Dan ibu ... dia sungguh seorang sarjana tanpa titel, seorang sarjana kehidupan. tanpa berpikir panjang, tanpa menimbang dengan lantang ia berkata dengan logat bugisnya. yang artinya ...
"kalau mau kuliah, kuliah yang benar. rezeki itu urusannya tuhan"
Ayahku hanya seorang tukang ojek, subuh hari ia berangkat. maka setelah kami berangkat sekolah ibu pun kepasar dengan berjalan kaki untuk belanja tanpa uang sepeserpun. harapannya ayah sudah mendapat rezeki. dia menunggu disudut pasar sambil terus mengawasi pangkalan ojek, terus menunggu hingga ayah kembali kepangkalan ojek. begitulah kehidupan mengawal kami.
Lagi-lagi ibu ... membuatku terhenyak. ia dengan yakinnya meluluskan keinginan adikku untuk kuliah. biaya kuliah yang bejibun membayang seperti hantu dalam keluarga kami. sibungsu, kesayangannya sempat berkomentar pesimis, tak digubrisnya. seperti pada ibu umumnya, pagi-pagi sekali ia persiapkan kebutuhan adikku untuk berangkat keluar kota (karena dikota kami belum ada tempat kuliah). kami ikut sibuk ... tapi sedikit aneh dengan penampilan ibu. ia memakai pakaian terbaiknya, satu-satunya yang ia miliki.
" ibu mau kemana?" tanyaku
" mau temani adekmu nanti dia gak tahu jalan, itu kota besar"
Rasanya aku ingin tertawa terbahak saat itu, kulirik adikku yang hanya tersenyum sambil menatap ibu denga raut yang sulit aku gambarkan. tapi hari ini (setiap mengingat kejadian itu aku selalu menangis) itulah nurani seorang ibu yang baru aku pahami hari ini.
Benar saja kata ibu ... rezeki itu urusan ALLAH.
Ujian kehidupan kembali mengawal kehidupan kami, adikku tidak lolos UMPTN, bahkan seleksi dibeberapa kampus. namun harapan itu datang saat ia dimasukkan sebagai cadangan, lalu ditawarin sebuah kelas elit yang bayarannya nauzubillah dua kali lipat. semua terdiam (kami tanpa dikoordinir selalu duduk bersama untuk membicarakan sesuatu)
Ayah, rautnya sudah bicara 'ini berat' walau ia tetap diam. kakakku terlihat santai dan hanya bilang 'terserah', sibungsu tertunduk dalam, sangat dalam. sikapnya menunjukkan 'coba pikir lagi, kasihan orangtua kita'. dan aku ... demi melihat ibu, aku sudah menemukan keputusannya
" oke ... kuliah" kataku dengan keras. esok adalah tanda tanya. rapat itu berakhir tanpa perdebatan, adu urat, otot. itu soal biasa tapi hari ini aku sadari itu luar biasa.
Hidup makin berat, tapi ibu sedikitpun tak pernah mengeluh (sumpah demi ALLAH) hanya fisiknya yang berkata terlalu jujur sangat jujur. tapi kami tak sedikitpun memperhatikannya, kami sibuk dengan keinginan kami dan selalu ibu sibuk untuk mewujudkannya. ibu adalah orang yang tak pernah menyembunyikan uang sepeserpun dari kami. tidak ada maka dia akan bilang tidak ada, jika ada maka ia pun akan menghabiskan untuk kami.
Meski sulit kahidupan kami terus bergulir, setiap tahapan bisa kami lalui, kami tetap bersama. dalam hal materi kami memang kesulitan tapi rezeki datang dalam bentuk lain dan selalu tak terduga. sibungsu yang sekolah di SMU elit (itu juga karena perjuangan ibu) lulus dengan nilai memuaskan masuk dalam 10 besar yang terbaik. ia pun dikirim ke Bali untuk bekerja, karena ia mengambil jurusan NPL. padahal kamipun menawarkan ia kuliah meski akhirnya tetap memilih untuk pergi ke bali selama 3 tahun. dari saat itu beban materi sedikit terobati, ia mau membantu membiayai kuliah sang kakak.
Lalu ibu lagi-lagi berada digarda terdepan, saat ayah pasrah tanpa berani memutuskan apa-apa. kami akhirnya pindah kekampung halaman, ibu berkeras. rumah kami hendak disewakan untuk menutupi biaya kuliah adikku. kakak yang seorang guru tinggal diperumahan yang disediakan oleh yayasan. ibu masih punya rumah dikampung, rumah tua yang nyaris roboh. aku awalnya sangat menentang, demi membayangkan tinggal disebuah perkampungan nelayan. tapi ibu berkeras, demi adikku.
Sungguh saat itu aku tak mau menerima.dikota ini, segalanya ada meski tak bisa terbeli. hanya saja kondisi dikota ini jauh labih baik. aku malah berpikir pindah ke kampung adalah sebuah kemunduran. karena aku anak gadis dan belum menikah maka aku wajib ikut. kehidupan setelahnya tak lantas mudah karena uang yang ada selalu lari pada adikku yang kuliah, perlahan aku mulai menerima keadaan semua berkat ibu yang tak pernah mengeluh, ia kerjakan semua termasuk berkebun yang masya ALLAH beratnya minta ampun sampai membuat ayahku jatuh sakit dan orang-orang berpikiran ia akan segera meninggal.
Dan lagi ... ibu ... bahkan disaat seperti itu masih berkata 'ini rezeki ALLAH, yang sabar'. dan benar rezeki itu punya ALLAH. ayah pulih dalam kurun waktu 6 bulan. (sampai hari ini ia tetap segar bugar bahkan perutnya membuncit).
Dua tahun berlalu ... adikku akan diwisuda. saat itu pertama kali aku lihat ibu menabung. belakangan baru aku tahu uang itu ia pakai untuk membeli baju, dan itu baju termahal yang pernah ia beli 300.000,-. rumah kami ambil kembali dan meminta kakak menempatinya. rumah terbaik bagi kami karena rumah itu tempat kami menikmati kepayahan hidup, meski tanpa air mata karena ibu, semua karena ibu. semua terlewati dengan mudah.
Hari membanggakan itu datang, meski tak masuk dalam jajaran mahasiswa teladan. ibu tetap sangat bangga. berdiri diantara para orang tua mahasiswa lain, ia tampak sangat megah. matanya tak lepas memandang adikku yang duduk ditengah kerubungan mahasiswa lain, dengan seragam yang sama tapi ibu tahu itu anaknya dan terus memandangnya. kala nama adikku dipanggil ia berdiri dengan tubuh bergetar matanya berkaca-kaca tapi terus ditahan, sampai akhirnya setitik air jatuh dangan indah dipipinya. aku tak lagi memperhatikan apa yang terjadi didepan, aku hanya memperhatikan ibu. aku tidak bangga dengan apa yang dicapai adikku ... tapi aku sangat bangga dengan pencapaian ibuku.
Ibu seorang yatim piatu sejak usia 3 bulan, tak pernah menginjak bangku sekolah tak mengerti huruf. tapi dia tahu "tuhan itu pintar" itu yang ia pahami dan yakini sampai hari ini. dan hari ini aku melihat keyakinan itu dari ibu.
Aku dedikasikan ini untuk ibu ... "ALLAH memberiku hal terbaik dalam hidupku yaitu dirimu...IBU"
artikel dari situslakalaka-2.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar