Kebijakan Amerika terhadap dunia Islam saat ini pada
dasarnya ditentukan oleh apa yang digambarkan neokonservatif Pentagon sebagai
perang melawan teror. Pendekatan yang menuntun kebijakan ini adalah untuk
mempromosikan apa yang dianggap sebagai kepentingan AS, walaupun hal ini
diungkapkan dalam retorika yang manis seperti demi melindungi demokrasi,
nilai-nilai universal dan hak-hak asasi manusia (HAM). Hal ini terlihat jelas
dalam dokumen tebal yang baru-baru ini dirilis oleh think tank sayap kanan yang
sangat berpengaruh, RAND Corporation, yang disiapkan khusus untuk angkatan
udara (AU) AS.
Dokumen setebal 525 halaman, berjudul The Muslim World After
9/11, itu menggarisbawahi strategi AS yang akan mengurangi kondisi yang dapat
menciptakan ekstremisme politik dan agama dan sikap anti-AS di kalangan
komunitas Muslim dunia.
Dokumen ini cukup jelas dalam mengidentifikasi dan
memaparkan adanya perbedaan etnik, ideologi, sektarian dan kultur di kalangan
Muslim; sebuah lompatan dari sikap standar barat selama ini yang selalu melihat
Islam dan Muslim sebagai homogen dan monolitik. Selain itu, ia juga membahas
secara detail sejumlah faktor ekonomi, sosial dan politik yang cukup kompleks
yang telah mengakibatkan ekstremisme Islam di sejumlah negara Muslim dan
menekankan bahwa ekstremisme tidaklah intrinsik hanya pada Islam. Pembahasan
soal ini cukup menarik, walaupun penyebutan peran kunci Barat, dan khususnya Amerika,
atas bangkitnya ekstremisme Islamis tampak sengaja dihindari.
Sayangnya dokumen ini kurang komprehensif dalam menawarkan
solusi menghadapai tantangan ekstremisme Islam dan memperbaiki hubungan antara
dunia Islam dan Barat. Dikatakan bahwa kebijakan Amerika di dunia Islam tidak
ada yang salah. Hampir semua kesalahan atas terjadinya keretakan hubungan
antara Barat dan dunia Islam dibebankan pada umat Islam, khususnya kelompok
ekstremis dan teroris, yang digambarkan sebagai sosok yang inheren jahat dan anti-Amerika.
Oleh karena itu, apa yang harus dilakukan AS adalah mencari jalan untuk
menetralisir kalangan ekstremis dengan bantuan Muslim moderat, tanpa perlu
membuat perubahan struktrual apapun dalam segi kebijakan ekonomi, politik dan
strategi.
Hal ini menjelaskan, sebagai contoh, mengapa dokumen ini
tidak menyebut perlunya solusi adil atas konflik Irael-Palestina atau
mengakhiri pendudukan atas Irak sebagai keharusan menuju perbaikan hubungan
antara Amerika dan dunia Islam serta untuk mengalahkan pengaruh ekstremis.
Dengan menganggap problema ekstremisme sebagai murni
diciptakan oleh Islamis jahat, maka dokumen ini hanya terfokus pada isu
ekstremisme atas nama Islam sementara tak satupun menyebut ekstremisme lain
yang tidak kecil yang dilakukan oleh fundamentalis Yahudi dan Kristen. Laporan
ini juga tidak menyebut sama sekali dukungan Amerika atas Islamis radikal pada
masa lalu (seperti di Afghanistan
untuk melawan Soviet) atau atas kelompok Muslim konservatif dalam upaya
mengalahkan pengaruh kalangan kiri, nasionalis dan anti-imperialis.
Dokumen ini cukup gamblang mengakui bahwa rezim otoritarian
di sejumlah besar negara Muslim telah memberikan kondisi subur bagi tumbuhnya
Islamis radikal untuk bangkit dan berkembang sebagai gerakan oposisi. Namun
demikian, ia tidak memberikan satu kritik pun atas dukungan konsisten AS pada
rezim-rezim otoritarian tersebut. Sebaliknya, ia menyatakan bahwa
ketergantungan tinggi kalangan diktator pada dukungan Amerika untuk bisa
bertahan justru membuat mereka lebih dapat diandalkan sebagai aliansi AS
dibanding tokoh populer terpilih.
Dokumen ini menganjurkan agar AS membangun hubungan militer
yang erat dengan negara-negara kunci, karena militer akan tetap menjadi garis
depan dalam perang kontraterorisme. Ia memberi contoh Indonesia , Pakistan dan Turki sebagai bukti.
Kalangan elit pro-Amerika di ketiga negara ini terkenal dengan pelanggaran
HAM-nya, namun mereda dipuji AS karena berhasil menciptakan kondisi sekular.
Begitulah retorika AS dalam mempromosikan demokrasi di dunia Islam.
Dokumen ini juga menganjurkan AS agar menciptakan dan
mendukung jaringan Islam liberal yang terdiri dari Muslim moderat internasional
yang nantinya dapat menantang legitimasi klaim kalangan Islamis radikal untuk
berbicara atas nama Islam, dan menawarkan sebuah pemahaman agama yang liberal.
Dokumen ini mengingatkan bahwa kelompok Islam liberal
mungkin kekurangan sumber dana yang diperlukan untuk membentuk jaringan besar
dan karena itu meminta AS untuk mendanai berbagai aktivitas kalangan ini.
Tentu saja kalangan Islam liberal yang hendak dibantu
tersebut diharapkan untuk memfokuskan kritik mereka pada kalangan Islamis
radikal, dan mungkin, diminta untuk tetap diam manis dalam berbagai kesalahan
kebijakan luar negeri AS, atau kehilangan bantuan dana sebagai taruhannya.
Perlunya menghancurkan jaringan radikal dan sistem
pendukungnya secara konstan ditekankan, walaupun tidak membuat perbedaan jelas
antara gerakan pembebasan yang berjuang melawan diktator lokal atau Amerika
atau imperialisme Israel
di satu sisi, dan kelompok radikal murni di sisi lain. Seluruh gerakan dan
kelompok yang tampak anti-Amerika atau anti-Israel secara kolektif dicap
sebagai teroris.
Dengan menutup mata pada isu kunci ekonomi dan politik yang
melibatkan ketidakmesraan hubungan kompleks antara AS dan dunia Islam, dan
dengan membebankan seluruh kesalahan hanya pada ekstremis Muslim, maka dokumen
itu menghadirkan perspektif berat sebelah. Paket yang ditawarkan dokumen itu
tampaknya tidak mungkin dapat membuat hubungan Barat dan dunia Islam menjadi
mesra.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar