Jumat, 17 Februari 2012

Keharaman Babi


Pemanfaatan babi hukumnya haram, baik atas daging, lemak, maupun bagian-bagian lainnya.  Firman Allah SWT dalam QS.5:3 mengharamkan konsumsi bangkai, darah, dan daging babi.  Demikian juga dengan firman-Nya dalam QS.6:145 dan QS.16.115, mengharamkan konsumsi bangkai, darah, dan daging babi.  Dalil-dalil pada beberapa ayat ini merupakan nash yang jelas, yang menegaskan tentang keharaman, antara lain mengkonsumsi babi.  Al-Qur’an menggunakan kata lakhma (daging) karena sebagian besar pengambilan manfaat dari babi adalah daging.  Selain itu, dalam daging babi selalu terdapat lemak.  Kendati Al-Qur’an menggunakan kata lakhma, pengharaman babi bukan hanya dagingnya.  Tetapi seluruh tubuh hewan babi.  Pandangan ini sesuai dengan kaidah ushul fiqh: min dzikri’l-juz I wa iradati’l kulli.  Artinya yang disebutkan sebagian dan dikehendaki seluruhnya.Bahwa daging babi mengandung cacing pita (taenia solium), hampir semua orang sudah mengenalnya.  Ternyata tidak hanya itu bahaya yang mengancam pemakan babi. Lemak babi mengandung kolesterol paling tinggi dibandingkan dengan lemak hewan lainnya.  Darahnya mengandung asam urat paling tinggi.  Asam urat merupakan bahan yan jika terdapat dalam darah dapat menimbulkan berbagai penyakit pada manusia.  Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa sedikitnya 70 jenis penyakit yang lazim diidap hewan babi dan beberapa diantaranya dapat ditularkan manusia yang memakannya.
Hikmah diharamkannya daging babi, terutama keberadaan cacing pita, seringkali disanggah oleh para ahli kesehatan modern.  Mereka  mengatakan bahwa cacing tersebut mudah dihilangkan bahkan dengan teknik pemasakan yang paling sederhana.  Pandangan ini sungguh menyesatkan karena babi itu sendiri menjijikkan bagi orang yang bersih jiwanya.  Allah SWT mengharamkan sejak masa silam untuk waktu yang lama agar manusia mengetahui.  Manusia kini baru mengenal sedikit bahayanya, yakni cacing pita, namun demikian jauh sebelum itu Allah SWT telah mengharamkannya.  Mungkin sekarang orang menganggap bahwa peralatan masak modern telah mengalami kemajuan, sehingga ada asumsi kalau daging babi tidak lagi membahayakan dan bukan merupakan sumber ancaman bagi manusia.  Dengan teknologi pengolahan makanan dan teknik pemanasan yang canggih, bahaya itu sudah bisa dihilangkan.
Mereka lupa bahwa untuk mengatasi bahaya cacing pita saja telah memakan waktu berabad-abad. Itu hanya untuk mengungkap satu penyakit saja.  Siapa yang dapat menjamin bahwa di luar penyakit itu sudah tidak ada lagi bahaya yang terkandung dalam daging babi.  Apakah tidak selayaknya syari’at yang jauh lebih mendahului kemajuan pengetahuan manusia puluhan abad yang lalu kita percayai sepenuhnya? Semua keputusan diserahkan pada syari’at.  Kita menghalalkan apa yang dibolehkan dan menghindari apa yang dilarang. Syariat ini adalah dari Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui bentuk dan karakteristik segala makhluk-Nya.
Kini dengan munculnya kasus Japaneese Enchephalitis (JE) di Malaysia, nyaris semua mata kembali terbuka.  Satu lagi bencana mengancam manusia timbul dan bersumber dari babi.  Rupanya Allah masih sayang pada manusia, sehingga sekali lagi manusia diingatkan agar menjauhi hewan haram itu.  Sudah banyak sekali bukti-bukti yang menunjukkan keburukan babi.  Namun sejauh ini manusia tetap nekad memakannya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar