajar Islam” itu sendiri mengandung arti tilawah (membaca), taklim (menambah ilmu dan rasa takut kepada Allah) dan tazkiyah (mensucikan jiwa) guna mencapai tujuan puncak yaitu tauhid. Artinya dengan belajar Islam seyogyannya seorang muslim semakin dekat dengan Al Quran, semakin shaleh dan takut kepada Allah, mengamalkan ilmunya, semakin bersih jiwa dan semakin murni tauhidnya. ”Nah, tujuan-tujuan ini barangkali tidak kita dapatkan kalau kita belajar ke Barat, sebab tidak ada keteladanan amal di sana,” ujarnya.
Namun, Hamid, Jalaluddin dan Syamsuddin sepakat mengatakan boleh. Asal yang bersangkutan harus memiliki bekal terlebih dahulu. Apa bekalnya?
Pertama, niatnya harus benar. “Niatnya meningkatkan pengetahuan, menambah pengalaman dan memperluas wawasan lillahi ta'ala, bukan li-dunya yushibuha (karena motivasi keduniaan, -red),” terang Syamsuddin.
Kedua, ”Yang bersangkutan harus sudah matang dulu secara intelektual maupun spiritual,” lanjut Syamsuddin.
Untuk syarat kedua ini Hamid menjelaskan lebih jauh, bahwa yang bersangkutan harus memiliki latar belakang pemikiran khazanah dalam tradisi-tradisi Islam. “Jadi penguasaan Islamnya mencukupi, haditsnya mencukupi, tafsir, fikihnya mencukupi. Baru dia ke Barat,” ujarnya. Dan yang tak kalah penting menurut Hamid, sebelum belajar filsafat Barat orang itu harus belajar filsafat Islam lebih dulu.*
Syaikh Al Utsaimin:
Jika Ilmu yang Dituntut Tidak Mendatangkan Maslahat,
Maka Tidak Boleh Bermukim di Negeri Kuffar
Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, salah satu anggota Dewan Ulama Saudi Arabiya pernah ditanya: “Bagaimana hukumnya bermukim di negeri kuffar?”
Setelah memberikan mukaddimah, kemudian Beliau rahimahullah menyebutkan dua syarat pokok dibolehkannya tinggal di negeri kuffar. Pertama, orang yang mukim terjamin keamanan agamanya, yaitu ia harus memiliki ilmu, keimanan dan kuatnya tekad untuk beristiqomah dalam agamanya. Kedua, ia mampu melaksanakan syiar-syiar agamanya dengan tanpa halangan, seperti menunaikan shalat, melaksanakan shalat jum'at, berzakat, berpuasa, berhaji dan syiar-syiar lainnya.
Setelah terpenuhinya dua syarat pokok di atas, Beliau rahimahullah membagi beberapa hal tentang dibolehkannya bermukim di negeri kuffar. Di antara hal tersebut adalah boleh bermukim di negeri kuffar dalam rangka belajar. Kemudian beliau menyebutkan empat syarat dalam hal ini, selain dua syarat pokok di atas:
Pertama, penuntut ilmu haruslah orang yang sudah matang akal pikirannya, yang dapat membedakan hal yang bermanfaat dan hal yang membahayakan. Ia harus dapat memandang jauh ke depan. Kedua, penuntut ilmu harus memiliki ilmu agama yang cukup untuk membedakan hal yang benar dan yang salah. Ketiga, penuntut ilmu harus memiliki motivasi beragama yang kuat, sehingga agama akan menjaganya dari kekufuran dan kefasikan. Keempat, hendaknya ilmu yang dituntut di negeri kuffar benar-benar dibutuhkan bagi kemaslahatan kaum muslimin, dan tidak dapat dipelajari melainkan di institusi-institusi pendidikan di dalam negeri kuffar tersebut.
Jika ilmu yang dituntut tidak mendatangkan kemaslahatan yang penting bagi kaum muslimin, atau ilmu itu dapat dipelajari di institusi-institusi pendidikan di negeri kaum muslimin, maka bermukim di negeri kuffar dalam keadaan demikian tidak diperbolehkan karena banyaknya bahaya yang mengancam agama, akhlak, membuang-buang harta yang banyak tanpa faidah.
5. Dr. Syamsuddin Arif, Dosen IIUM Malaysia
‘Tak Mungkin Belajar Islam pada orang yang Seumur Hidupnya Junub”
Lutfie Assyaukanie pernah mengatakan, "Asiknya belajar Islam di Barat" Anda sendiri menemukan di mana asiknya?
Kalau ingin mempelajari seluk-beluk ajaran Islam secara serius lagi mendalam, dengan tujuan menjadi ulama pewaris Nabi dalam arti yang sesungguhnya, maka universitas-universitas di Barat bukanlah tempatnya –paling tidak hingga sekarang ini dan mungkin pula sampai nanti.
Bagaimana mungkin seorang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak pernah bersuci, tidak pernah shalat, disebut ahli hadis, ahli tafsir, ahli fiqh? Bagaimana mungkin orang yang seumur hidupnya dalam keadaan junub disejajarkan dengan Imam as-Syafi'i, Imam Ahmad, Imam al-Ghazali? Hayhaata hayhaata, saa'a maa yahkumuun (Aduhai, aduhai sungguh suatu keputusan yang buruk-red).
Namun kalau tujuannya mempelajari cara sarjana Barat mengkaji Islam, maka saya kira bukan masalah. Adapun soal asiknya belajar di Barat itu memang betul. Tapi ini tentu bukan hanya di Barat, tetapi lebih tepatnya di negeri orang. Bagi orang Barat belajar di Timur itu mengasikkan, banyak kejutan karena serba tak pasti. Berbeda dengan suasana di negeri asal mereka yang semuanya teratur dan serba terencana, sehingga hidup sehari-hari monoton menjemukan. Sebaliknya, bagi orang Timur hidup di Barat itu nyaman dan menyenangkan. Lingkungannya bersih, transportasi murah, lancar, aman, dan lain sebagainya. Jadi, yang asik bagi saya itu suasana hidup di Barat, bukan belajar Islam di Barat.
Menurut Anda, untuk seorang Muslim Indonesia, perlukah belajar studi Islam di Barat?
Nah, pertanyaan ini sudah betul. Belajar studi Islam di Barat, bukan belajar Islam. Jawabannya, menurut saya, tetap perlu, meski harus diikat dengan niat dan syarat yang jelas. Niatnya meningkatkan pengetahuan, menambah pengalaman dan memperluas wawasan lillahi ta'ala, bukan li-dunya yushibuha. Pelajarilah apa metodologi riset yang biasa disebut sebagai technique of scholarship, yang menggabungkan penguasaan bahasa, budaya dan sejarah dengan kecakapan filologi dan ketajaman analisis falsafi. Adapun syaratnya yang bersangkutan harus sudah matang dulu secara intelektual maupun spiritual.
Sebenarnya, apa sih efeknya jika belajar studi Islam di Barat?
Efeknya banyak, bisa positif dan bisa negatif. Positifnya anda dilatih untuk serius dan teliti dalam mengkaji suatu masalah. Anda juga akan paham mengapa dan untuk apa orang-orang Barat itu menekuni studi Islam.
Efek negatifnya juga ada. Menjadi skeptis (senantiasa meragukan), agnostik (selalu mencari tapi tidak pernah menemukan), pedantik (cenderung berbelit-belit), reduksionistik (suka mengerucutkan permasalahan) dan lain sebagainya. Namun, menurut saya, soal efek ini tergantung orangnya. Kalau yang bersangkutan 'ignorant', jahil mengenai agamanya sendiri dan buta akan tradisi intelektual Islam, apalagi kalau sudah kemasukan 'inferiority complex' alias minder, tentu mudah sekali terpukau dan terpengaruh oleh hasil kajian islamolog Barat.
Bukankah, di banyak kasus, orang mengaku menemukan Islam di Barat?
Saya kira itu ungkapan frustasi yang berlebihan. Sebuah jawaban untuk pertanyaan yang telah menggangu para pemikir Muslim dari mulai Abduh, Iqbal, Rahman hingga al-Attas: limaadza ta'akhkhara l-muslimun wa taqaddama ghayruhum? Kenapa umat Islam tertinggal, sementara umat-umat lain maju pesat? Keterbelakangan umat bukan disebabkan oleh ajaran Islam, sebagaimana kemajuan Barat bukan dikarenakan agamanya. Kemajuan, kebersihan, kesehatan, ketertiban itu soal mentalitas, soal disiplin, kejujuran dan kerja keras. Meminjam ungkapan almarhum Ustadz Rahmat Abdullah: " Umat islam ini bagaikan mobil tua yang remnya pakem, sedangkan Barat itu bagiakan mobil mewah yang remnya blong."
Menurut Anda, apakah studi-studi Islam di Barat atau Eropa itu selalu kental misi orientalisme?
Saya tidak ingin memukul-rata. Namun, pada banyak kasus memang tak dapat dipisahkan dari agenda-agenda tertentu yang jelas berpihak pada kepentingan politik, ekonomi, budaya mereka. Hal ini dapat dimaklumi dan terlalu naif untuk kita pungkiri.*
(suara hidayatullah)
Ada upaya meminimalisir sentimen terhadap Barat. Caranya, melalui jalur pendidikan. Inikah agenda di balik studi Islam di Barat?
Tidak selamanya lulusan Barat terpengaruh gaya berfikir ala Barat yang liberal dan sekuler. Sebagian ada yang tetap kritis, bahkan ikut dalam menghadang gerakan sekularisme dan liberalisme di Indonesia.
Professor Rasjidi, misalnya. Lulusan program Islamic Studies di Universitas McGill, Kanada ini justru ikut dalam menghadang gerakan anti sekularisme dan liberalisme di Indonesia. Menurut mantan Menteri Agama RI pertama ini, pada umumnya belajar Islam di Barat sangat terpengaruh oleh pemikiran orientalis.
“Inilah salah satu kekurangan belajar Islam di Barat, dan sulit dihindari,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan Hamid Fahmi Zarkasyi, lulusan Inggris. Kampus-kampus di Barat mempelajari Islam dengan framework (cara berfikir) orientalis. Dimana framework orientalis itu begitu detail dan rumit, sehingga kalau tidak cermat orang yang sedang belajar Islam di sana tidak akan menyadarinya.
Padahal, ungkapnya, cara orientalis dalam mempelajari Islam ini sangat berbahaya. Pasalnya, mereka mempelajari Islam bukan untuk mencari kebenaran, melainkan semata-mata untuk ilmu.
“Artinya Islam tidak dipelajari berdasarkan iman, sehingga bertambahnya ilmu tidak otomatis menjadikan bertambahnya iman. Bahkan sebaliknya dapat makin menjauhkan orang dari Tuhan,” ulas Fahmi Zarkasyi kepada Suara Hidayatullah melalui sambungan telepon. Oleh karena itu, di Barat ilmu tidak dipakai untuk beriman, dan sudah sejak lama ilmu dipisahkan dengan agama.
Walhasil, orang Islam yang belajar Islam dengan menggunakan framework orientalis ini akan menjadi Muslim yang kritis terhadap tradisi intelektual Islam, tetapi apresiatif terhadap tradisi intelektual Barat. Di sinilah Islam dipelajari secara telanjang, tidak dengan iman. “Jadi bagaimana mungkin Anda belajar ilmu tafsir tanpa keimanan? Surûthu tafâsir (syarat-syarat menafsirkan -red) nya saja sudah dilanggar,” ujar Hamid. Yang paling jelas, tambah Hamid, cara mempelajari Islam seperti ini akan merubah cara pandang orang terhadap Islam.
Perubahan cara pandang ini pada akhirnya akan merubah banyak hal, termasuk merubah cara berfikir dan merubah cara berislam orang yang bersangkutan.
Sementara menurut Syamsuddin Arif dari Johann Wolfgang Goethe-Universität, Frankfurt am Main, Jerman, efek negatif belajar Islam di Barat adalah orang bisa menjadi skeptis (senantiasa meragukan), agnostik (selalu mencari tapi tidak pernah menemukan), pedantik (cenderung berbelit-belit), reduksionistik (suka mengerucutkan permasalahan), dan lain sebagainya.
Walaupun menurutnya ini tergantung pada masing-masing individunya. ”Kalau yang bersangkutan 'ignorant', jahil mengenai agamanya sendiri dan buta akan tradisi intelektual Islam, apalagi kalau sudah kemasukan inferiority complex alias minder, tentu mudah sekali terpukau dan terpengaruh oleh hasil kajian islamolog Barat,” ujar dosen Universitas Antar Bangsa Malaysia ini.
Di samping itu, giatnya Barat mengundang mahasiswa muslim untuk belajar Islam di universitas mereka juga memiliki tujuan tertentu. Hal ini tidak terlepas dari agenda mereka untuk merubah pandangan umat Islam terhadap agamanya.
Sebagaimana yang dijelaskan Hamid, bahwa sekarang ini Barat menginginkan orang Islam memahami Islam sebagaimana Barat memahami Islam. “Karena sementara ini mereka menganggap bahwa pemahaman-pemahaman Islam yang berasal dari lembaga-lembaga Islam seperti pesantren menghasilkan Islam yang tidak toleran terhadap agama lain atau bangsa lain yang pada puncaknya tidak toleran terhadap Barat,” Hamid memberikan alasannya.
Menghilangkan Sentimen Anti-Barat
Djayadi Hanan, mahasiswa S3 The Ohio State University USA, juga membenarkan penjelasan Hamid. Menurutnya, program beasiswa studi Islami ke Barat adalah merupakan upaya pihak Barat (Amerika Serikat) membangun hubungan dengan dunia Islam, khususnya Indonesia .
Menurut perspektif mereka (Barat), ini adalah strategi meminimalisir sentimen negatif terhadap Barat (AS maupun Eropa) yang tumbuh di masyarakat Muslim. Semakin banyak mahasiswa muslim belajar ke AS, semakin terbuka peluang mereka membangun jembatan ke dunia Islam.
“Mereka anggap cara militeristik tidaklah ampuh untuk meredam kebencian masyarakat muslim terhadap Barat. Maka dilakukan pendekatan sosial, dalam dunia politik dikenal dengan cara soft power (kekuasaan lunak). Dan itu salah satunya melalui pendidikan,” ujar mantan Ketua Umum PB PII periode 1998-2000 ini.
Jalaluddin, alumni Al-Azhar Mesir, mengamini pendapat di atas. Menurutnya, meskipun kajian orientalis nampak obyektif dan tanpa interest (kepentingan), namun sebenarnya ia berfungsi untuk tujuan politik. Hal ini, ulasnya, dapat dilihat dari isu-isu yang digulirkan dalam studi-studi Islam di Barat, seperti sistem politik demokrasi, doktrin kesetaraan gender, pluralisme agama, hak asasi manusia, liberalisme, sekularisme dan relativisme, yang kesemuanya memiliki nilai-nilai pro Barat.
”Maka sulit untuk tidak mengatakan bahwa studi-studi Islam tidak digunakan untuk mendukung ide-ide Barat,” ujar pria yang sehari-hari mengajar di UIN Malang ini.
Syamsuddin Arif setuju dengan hal ini. Menurutnya studi Islam di Barat misinya sudah jelas, yaitu untuk mempertahankan dan mengukuhkan hegemoni intelektual Barat atas dunia Islam. Lebih jauh Syamsuddin mengatakan ada hubungan yang sangat erat antara program ini dengan agenda-agenda tertentu yang jelas berpihak pada kepentingan politik, ekonomi dan budaya mereka. ”Hal ini dapat dimaklumi dan terlalu naif untuk kita pungkiri,” tegasnya.
Jika demikian apakah masih boleh umat Islam belajar Islam ke Barat?
Jalaluddin menjelaskan bahwa makna ”belajar Islam” itu sendiri mengandung arti tilawah (membaca), taklim (menambah ilmu dan rasa takut kepada Allah) dan tazkiyah (mensucikan jiwa) guna mencapai tujuan puncak yaitu tauhid. Artinya dengan belajar Islam seyogyannya seorang muslim semakin dekat dengan Al Quran, semakin shaleh dan takut kepada Allah, mengamalkan ilmunya, semakin bersih jiwa dan semakin murni tauhidnya. ”Nah, tujuan-tujuan ini barangkali tidak kita dapatkan kalau kita belajar ke Barat, sebab tidak ada keteladanan amal di sana,” ujarnya.
Namun, Hamid, Jalaluddin dan Syamsuddin sepakat mengatakan boleh. Asal yang bersangkutan harus memiliki bekal terlebih dahulu. Apa bekalnya?
Pertama, niatnya harus benar. “Niatnya meningkatkan pengetahuan, menambah pengalaman dan memperluas wawasan lillahi ta'ala, bukan li-dunya yushibuha (karena motivasi keduniaan, -red),” terang Syamsuddin.
Kedua, ”Yang bersangkutan harus sudah matang dulu secara intelektual maupun spiritual,” lanjut Syamsuddin.
Untuk syarat kedua ini Hamid menjelaskan lebih jauh, bahwa yang bersangkutan harus memiliki latar belakang pemikiran khazanah dalam tradisi-tradisi Islam. “Jadi penguasaan Islamnya mencukupi, haditsnya mencukupi, tafsir, fikihnya mencukupi. Baru dia ke Barat,” ujarnya. Dan yang tak kalah penting menurut Hamid, sebelum belajar filsafat Barat orang itu harus belajar filsafat Islam lebih dulu.*
Syaikh Al Utsaimin:
Jika Ilmu yang Dituntut Tidak Mendatangkan Maslahat,
Maka Tidak Boleh Bermukim di Negeri Kuffar
Syeikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, salah satu anggota Dewan Ulama Saudi Arabiya pernah ditanya: “Bagaimana hukumnya bermukim di negeri kuffar?”
Setelah memberikan mukaddimah, kemudian Beliau rahimahullah menyebutkan dua syarat pokok dibolehkannya tinggal di negeri kuffar. Pertama, orang yang mukim terjamin keamanan agamanya, yaitu ia harus memiliki ilmu, keimanan dan kuatnya tekad untuk beristiqomah dalam agamanya. Kedua, ia mampu melaksanakan syiar-syiar agamanya dengan tanpa halangan, seperti menunaikan shalat, melaksanakan shalat jum'at, berzakat, berpuasa, berhaji dan syiar-syiar lainnya.
Setelah terpenuhinya dua syarat pokok di atas, Beliau rahimahullah membagi beberapa hal tentang dibolehkannya bermukim di negeri kuffar. Di antara hal tersebut adalah boleh bermukim di negeri kuffar dalam rangka belajar. Kemudian beliau menyebutkan empat syarat dalam hal ini, selain dua syarat pokok di atas:
Pertama, penuntut ilmu haruslah orang yang sudah matang akal pikirannya, yang dapat membedakan hal yang bermanfaat dan hal yang membahayakan. Ia harus dapat memandang jauh ke depan. Kedua, penuntut ilmu harus memiliki ilmu agama yang cukup untuk membedakan hal yang benar dan yang salah. Ketiga, penuntut ilmu harus memiliki motivasi beragama yang kuat, sehingga agama akan menjaganya dari kekufuran dan kefasikan. Keempat, hendaknya ilmu yang dituntut di negeri kuffar benar-benar dibutuhkan bagi kemaslahatan kaum muslimin, dan tidak dapat dipelajari melainkan di institusi-institusi pendidikan di dalam negeri kuffar tersebut.
Jika ilmu yang dituntut tidak mendatangkan kemaslahatan yang penting bagi kaum muslimin, atau ilmu itu dapat dipelajari di institusi-institusi pendidikan di negeri kaum muslimin, maka bermukim di negeri kuffar dalam keadaan demikian tidak diperbolehkan karena banyaknya bahaya yang mengancam agama, akhlak, membuang-buang harta yang banyak tanpa faidah.
5. Dr. Syamsuddin Arif, Dosen IIUM Malaysia
‘Tak Mungkin Belajar Islam pada orang yang Seumur Hidupnya Junub”
Lutfie Assyaukanie pernah mengatakan, "Asiknya belajar Islam di Barat" Anda sendiri menemukan di mana asiknya?
Kalau ingin mempelajari seluk-beluk ajaran Islam secara serius lagi mendalam, dengan tujuan menjadi ulama pewaris Nabi dalam arti yang sesungguhnya, maka universitas-universitas di Barat bukanlah tempatnya –paling tidak hingga sekarang ini dan mungkin pula sampai nanti.
Bagaimana mungkin seorang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak pernah bersuci, tidak pernah shalat, disebut ahli hadis, ahli tafsir, ahli fiqh? Bagaimana mungkin orang yang seumur hidupnya dalam keadaan junub disejajarkan dengan Imam as-Syafi'i, Imam Ahmad, Imam al-Ghazali? Hayhaata hayhaata, saa'a maa yahkumuun (Aduhai, aduhai sungguh suatu keputusan yang buruk-red).
Namun kalau tujuannya mempelajari cara sarjana Barat mengkaji Islam, maka saya kira bukan masalah. Adapun soal asiknya belajar di Barat itu memang betul. Tapi ini tentu bukan hanya di Barat, tetapi lebih tepatnya di negeri orang. Bagi orang Barat belajar di Timur itu mengasikkan, banyak kejutan karena serba tak pasti. Berbeda dengan suasana di negeri asal mereka yang semuanya teratur dan serba terencana, sehingga hidup sehari-hari monoton menjemukan. Sebaliknya, bagi orang Timur hidup di Barat itu nyaman dan menyenangkan. Lingkungannya bersih, transportasi murah, lancar, aman, dan lain sebagainya. Jadi, yang asik bagi saya itu suasana hidup di Barat, bukan belajar Islam di Barat.
Menurut Anda, untuk seorang Muslim Indonesia, perlukah belajar studi Islam di Barat?
Nah, pertanyaan ini sudah betul. Belajar studi Islam di Barat, bukan belajar Islam. Jawabannya, menurut saya, tetap perlu, meski harus diikat dengan niat dan syarat yang jelas. Niatnya meningkatkan pengetahuan, menambah pengalaman dan memperluas wawasan lillahi ta'ala, bukan li-dunya yushibuha. Pelajarilah apa metodologi riset yang biasa disebut sebagai technique of scholarship, yang menggabungkan penguasaan bahasa, budaya dan sejarah dengan kecakapan filologi dan ketajaman analisis falsafi. Adapun syaratnya yang bersangkutan harus sudah matang dulu secara intelektual maupun spiritual.
Sebenarnya, apa sih efeknya jika belajar studi Islam di Barat?
Efeknya banyak, bisa positif dan bisa negatif. Positifnya anda dilatih untuk serius dan teliti dalam mengkaji suatu masalah. Anda juga akan paham mengapa dan untuk apa orang-orang Barat itu menekuni studi Islam.
Efek negatifnya juga ada. Menjadi skeptis (senantiasa meragukan), agnostik (selalu mencari tapi tidak pernah menemukan), pedantik (cenderung berbelit-belit), reduksionistik (suka mengerucutkan permasalahan) dan lain sebagainya. Namun, menurut saya, soal efek ini tergantung orangnya. Kalau yang bersangkutan 'ignorant', jahil mengenai agamanya sendiri dan buta akan tradisi intelektual Islam, apalagi kalau sudah kemasukan 'inferiority complex' alias minder, tentu mudah sekali terpukau dan terpengaruh oleh hasil kajian islamolog Barat.
Bukankah, di banyak kasus, orang mengaku menemukan Islam di Barat?
Saya kira itu ungkapan frustasi yang berlebihan. Sebuah jawaban untuk pertanyaan yang telah menggangu para pemikir Muslim dari mulai Abduh, Iqbal, Rahman hingga al-Attas: limaadza ta'akhkhara l-muslimun wa taqaddama ghayruhum? Kenapa umat Islam tertinggal, sementara umat-umat lain maju pesat? Keterbelakangan umat bukan disebabkan oleh ajaran Islam, sebagaimana kemajuan Barat bukan dikarenakan agamanya. Kemajuan, kebersihan, kesehatan, ketertiban itu soal mentalitas, soal disiplin, kejujuran dan kerja keras. Meminjam ungkapan almarhum Ustadz Rahmat Abdullah: " Umat islam ini bagaikan mobil tua yang remnya pakem, sedangkan Barat itu bagiakan mobil mewah yang remnya blong."
Menurut Anda, apakah studi-studi Islam di Barat atau Eropa itu selalu kental misi orientalisme?
Saya tidak ingin memukul-rata. Namun, pada banyak kasus memang tak dapat dipisahkan dari agenda-agenda tertentu yang jelas berpihak pada kepentingan politik, ekonomi, budaya mereka. Hal ini dapat dimaklumi dan terlalu naif untuk kita pungkiri.*
(suara hidayatullah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar