Senin, 12 Maret 2012

MENDAULATKAN DINAR DAN DIRHAM SEBAGAI MATA UANG TUNGGAL DUNIA ISLAM


PhotobucketKenapa setiap meningkatnya (appresiasi) nilai Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat, maka ekonomi Indonesia dianggap sedang membaik? Sebaliknya, bila nilai Rupiah merosot (depresiasi), maka ekonomi Indonesia dianggap semakin labil. Apakah kepulihan ekonomi sesuatu negara pantas disandarkan pada naik-turunnya nilai uang mereka terhadap Dolar? Bagaimana kalau appresiasi Rupiah terjadi bersamaan dengan depresiasi Dolar, apakah masih memiliki implikasi yang sama? Tentu jawabannya tidak. Dengan kata lain, tatkala nilai Rupiah konstan, tetapi Dolar yang mengalami depresiasi—seolah-olah nilai Rupiah naik dengan sendirinya—maka menguatnya perekonomian Indonesia tidak dapat disandarkan pada naik-turunnya nilai Dolar. Jadi, mengukur tingkat kepulihan dan pertumbuhan ekonomi negara berdasarkan appresiasi atau depresiasi nilai uang domestik terhadap Dolar adalah suatu metode keliru.
Kenapa Dolar tidak bisa dijadikan tolok ukur kepulihan, kemakmuran dan juga pertumbuhan ekonomi? Ini karena Dolar bukanlah mata uang yang terjamin kestabilannya. Tidak stabilnya nilai Dolar adalah, inter alia, disebabkan fluktuasi tingkat inflasi dan adanya tindakan spekulasi dalam pasar valuta asing (Valas). Ini semua akan mempengaruhi jumlah permintaan dan penawaran Dolar. Bahkan pendewaan Dolar telah menyebabkan nilai Rupiah semakin rapuh dan perekonomian Indonesia semakin labil. Sebagai contoh, keterpaksaan Indonesia untuk membiayai pembangunan negara bersumber dari hutang pada negara-negara maju dimana proses peminjaman dan pembayaran hutang yang melibatkan Dolar, tentunya, akan semakin memperlemah nilai Rupiah pada khususnya dan juga perekonomian Indonesia pada umumnya. Semakin banyak permintaan Dolar, maka akan semakin tinggi nilai Dolar di pasar Valas. Sebaliknya, semakin banyak jumlah Rupiah yang ditawarkan, maka nilai Rupiah akan semakin melemah. Ini semua tidak akan terjadi andaikata kita telah mengadopsikan Dinar (emas) dan Dirham (perak) sebagai mata uang negara. Oleh karena itu, sudah saatnya bagi bangsa Indonesia dan umat Islam untuk bersandar pada mata uang yang memiliki tingkat kestabilan yang lebih terjamin tanpa dipengaruhi oleh hukum permintaan dan penawaran uang, bebas dari inflasi, bunga (riba), gharar, gambling, dan unsur-unsur spekulatif. Umat Islam harus segera melepaskan rantai ketergantungan mereka pada negara-negara maju (Dolar). Maka tiada pilihan lain, dan pilihan itu adalah pilihan yang paling tepat, yaitu “back to Dinar and Dirham”, seperti telah digunakan sejak zaman Romawi hingga ambruknya Kekhalifahan Usmaniyah, 1924. Kestabilan  uang Dinar (emas) dan Dirham (perak), sebenarnya, juga telah diakui dunia kapitalis. Contohnya, ketika kembali menggunakan uang standar emas pada tahun 1879, tingkat inflasi di Amerika Serikat menurun drastis menyamai tingkat inflasi pada tahun 1861, pada saat uang standar emas digunakan.
2. Sekilas Sejarah Dinar
Banyak yang berpendapat bahwa mata uang Dinar merupakan warisan kekhalifahan dunia Islam. Dalam makalahnya, “Sejarah Penggunaan Mata uang Dinar” yang dipresentasikan pada National Dinar Conference di Kuala Lumpur, Anwar (2002) mengatakan bahwa mata uang Dinar telah mulai dicetak dan digunakan sejak masa awal pemerintahan Islam. Namun, kata “Dinar” bukanlah berasal dari bahasa Arab, tetapi  berasal dari bahasa Yunani dan Latin atau mungkin merupakan versi lain dari bahasa Aramaic-Persia “Denarius”. Sementara itu, Dirham diambil dari uang perak “Drahms”, yang digunakan orang-orang Sassan di Persia. Drahms telah diambil dari nama uang perak “Drachma” yang digunakan oleh orang-orang Yunani.
Pada dasarnya, Dinar dan Dirham yang pertama sekali digunakan umat Islam adalah dicetak oleh orang-orang Persia. Dirham perak Sassanian Yezdigird III adalah mata uang koin (logam) yang pertama digunakan umat Islam. Kemudian, Dinar dan Dirham yang digunakan pada masa Khalifah Usman bin Affan juga tidak jauh berbeda dengan koin yang digunakan bangsa Persia, kecuali perbedaan penulisan bahasa di sisi uang Dirham tersebut. Penulisan bahasa Arab dengan nama Allah dan bagian dari ayat-ayat al-Qur’an di Dinar dan Dirham sudah menjadi budaya umat Islam kala itu tatkala mencetak uang Dinar.
Dirham yang pertama dicetak adalah oleh Khalifah Abdul Malik Ibn Marwan pada tahun 695 Masehi. Beliau mengarahkan Al-Hajjaj untuk mencetak Dirham dengan nilai 10 Dirham yang mempunyai harga sama dengan 7 Dinar (mithqal). Setahun kemudian, beliau menyerukan agar Dinar dicetak dan digunakan di seluruh wilayah kekuasaannya. Di koin Dinar itu, kata-kata “Allah adalah Esa” dan “Allah adalah Abadi” ditulis menggantikan gambar-gambar binatang yang sebelumnya tertera di Dinar.  Sejak saat itu, uang Dinar telah pula dicetak berbentuk bulat, di satu sisi bertuliskan “La Ilaha Illallah” dan “Alhamdulillah” dan di sisi lain tertera nama Khalifah yang mencetak uang dan tanggal pencetakannya. Kemudian, sudah menjadi hal yang lumrah, di atas koin Dirham ditulis “Sallallahu ‘Alayhi Wa Sallam” dan kadang-kadang ditulis pula potongan ayat-ayat al-Qur’an. Dinar dan Dirham tetap menjadi mata uang sah umat Islam kala itu sehingga runtuhnya khalifah Islamiyah. Sejak keruntuhan khalifah Islamiyah, berbagai jenis dan bentuk uang kertas dan logam (fiat money) mulai diperkenalkan.
Di Bumi Nusantara, Dinar dan Dirham sudah mulai digunakan ketika Sultan Muhammad Malik Al-Zahir (1297-1326) berkuasa di Kerajaan Samudera Pasai. Dinar Pasai memiliki berat 0,60 gram dan berdiameter 10 mm mempunyai mutu 18 karat. Di bagian depan Dinar Pasai tertera nama Muhammad Malik Al-Zahir dan di bagian belakangnya tertera ungkapan ‘al-Sultan al-’Adl’.  Seperti di Pasai, mata uang emas yang digunakan di Kelantan-Patani pada kurun yang sama yang terdiri dari jenis-jenis kijang dan dinar matahari juga tertera di atasnya tulisan ‘Malik al-‘Adl’. Ungkapan yang sama juga tertera pada uang Timah Terengganu yang disebut Pitis yang digunakan pada tahun 1838. Di Negeri Kedah pula, Sultan Muhammad Jiwa Zainal Syah II (1710-1760) turut mengeluarkan mata uang emas yang dinamakan Kupang yang ditempa ungkapan ‘Adil Syah’ yang berarti Raja Yang Adil. Ungkapan keadilan (al-‘Adl) yang tertera di atas uang emas jelas menunjukkan betapa pentingnya nilai-nilai keadilan ditegakkan dalam sebuah perekonomian.

One Dirham Coin
3. Al-Qur’an Tentang Dinar dan Dirham
Memang al-Qur’an dan al-Hadist tidak pernah mengklaim bahwa Dinar dan Dirham adalah satu-satunya mata uang yang sah digunakan umat Islam dalam melakukan setiap transaksi dan berbagai aktivitas ekonomi lainnya. Namun demikian, kata-kata Dinar dan Dirham yang terdapat dalam ayat-ayat berikut secara implisit menunjukkan pengakuan Allah terhadap superioritas Dinar dan Dirham. Sebutan Dinar dan Dirham, misalnya terdapat dalam ayat-ayat berikut:
“Dan di antara Ahli Kitab, ada orang yang kalau engkau amanahkan dia menyimpan sejumlah besar harta sekalipun, ia akan mengembalikannya (dengan sempurna) kepadamu, dan ada pula di antara mereka yang kalau engkau amanahkan menyimpan sedinar pun, ia tidak akan mengembalikannya kepadamu kecuali kalau engkau selalu menuntutnya…” (Q.S. Ali Imran: 75);
“Dan (setelah terjadi perundingan) mereka menjualnya dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja bilangannya…” (Q.S. Yusuf: 20).
Sedangkan dalam ayat lain, perkataan emas dan perak direkamkan untuk menjelaskan fungsi dari emas dan perak tersebut. Allah swt berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir, lalu mati sedang mereka tetap kafir, maka tidak sekali-kali akan diterima dari seseorang di antara mereka: emas sepenuh bumi, walaupun ia menebus dirinya dengan (emas yang sebanyak) itu…” (Q.S. Ali Imran: 91); dan “…Dan (ingatlah) orang-orang yang menyimpan emas dan perak serta tidak membelanjakannya pada jalan Allah, maka khabarkanlah kepada mereka dengan (balasan) azab siksa yang tidak terperi sakitnya” (Q.S. at-Taubah: 34).
Semua ayat di atas tidak menjelaskan bahwa hanya uang Dinar emas dan Dirham perak yang sah dan halal digunakan umat Islam dalam melakukan berbagai aktivitas ekonomi. Ayat-ayat di atas hanya menjelaskan fungsi emas (Dinar) dan perak (Dirham) sebagai alat penyimpan nilai (store of value), alat penukar (medium of exchange), dan alat pengukur nilai (standard of measurement). Merujuk pada ayat-ayat di atas, mayoritas para Fuqaha (Ahli Fiqh) bersetuju bahwa selain Dinar dan Dirham, Dolar, Euro, Rupiah atau berbagai jenis uang hampa (fiat money) lainnya dapat digunakan sebagai mata uang negara asal saja tidak terkontaminasi dengan unsur-unsur spekulasi, riba, gharar, dan gambling.  Walaupun demikian, para ulama lebih menggalakkan agar umat Islam menggunakan Dinar dan Dirham dibandingkan dengan Dolar dan berbagai jenis mata uang hampa lainnya, kerana Dinar dan Dirham memiliki tingkat kestabilan yang lebih tinggi.
Iraq 8 coin set 5 Fils - 1 Dinar 1971-1982
4. Kenapa Dinar dan Dirham lebih Stabil?
Gencarnya upaya negara-negara Islam akhir-akhir ini untuk mendaulatkan Dinar dan Dirham sebagai mata uang tunggal dunia Islam, tidak terlepas dari kestabilan nilai Dinar dan Dirham itu sendiri. Menurut Umar bin Khattab, berat Dinar adalah 4,25 gram, sedangkan Dirham adalah 3 gram. Penentuan nilai Dinar atau Dirham adalah didasarkan atas beratnya atau nilai intrinsiknya. Sedangkan rasio dari Dinar dan Dirham adalah berkisar antara 1:10 dan 1:16. Rasio 1:15 ditetapkan oleh Abdul Malik dan berlangsung dalam periode yang cukup lama. Hal ini juga terjadi di Inggris pada tahun 1811, yang menetapkan rasio 1:16. Sedangkan di Hamburg pada periode 1790-1827, rasio yang digunakan adalah 1:14,86. Sedangkan, soal bentuk, nama, corak, dan design fisik Dinar dan Dirham adalah aksesoris semata. Tidak seperti uang hampa (fiat money), uang kertas dan logam yang kita pakai saat ini yang mengandalkan nilainya pada kepercayaan dan pengakuan otoritas negara, Dinar dan Dirham adalah uang nyata yang dijamin oleh dirinya sendiri sebagai logam mulia. Nilai Dinar dan Dirham adalah tetap, tidak berubah karena penggunaan Dinar tidak menimbulkan inflasi. Sejak mulai digunakan hingga detik ini, nilai tukar Dinar dan Dirham tidak mengalami perubahan yang berarti. Setiap Dinar (hari ini sekitar Rp 400.250/Dinar) dan Dirham (saat ini sekitar Rp 26.650/Dirham) masih bisa digunakan untuk membeli sejumlah barang-barang dalam kuantitas dan kualitas yang sama dengan barang-barang yang dapat dibeli ketika Dinar dan Dirham digunakan tempo doeloe.
Kemanapun Dinar dan Dirham dibawa, nilainya tidak akan berubah. Sekeping koin Dinar dan Dirham akan tetap 4,25 gram emas 22 karat, dan sekeping Dirham adalah 3 gram perak murni. Di negara manapun anda timbang, apakah di Afrika Selatan, Hongkong, London, New York, Paris, atau Indonesia, nilai tetap tidak berubah. Bahkan bila gambar dan corak Dinar dan Dirham dirubah-ubah, bertuliskan “kalimah syahadah” maupun bergambar “Cut Nyak Dhien” ataupun “orang utan”, nilainya akan tetap. Kestabilan Dinar dan Dirham akan mengeliminir upaya-upaya spekulasi di pasar Valas. 
Picture of various serbian dinars coins over white background
Seterusnya, nilai (harga) emas tidak pernah mengikuti hukum ekonomi sebagaimana digambarkan oleh kurva penawaran dan permintaan (supply and demand curves). Selama kurun 1988-1997, dunia mengalami defisit pasokan emas sebanyak rata-rata 319 ton per-tahun, tapi harganya tetap relatif stabil. Malah, pada kurun 1994-1997, saat dunia mengalami defisit emas sebesar 348%, harganya justru turun 14%. Pendek kata, Dinar mampu menyimpan harta secara tetap, nilainya tak pernah berkurang, walau disimpan di mana pun. Emas terbukti kebal dari segala krisis ekonomi. Ketika terjadi krisis Peso Meksiko, 1995, nilai emas di sana naik 107% dalam waktu tiga bulan, ketika krisis Rupiah pada 1997, nilai emas di Indonesia melonjak 375% dalam kurun tujuh bulan, dan ketika krisis Rubel di Rusia, 1998, nilai emas di Rusia naik 307% dalam waktu delapan bulan. Secara umum, meskipun harga emas dalam Dolar AS turun sekitar 30% sejak 1990, rata-rata harga emas di dunia justeru naik sebesar 20%.
Tidak seperti pencetakan Dinar dan Dirham yang di back-up 100% oleh emas dan perak, pemerintah kapan saja dapat mencetak uang hampa karena ianya tidak perlu di back-up oleh emas dan perak. Artinya, masalah utama uang hampa adalah tidak adanya nilai intrinsik (harga yang dikandungi uang tersebut). Bank Sentral yang pertama sekali mengeluarkan uang hampa itu dapat memungut keuntungan luar biasa. Keuntungan ini diperoleh dari perbedaan ongkos pencetakan dan nilai legal uang. Perbedaan ini dalam istilah keuangan disebut dengan “seigniorage”. Uang hampa ini diperkenalkan dalam sebuah ekonomi sebagai hutang atau pinjaman. Kemudian bank-bank komersial memungut keuntungan melalui penciptaan deposit berganda (multiple deposit creation) dengan meminjamkan kepada masyarakat. Sistem uang hampa dan penetapan cadangan minimum (minimum reserve requirement) bank ternyata telah memudahkan penggandaan uang dilakukan. Sebagai contoh, jika jumlah cadangan yang disyaratkan dimiliki setiap bank  adalah 10%, dengan jumlah deposit Rp. 1.000, bank akan dapat menggandakan jumlah deposit menjadi Rp.10.000. Proses penggandaan uang ini jelas akan menimbulkan inflasi.
Picture of various serbian dinars coins over hundred banknote and silver purse
5. Superioritas Dinar
Di samping memiliki nilai yang stabil, penggunaan Dinar akan mengurangi ketergantungan keuangan (financial dependency) para penggunanya terhadap Dolar akibat mismanajemen modal. Ini dapat kita lihat dalam dunia perdagangan internasional. Negara yang memiliki neraca perdagangan defisit (mayoritas dunia Muslim) berarti jumlah dana dalam negeri lebih banyak mengalir ke luar negara ketimbang dana asing yang masuk ke dalam negara. Dengan kata lain, jumlah import jauh lebih besar daripada jumlah eksport. Terjadinya “capital flight” yang tinggi menyebabkan devisa negara akan turun, kalaupun tidak minus. Bila ini terjadi, dan untuk menutupi defisit budget negara, maka terpaksa harus didanai dengan hutang luar negeri. Keterpaksaan berhutang jelas telah memerangkapkan negara penghutang terhadap keharusan untuk memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan negara donor (pemberi hutang), yang sifatnya sangat mencekik leher negara penghutang. Keharusan menggunakan Dolar ketika membayar hutang, akan menyebabkan nilai uang negara penghutang semakin rendah. Konsekuensinya, negara penghutang berada dipihak yang dirugikan karena harus membayar hutang dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan jumlah hutang sesungguhnya. Ini semata-mata karena ketidakstabilan (appresiasi) nilai Dolar. Namun, kalau berhutang dengan Dinar, maka kapan pun dan dalam keadaan bagaimanapun, nilai Dinar tidak akan berubah. Kemudian, fluktuasi uang Dolar akan sangat menentukan keuntungan/kerugian para pemegang Dolar. Kita ketahui bahwa tidak sedikit konglomerat Arab Muslim yang mendepositokan uangnya di bank-bank di Amerika Serikat dan negara-negara maju lainnya telah mengalami kerugian luar biasa ketika terjadi tragedi pemboman gedung World Trade Center (WTC), 11 September 2001 di New York. Tragedi ‘11 September 2001’ itu telah menyebabkan Dolar terdepresiasi luar biasa sehingga menyebabkan para konglomerat Arab Muslim mengalami kerugian bermilyar-milyar Dolar. Sedangkan, menyimpan uang dalam Dinar, dalam keadaan bagaimanapun, tidak akan berfluktuasi.
Selain itu, pembiayaan anggaran negara defisit dengan mencetak uang, secara gradual tapi pasti, akan menyebabkan membengkaknya tingkat inflasi. Hal ini disebabkan jumlah uang yang beredar dalam masyarakat sudah terlalu banyak dan tidak proporsional dengan jumlah barang dan jasa yang ada di pasar. Dengan kata lain, nilai uang adalah sangat tergantung pada tinggi-rendahnya jumlah “supply” dan “demand” akan uang dalam masyarakat. Sedangkan, Dinar, nilainya tidak dipengaruhi oleh hukum “supply” dan “demand”. Realita ini persis seperti diakui Alan Greenspan, dalam bukunya yang berjudul: “Gold and Economic Freedom” sebagai berikut: ”In the absence of the gold standard, there is no way to protect savings from confiscation through inflation” (tanpa kehadiran uang standar emas, tidak ada cara untuk memproteksi penyusutan tabungan akibat inflasi).
Superioritas Dinar dan Dirham dibandingkan dengan mata uang hampa (fiat money) tidak saja diakui para ekonom Islam, malah turut disaluti ekonom barat. Dinar yang di-back up 100% oleh emas (memiliki nilai intrinsik 100%) jelas lebih stabil dibandingkan dengan Euro yang hanya di-back up 20% oleh emas dan Dolar yang sama sekali tidak di-back up oleh emas (memiliki nol nilai intrinsik). Ini terbukti ketika AS menggunakan uang standar emas pada tahun 1879, tingkat inflasi di negara Super Power itu menurun drastis menyamai tingkat inflasi ketika uang standar emas digunakan pada tahun 1861. Penyebab utama krisis ekonomi yang berulang-kali menerpa dunia adalah karena pengadopsian sistem keuangan global yang menggunakan fiat money, bukannya Dinar dan Dirham.
Selain itu, penggunaan Dinar dan Dirham akan menghalang usaha-usaha pencetakan dan pemusnahan uang dengan semena-mena oleh pihak berkuasa (pemerintah). Artinya, jumlah peredaran uang dalam masyarakat akan terkontrol dan inflasipun akan terkendali. Dinar akan mewujudkan sistem moneter dunia dan pasar valuta asing yang lebih stabil. Dinar juga berfungsi sebagai penyimpan nilai (store value), alat penukar (medium of exchange), dan alat pengukur nilai (measurement of value) yang lebih mantap. Ini terjadi karena penggunaan Dinar akan mengeliminir praktek spekulasi mata uang dan praktek arbitrasi (arbitraging: meraup keuntungan melalui praktel jual-beli valuta asing). Tidak seperti uang hampa, Dinar lebih mudah diterima masyarakat dengan hati terbuka tanpa perlu “legal tender” atau penguatan hukum (law enforcement). Penggunaan Dinar turut mempromosikan perdagangan internasional sebab bertransaksi dengan Dinar akan meminimalisir biaya transaksi. Bila Dinar digunakan sebagai mata uang tunggal dunia Islam, maka untuk menukar uang dari satu jenis mata uang ke mata uang lainnya tidak lagi diperlukan biaya. Dan yang paling luar biasa, penggunaan Dinar akan lebih menjamin kedaulatan/keutuhan negara dari dominasi ekonomi, budaya, politik dan ideologi negara barat.  Sebagai contoh, dengan hanya mencetak dolar tanpa perlu di-back up dengan emas dan kemudian dipinjamkan ke Indonesia, AS kini dengan mudah mendikte dan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Padahal yang dipinjamkan itu hanya secarik kertas yang bertuliskan angka-angka tertentu yang sama sekali tidak memiliki nilai intrinsik. Sebaliknya, tanpa memiliki emas yang mencukupi, maka sudah tentu AS tidak memiliki Dinar untuk dipinjamkan ke Indonesia. Pendek kata, Dinar dan Dirham adalah mata uang yang mampu mewujudkan sistem moneter global yang berkeadilan (just world monetary system).
Selanjutnya, akibat nilai Dinar tidak berubah, maka tindakan spekulatif di pasar valuta asing tidak akan terjadi. Di samping kebal terhadap inflasi, Dinar juga tidak dipengaruhi oleh tingkat bunga. Dengan kata lain, Dinar adalah uang bebas riba. Kestabilan Dinar juga akan mempromosikan perdagangan dan menstabilkan sistem moneter. Bahkan mantan Perdana Menteri Malaysia, Dr. Mahathir Mohamad (2000), dalam tulisannya: “The Malaysian Currency Crisis: How and Why it Happened” berkesimpulan bahwa terjadinya krisis ekonomi 1997 adalah akibat tindakan spekulatif para pembeli valuta asing. Krisis ekonomi tersebut malah telah menyebabkan membengkaknya tingkat pengangguran, rendahnya produktivitas, naiknya tingkat kemiskinan, dan berbagai penyakit ekonomi lainnya. Maka tepatlah bila Meera (2002), dalam  bukunya: “The Islamic Gold Dinar” menyebutkan bahwa penggunaan Dolar telah menyebabkan timbulnya berbagai masalah sosio-ekonomi. Berdasarkan penjelasan di atas, maka sudah masanya umat Islam untuk tidak menawar-nawar lagi dalam menggunakan kembali Dinar dan Dirham.
Operasional institusi keuangan Islam tanpa kehadiran Dinar dan Dirham sangat sukar membebaskan dirinya dari praktek-praktak riba, gharar, dan gambling. Itulah sebabnya, upaya pendaulatan Dinar dan Dirham sebagai mata uang tunggal dunia Islam harus segera diwujudkan. Apalagi kondisi ekonomi barat yang semakin sekarat dengan penggunaan uang hampa diperkirakan akan segera mengikuti jejak kehancuran ekonomi komunis. Pada saat itulah umat Islam harus sudah siap dengan Dinar dan Dirham. Jika tidak, ekonomi dunia Islam akan terus terpuruk. Peluang umat Islam untuk mengungguli ekonomi barat semakin terbuka lebar. Namun, semua ini tergantung pada kesiapan umat Islam untuk mendaulatkan kembali Dinar dan Dirham sebagai mata uang tunggal mereka.
6. Back to Dinar and Dirham
Bagi umat Islam, upaya kembali ke Dinar (emas) bukanlah sesuatu yang sukar. Karena banyak kaum ibu, khususnya para nenek-nenek lebih memilih menyimpan “perhiasan emas” ketimbang menyimpan uang di bank. Bahkan, tidak akan sempurna pertunangan dan pernikahan di dunia ini, kalau belum dilengkapi dengan emas sebagai cincin tunangan dan mahar perkawinan. Begitu juga dalam setiap even dan kompetisi olahraga dunia dimana setiap pemenang akan dinugerahi Medali Emas, Perak dan Perunggu, maka kehadiran mata uang emas (Dinar) dan perak (Dirham) bukanlah sesuatu yang sukar untuk diterima masyarakat dunia. Namun usaha untuk mendaulatkan Dinar dan Dirham sebagai mata uang tunggal dunia haruslah dilakukan secara bertahap (gradual) tapi pasti, mulai dengan “parallel currency system” seperti disebutkan di atas sehingga menjadikan Dinar dan Dirham sebagai mata uang tunggal dunia Islam.
7. Mendaulatkan Dinar dan Dirham secara Gradual
Kenapa usaha mendaulatkan Dinar dan Dirham sebagai mata uang tunggal dunia tidak bisa dilakukan secara totalitas dalam waktu yang singkat (overnight)? Apa saja dampak terhadap perekonomian umat andaikata pendaulatan Dinar dan Dirham dilakukan totalitas secara dalam waktu yang singkat? Seperti disebutkan di atas, usaha menuju mata uang tunggal “Dinar dan Dirham” mesti dilakukan secara bertahap tapi pasti adalah untuk menghindari terjadinya “economic shocks”, stagnasi ekonomi dan bahkan kehancuran sistem ekonomi yang telah ada.  Pengalaman keruntuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) ketika Presidennya yang ke-17, Abraham Lincoln menghapuskan sistem perbudakan (slavery system) secara totalitas dalam tempo yang singkat dapat dijadikan pengalaman berharga. Padahal Islam, walaupun membenci sistem perbudakan itu, namun Islam menggalakkan pengahapusan sistem perbudakan dilakukan secara gradual. Penghapusan sistem perbudakan secara bertahap ini pada masa awal kekhalifahan Islam dimaksudkan agar tidak terjadinya ‘malapetaka’ ekonomi.
Secara lebih detail, perbedaan proses, secara langsung pengahapusan sistem perbudakan  AS dengan Islam dapat disebutkan di bawah ini. Walaupun Islam membenci praktek perbudakan, namun Islam tidak mengharamkan praktek perbudakan tersebut di masa-masa awal kekhalifahan Islam. Upaya Islam menghapus sistem perbudakan dilakukan berdasarkan ketentuan syari’at secara bertahap. Sebagai contoh, apabila seorang Muslim yang sedang berpuasa di bulan Ramadhan melanggar ketentuan puasa (bersetubuh di siang hari), maka ia dikenakan denda seperti memerdekan seorang budak (hamba sahaya) untuk menebus dosa yang telah diperbuat. Dengan cara ini, maka secara perlahan-lahan akhirnya sistem perbudakan akan dapat dihapuskan. Karena pembebasan seorang budak merupakan momen kebahagiaan bagi semua pihak. Budak akan gembira karena mulai detik itu dia menjadi manusia yang bebas dari kungkungan majikannya. Bahkan ia mungkin akan merayakan hari pelepasannya itu setiap tahun bagaikan orang menyambut hari ulang tahun. Begitu juga dengan para majikan (si pemilik budak), ia akan gembira karena ia telah diampuni dosanya dan bahkan telah mendapat keberkatan Ilahi. Kemudian, sistem penghapusan perbudakan secara  bertahap akan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi budak yang yang telah dimerdekakan tersebut untuk mendapat pekerjaan. Akibatnya, ekonomi tetap stabil dan bahkan akan semakin kokoh dengan ikut berpartisipasinya si budak tersebut dalam membangun ekonomi negara.
Sebaliknya, kehancuran ekonomi telah terjadi di AS ketika Abraham Lincoln, Presiden AS yang ke-17 menghapuskan sistem perbudakan di negara adi kuasa itu secara spontan dalam waktu yang singkat. Kala itu, Lincoln telah membekukan undang-undang yang memberikan izin pengadopsian sistem perbudakan di AS. Pembekuan undang-undang perbudakan tersebut bukan saja menimbulkan berbagai problem ekonomi, tetapi juga telah menyebabkan munculnya berbagai problem sosial-ekonomi. Umumnya, para majikan yang memiliki budak tidak senang dan setuju dengan tindakan Lincoln karena mareka tidak disediakan uang ganti rugi terhadap uang yang telah mereka keluarkan (investasi) untuk membeli budak. Tidak hanya itu, AS mengalami defisit buruh khususnya di sektor perkebunan, yang dulunya dikerjakan oleh para budak. Perkebunan-perkebunan terbengkalai sehingga gagal panen. Hal ini tentunya akan mengakibatkan langkanya barang-barang hasil perkebunan di pasar AS kala itu. Sehingga harga hasil perkebunan melambung tinggi. Untuk memenuhi permitaan barang hasil perkebunan dalam negeri, pemerintah AS terpaksa mengimportnya dari luar negeri. Sudah tentu kondisi seperti ini akan mengakibatkan lumpuhnya perekonomian AS. Di lain pihak, para budak yang dilepaskan secara serentak akan mengalami kesulitan untuk mencari pekerjaan baru. Karena mereka cenderung menghindari bekerja untuk majikan mereka sebelumnya, maka mereka akan susah untuk mendapat pekerjaan baru. Akhirnya terpaksa mereka menjadi penganggur, terutama mareka yang sama sekali tidak memiliki lahan dan modal. Klimaksnya, peperangan sipil antar negara di bagian Utara dan Selatan AS telah terjadi akibat penghapusan sistem perbudakan secara spontan dan totalitas. Sampai hari ini juga kita melihat ketidakharmonisan antara warga AS berkulit hitam (African Americans) dengan warga AS yang berkulit putih. Warga negera AS yang berkulit hitam (umumnya para budak yang telah dibebaskan) masih belum dapat melupakan kepedihan meraka ketika dijadikan budak oleh warga AS yang berkulit putih. Perbedaan antara mereka hingga saat ini masih sengat kentara.
Selanjutnya, pendaulatan Dinar dan Dirhan sebagai mata uang tunggal dunia secara bertahap, tapi pasti juga dapat kita simak dari pengalaman pengharaman riba dan minuman keras dalam masyarakat Islam di masa Rasulullah. Pengharaman riba dalam Islam tidak dilakukan secara sekaligus melainkan melalui empat tahap. Allah membasmi riba dan minuman keras secara bertahap mengingat praktek riba dan meminum minuman keras sudah begitu mengakar dalam kehidupan masyarakat sebelum Islam. Agar para pengamal riba dan peminum minuman keras akur dengan larangan Allah, maka pelarangan terhadap kedua hal ini dilakukan secara bertahap. Ayat berikut cukup jelas menunjukkan bagaimana Allah swt secara bertahap dan kuntinyu melarang praktek riba diamalkan.
Ayat pertama yang turun tentang riba adalah ayat 39 Surat Ar-Rum. Allah berfirman:
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)” (Q.S. ar-Rum: 39).
Ayat ini menekankan bahwa riba tidak akan menambah kekayaan, sebaliknya ia mengurangkan kekayaan.
Kemudian ayat kedua tentang riba menjelaskan sisi negatif riba sama dengan perbuatan munkar lainnya yang telah dilarang Allah sebelumnya. Allah berfirman:
“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih” (Q.S. an-Nisa’: 161).
Seterusnya, ayat yang ketiga mengenai riba menyeru orang yang beriman menjauhi riba agar kebahagiaan hakiki, ketenangan pikiran serta kejayaan hidup di dunia dan di akhirat dapat diraih. Firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”(Q.S. Ali Imran: 130).
Akhirnya ayat yang menyebutkan secara jelas dan tegas bahwa riba itu adalah haram hukumnya diturunkan sesaat sebelum Rasulullah saw mangkat. Allah berfirman: “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Q.S. al-Baqarah: 275). Proses pengharaman riba mulai dari Q.S. ar-Rum, ayat 39 hingga Q.S. al-Baqarah, ayat 275 memakan waktu sekitar 25 tahun.
Pengalaman Islam dalam mengahapuskan sistem perbudakan dan amalan praktek riba secara gradual di masa-masa awal pemerintahan Islam patut dijadikan contoh teladan dalam usaha mendaulatkan Dinar dan Dirham sebagai mata uang tunggal dunia. Metode ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kemerosotan dan bahkan keruntuhan ekonomi. Usaha mendaulatkan Dinar dan Dirham sebagai mata uang tunggal dunia Islam memerlukan waktu yang lama, setidak-tidaknya 25 tahun ke depan. Dengan kata lain, usaha untuk mendaulatkan Dinar dan Dirham sebagai mata uang tunggal dunia Islam baru akan nampak hasilnya pada tahun 2030, itupun kalau dilakukan secara sungguh-sungguh dengan perencanaan yang matang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar