Minggu, 29 Juli 2012

Belajar Islam Kok Ke Barat?? part 1

Belajar Islam di Barat. Sebenarnya bukan termasuk istilah baru, hanya saja kini jadi tren di sebagian kalangan akademisi Muslim. Meminjam ungkapan Djayadi Hannan, mahasiswa S3 Ohio University, ada prestise tersendiri kalau Muslim Indonesia belajar Islam di Barat. Prestise di mata siapa? Wallahu’alam.

Belajar di Barat memang menawarkan berbagai fasilitas kemudahan. Mulai fasilitas perpustakaan, kurikulum, metodologi belajar, dan lingkungan. Bahkan, yang tidak kalah penting lagi adalah uang saku. Sudah gratis, dapat uang saku minimal 10 juta. Enak bukan?

Tapi, tahukah Anda jika misi orientalis ternyata ada di balik ini semua. Bahkan, menurut Syamsuddin Arif, doktor yang sempat mukim di Jerman, studi Islam di Barat misinya untuk mempertahankan dan mengukukuhkan hegemoni intelektual Barat atas dunia Islam.

Walhasil, kalau kita amati lulusan studi Islam di Barat malah berfikir ala Barat yang mengusung liberalisme dan sekularisme. Contohnya, Anda tentu sudah mengetahui! Tentu tidak semua. Buktinya, masih ada lulusan Barat yang tetap, bahkan makin kuat memegang ajaran Islam. 

Tentu, kami tidak bermaksud menghalangi Anda untuk berangkat studi Islam ke Barat. Setidaknya, tulisan ini dapat menjadi bahan pertimbangan sebelum Anda berangkat ke sana.


Fasilitas Lengkap, Dijamin Gratis

Departemen Agama RI menjalin kerjasama dengan kampus di Barat. Fasilitas lengkap, gratis, dan dapat uang saku pula.

Belajar Islam ke negara-negara Timur Tengah, itu biasa. Belajar Islam ke negara-negara Barat, ini baru beda dari biasa. Padahal, negara-negara tersebut—setidaknya menurut catatan sejarah—bukan negara yang menjadi tempat berkembangnya Islam, seperti Timur Tengah. Meski demikian, peminatnya dari tahun ke tahun terbilang tidak sedikit.

Menurut data Direktorat Perguruan Tinggi Islam Departemen Agama tahun 2005, pengiriman mahasiswa untuk belajar Islam ke negeri Barat dimulai pada tahun 1950-an. Jumlah mahasiswa yang berangkat berjumlah tiga orang, yaitu: Harun Nasution, Mukti Ali, dan Rasyidi. Ketiga orang tersebut belajar di McGill’ Institute of Islamic Studies (MIIS), Kanada. Program ini merupakan hasil kerjasama antara Indonesia dan Kanada.

Tahun 1970-an, Indonesia kembali mengirimkan 17 orang mahasiswanya ke institut studi Islam di Universitas McGill yang didirikan oleh Wilfred Cantwell Smith, seorang orientalis terkenal. Pengiriman ini atas beasiswa dari CIDA dan Hazen Foundation yang diberikan kepada, antara lain: Anton Timur Djaelani, Murni Jamal, dan Zaini Muchtarom.

Kerjasama


Keberangkatan mahasiswa Indonesia untuk kuliah atau penelitian Islam di negara-negara Barat, tidak terlepas dari kerjasama yang dijalin Indonesia dengan beberapa negara Barat, misalnya Kanada, Australia, Jerman, dan Belanda. Dari kerjasama itulah, mahasiswa Indonesia mendapatkan kursi di kampus-kampus negara tersebut. 

Misalnya dengan Kanada, dilakukan antara McGill University dengan IAIN dalam bentuk proyek Indonesia Canada Islamic Higher Education (ICIHEP) yang berjalan selama dua fase (1989-1994 dan 1995-1999). Fase pertama (1989-1994) difokuskan pada pemberian beasiswa untuk mengembangkan kapasitas staff pengajar di 14 IAIN.

Fase kedua (1994-1999), difokuskan untuk memperkuat kapasitas kelembagaan UIN Jakarta dan UIN Yogyakarta melalui pemberian beasiswa, penelitian gabungan (joint research), pengiriman dosen tamu (visiting professor), dan sejumlah pelatihan. Di bawah proyek ICIHEP, lebih dari 90 dosen IAIN telah mendapatkan beasiswa untuk menyelesaikan program master dan 11 dosen menyelesiakan program doktor di McGill University, Kanada.

Terakhir, Indonesia dan Kanada membangun proyek IAIN Indonesia Social Equity Project (IISEP) pada tahun 2001-2006. Proyek ini lebih diarahkan pada percepatan kesetaraan sosial melalui peran akademis dan sosial UIN Jakarta dan UIN Yogyakarta

Kerjasama lainnya dijalin oleh Departemen Agama RI dengan dua universitas di Jerman, yaitu Universitas Hamburg dan Universitas Leipzig. Ruang ligkup kerjasama, antara lain: beasiswa bagi program doktor dalam bidang kajian Islam di Universitas Leipig, program pertukaran dosen dan kerjasama penelitian, dan seminar bersama.

Di samping dengan universitas dari Jerman, Depag juga mengadakan perjanjian kerjasama dengan universitas dari Australia dan universitas dari Belanda. Dengan Australia Depag menandatangani perjanjian Arrangement between The Australia-Indonesia Intitute of the Australian Department of Foreign Affairs and Trade and The Department of Religious Affairs of Republic of Indonesia in relation to Partnership in education and training of regional Islamic Intitutions pada 09 Juni 2004 di Jakarta.

Perjanjian kerjasama ini menyelenggarakan program pelatihan pascasarjana untuk IAIN/STAIN luar Jawa. Di antaranya pengiriman empat dosen IAIN/STAIN luar Jawa untuk mengikuti program pelatihan selama satu tahun di beberapa universitas di Australia.

Sementara perjanjian kerjasama dengan Belanda ditandatangani oleh Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam dan Rektor Universitas Leiden di Jakarta pada tanggal 26 April 2004. Diantara isi perjanjiannya adalah pengiriman mahasiswa Indonesia untuk belajar di Universitas Leiden dan program penelitian bersama bagi 14 tenaga pengajar perguruan tinggi agama Islam di Leiden University.

Fasilitas Lengkap


Menurut Dr. Siti Syamsiatun, MA, lulusan Islamic Studies McGill University, belajar Islam di Barat tidak kalah dengan kuliah di Timur Tengah. Siti mencontohkan orang-orang telah menjadi lulusan Barat, misalnya Harun Nasution.

Ia merasa bersyukur bisa kuliah di Barat. “Cara studi di Barat sangat intensif, satu kelas hanya enam – dua belas orang, sehingga interaksi dosen dan mahasiswa sangat baik,” terang Siti yang mendapat beasiswa tahun 1996 dari Depag. Tidak hanya itu, menurut Siti, metodologi di Barat lebih kaya.

“Di Barat kita tidak hanya menggunakan metodologi studi-studi Islam yang tradisional, tapi juga menggabungkan metode-metode yang ditemukan di ilmu sosial seperti sosiologi, histori, psikologi kita gunakan juga untuk memahami keberagamaan,” jelasnya. Yang lebih unggul lagi, tambah Siti, di McGill tidak hanya speak-speak, tapi living practicies by muslim around the world juga menjadi bagian dari studi.

Lain halnya di Timur Tengah. Menurut yang Siti ketahui, di Mesir untuk S1 masih seperti pengajian, struktur kurang jelas, banyak menghafal, satu kelas terdiri dari banyak mahasiswa. “Itu kurang intensif,” cetusnya.

Di Universitas McGill, program Islamic Studies terdiri dari 4 jurusan, yaitu: Pemikiran Islam, Hukum Islam, Sejarah Islam, dan Pendidikan Islam. “Di sana yang lebih enak lagi, kita bisa mengambil subjek (mata kuliah-red) di fakultas lain,” tutur Siti.

Sementara itu, pengajar Islamic Studies di McGill ada yang Muslim dan non Muslim. Menurut Siti, pengajar non Muslim memiliki kualifikasi yang sangat tinggi, seperti dosen di bidang Tafsir yang menguasai bahasa Arab dengan baik, kebudayaan Arab, dan sebagainya. “Kadang-kadang kita sampai bingung, ini orang Islam atau bukan karena pengetahuannya tentang Al-Quran, Hadits justru lebih baik dari kita,” aku Siti.

Siti juga mengaku, dalam materi yang mereka berikan juga didapati bias-bias peninggalan dari orientalis. “Tapi, untuk sarjana-sarjana mulai tahun 80-an, 90-an sudah mulai fair dalam memandang agama lain,” tambahnya.

Hal yang sama juga disampaikan Jainuri, doktor lulusan Universitas McGill, Kanda. Menurutnya, belajar di Barat lebih konsentrasi dan cepat selesai. Di samping itu, professor di Barat, terutama di Universitas McGill cukup terkenal. Komposisi antara yang Islam, Kristen, dan Orientalis selalu harus dipertahankan. “Tidak boleh didominasi oleh salah satu kelompok,” ujar pria yang kini mengajar di Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya.

Hal yang lain tentu ada fasilitas. “Di Indonesia kita tidak menjumpai perpustakaan Islamic Studies. Di sana ada,” ulas Jainuri. Di perpustakaan itu, tambah Jainuri, bisa didapatkan buku-buku Islam klasik sampai modern. Semua bisa didapatkan. Buku-buku tafsir lengkap, hadist, kutubusittah, dan banyak lagi. Semua dari yang aslinya, juga ada yang terjemahan. Bahkan, kitab-kitab sejarah, manuscript lama juga tersedia.

“Tinggal kita mau seperti apa? Sekuler, bisa. Fundamentalis, juga bisa.”

Ditambah lagi, di Barat, banyak karya-karya hasil penelitian lapangan tentang masyarakat Muslim dan budaya. Jadi kombinasi yang sangat penting. “Di Indonesia penekannya hanya kajian normatif, tapi analisanya kurang. Lain dengan di Barat,” ulas Jainuri.

Sehingga dari penelitian itu, bagaimana Islam yang diyakini secara normatif, di lapangan ternyata sangat beragam. “Di lapangan, Islam sangat beragam. Semuanya mengklaim Muslim. Keragaman kenapa terjadi, itulah hal yang menarik,” aku Jainuri.

Mahasiswa di sana juga sangat apresiatif dengan budaya lain. “Bagi mereka kekayaan budaya umat manusia di dunia ini perlu diketahui untuk menikmati. Karena itu bagi mereka untuk mempelajari Islam tidak harus masuk Islam. Sekedar pengetahuan saja,” ungkap Junairi.

10 Juta per Bulan

 
Sementara itu, menurut Hamid Fahmi Zarkasyi, lulusan universitas Birmingham Inggris, penyebab para mahasiswa Indonesia belajar ke Barat bukan semata-mata karena minat, tapi lebih karena dana yang disediakan untuk belajar Islam di sana mengalir deras. “Jadi karena ada kemudahan-kemudahan,” ujarnya.

Kemudahan yang dimaksud diantaranya adalah pemberian beasiswa selama studi. Sebagian besar mahasiswa Indonesia yang belajar Islam di Barat memang mendapatkan beasiswa selama menempuh studinya.

Ibnu Adam Aviciena misalnya, mahasiswa lulusan IAIN Banten yang mendapatkan beasiswa S.2 ke Universitas Leiden, Belanda ini mengatakan bahwa selain tidak harus bayar kuliah dia juga mendapatkan uang saku. Selama 1,5 tahun di Belanda mahasiswa asal Banten ini mengaku mendapatkan uang saku sebesar 870 Euro per bulan, bila dirupiahkan menjadi sekitar 10 juta rupiah.

Itu belum seberapa karena menurut teman-temannya beasiswa sejumlah itu relatif kecil dibandingkan dengan beasiswa di negara lain.*

(Suara Hidayatullah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar