Pada 1918, tentara Serbia balas dendam. Tentara Serbia membantai wanita, anak-anak, dan menghancurkan rumah penduduk Kosovo.
Dunia kembali menorehkan sejarah baru. Ahad, 17 Februari 2008, seluruh bangsa di dunia menjadi saksi lahirnya negara Muslim pertama di benua Eropa bernama Kosovo. Pejuangan Muslim Kosovo yang berliku nan terjal -penuh airmata dan darah- itu akhirnya berbuah kedaulatan dan kemerdekaan. Dunia pun menyambut kehadiran negara Muslim itu.
Lalu bagaimanakah Islam menancapkan pengaruhnya di Kosovo hingga mampu bertahan sampai sekarang? Sejarah mencatat, jejak peradaban di Kosovo telah ditemukan sejak ribuan tahun lalu. Masyarakat Kosovo kuno dikenal dengan sebutan Dardania. Sumber-sumber sejarah menyebutkan, Kerajaan Dardania telah berdiri di awal abad ke-4 SM.
Sejarawan Roma dan Yunani melukiskan, masyarakat Kosovo pada era itu adalah para pekerja keras, murah hati, dan memiliki peradaban yang sudah maju. Raja Longarus, Monunius, dan Bato merupakan penguasa Dardania terkemuka yang kerap berperang dengan bangsa Macedonia. Kerajaan itu pun seringkali memenangkan pertempuran.
Wilayah Dardania atau Kosovo begitu menggiurkan, lantaran kaya akan sumber emas. Tulisan-tulisan kuno menggambarkan Dardania sebagai sentra produsen perhiasan. Tak heran, bila kemudian wilayah itu selalu menjadi incaran. Imperium Romawi menaklukkan wilayah itu pada akhir abad ke-1 SM. Pada masa kekuasaan Kaisar Aleksander Agung, agama Kristen mulai menyebar dan mengakar.
Ketika bangsa Barbar melakukan invasi antara abad ke-5 M hingga ke-8 M, Dardania justru menjadi `surga’ yang aman bagi perkembangan bahasa dan budaya Illyrian – warisan Romawi. Konstelasi kekuasaan di Dardania kembali berubah antara abad ke-9 hingga abad ke-11. Pada saat itu, dominasi Kekaisaran Byzamtium diambil alih Kerajaan Bulgaria dan tak lama kemudian berpindah lagi ke pelukan Byzamtium.
Pada tahun 1190 M, bangsa Serbia di bawah kekuasaan Dinasti Nemanjic menginvansi Kosovo dan menguasai wilayah itu hampir selama dua abad. Kekuasaan Serbia atas Kosovo berakhir ketika pasukan tentara Kerajaan Ustmani atau Ottoman Turki melebarkan sayap kekuasaannya ke wilayah Tenggara Eropa pada 1389 M.
Dalam Perang Kosovo Polje, koalisi tentara Kristen termasuk etnis Albania, Bosnia dan Hunggaria yang dipimpin pangeran Serbia, Lazar Hrebljanovic, tak mampu membendung gempuran Kerjaan Ustmani. Mulai 1455 M, Dinasti Ustmani secara resmi menguasai wilayah Kosovo. Kehadiran Kerajaan Usmani telah membawa Kosovo menuju era baru.
Seiring jatuhnya Kosovo ke tangan Dinasti Usmani, etnis Albania yang menyingkir dari tanah kelahirannya ketika Serbia berkuasa kembali pulang ke Kosovo. Selama masa itu, kebanyakan orang Albania masih menganut Kristen. Di bawah kekuasaan Usmani Turki, orang Albania dan Serbia yang tinggal di Kosovo bisa hidup berdampingan. Beberapa penguasa Serbia di Kosovo pun diberi kesempatan untuk tetap berkuasa di Kosovo namun berada di bawah Sultan Ottoman.
Perlahan tapi pasti, hampir dua per tiga orang Albania mulai tertarik untuk memeluk agama Islam. Orang Serbia pun banyak juga yang berpindah keyakinan dan menjadikan Islam sebagai agamanya. Namun, sebagian besar orang Serbia tetap berkukuh menjalankan agamanya. Kerajaan Ustmani Turki pun tak pernah memaksa penganut agama lain untuk masuk Islam.
Umat Kristen Serbia dan Yahudi dilindungi kehidupannya sebagai ‘ahli kitab’. Mereka berstatus sebagai dhimmi. Tak ada pembantaian yang dilakukan umat Islam terhadap penganut Kristen dan Yahudi. Saat itu, hukum Syariah ditegakkan di bumi Kosovo.
Para penganut Kristen dan Yahudi tetap memiliki hak kepemilikan, namun diharuskan membayar pajak. Akhir abad ke-17, orang Serbia secara besar-besaran meninggalkan Kosovo, seiring dengan kemenangan demi kemenangan yang dicapai tentara Kerajaan Ustmani. Sehingga, ‘pusat gravitasi’ Serbia beralih ke wilayah Utara, yakni Belgrade. Peristiwa itu dikenal sebagai great migration.
Keberhasilan Kerajaan Ottoman Turki menaklukkan Kosovo merupakan sebuah pencapai yang besar. Apalagi, wilayah itu kaya akan sumberdaya mineral. Tak heran, bila Kosovo menjadi aset penting bagi kesultanan Turki. Selama periode Ottoman, ada upaya yang begitu gencar untuk mempromosikan budaya dan bahasa Albania.
Gerakan anti-Usmani mulai mucul di Kosovo pada 1689 di bawah pimpinan uskup Katolik, Pjetr Bogdani. Ia mengumpulkan 20 ribu tentara untuk membantu Austria menggempur Turki. Seiring dengan kekalahan yang dialami Kerajaan Usmani dalam Perang Russo-Ottoman pada 1878, Serbia menguasai Mitrovica dan Pristina di Kosovo.
Pada 1912, meletus Perang Balkan I. Albania digempur oleh tentara koalisi Montenegro, Serbia, Bulgaria dan Yunani. Etnis Albania bersekutu dengan Kerajaan Usmani. Namun, kekuatan musuh lebih kuat, sehingga peperangan dimenangkan pasukan koalisi Serbia. Saat itu, penduduk Kosovo yang kebanyakan etnis Albania melarikan diri ke pegunungan.
Tentara Serbia menghancurkan rumah orang-orang Turki dan Albania. Mereka menjarah membunuh. Kosovo pun akhirnya jatuh kembali ke tangan Serbia. Pada Konfrensi Duta Besar di London tahun 1912, Inggris memberi kedaulatan kepada Serbia untuk menguasai Kosovo.
Ketika Perang Dunia I meletus, Kosovo diduduki pasukan Austria-Hungaria dan Bulgaria. Warga Kosovo etnis Albania pun ikut mendukung pasukan itu melawan Serbia. Sekolah bahasa Albania dibuka untuk mengikis pengaruh Serbia. Pada 1918, tentara Serbia balas dendam. Tentara Serbia membantai wanita, anak-anak, dan menghancurkan rumah penduduk Kosovo.
Setahun kemudian, perdamaian pun tercapai dengan berdirinya negara baru bernama Yugoslavia yang terdiri dari Slovenia, Kroasia, Serbia, Boznia-Herzegovina, Montenegro, dan Macedonia. Kala itu, Kosovo kembali berada di bawah sayap Serbia. Saat itu, penduduk Yugoslavia mencapai 12 juta jiwa, 400 ribu diantaranya adalah etnis Albania yang mayoritas beragama Islam.
Jejak Kerajaan Ustmani di Kosovo
Kerajaan Ustmani Turki begitu banyak meninggalkan warisan peradaban di Kosovo. Sayangnya, peninggalan bersejarah yang begitu berharga kebanyakan telah hancur akibat konflik berdarah di kawasan Balkan itu. Tentara Serbia, selain membunuhi warga etnis Albania dalam konflik yang terjadi di era-1990-an, juga banyak sekali membumihanguskan peninggalan Kerajaan Usmani Ottoman Turki.
Beberapa peningggalan sejarah yang dibangun Kerajaan Usmani itu antara lain dua buah jembatan di Gjakova. Kedua jembatan peninggalan abad ke-15 M itu bernama Ura e Terzive dan Ura e Tabakeve. Warisan yang ditinggalkan Kerajaan Usmani juga begitu kental terlihat dari gaya arsitektur di Kosovo.
Arsitektur perumahan di perkotaan Kosovo peninggalan abad ke-15 bernama konak atau shtepia. Selain itu juga dikenal perumahan yang berbentuk menara dari batu yang disebut kulla. Andrew Herscher dan Andras Riedlmayer dalam tulisannya berjudul Architectural Heritage in Kosovo: A Post-War Report, memaparkan peninggalan Kerjaan Usmani juga terlihat dari bangunan masjid, tekkes (rumah kecil tentap para sufi), medreses (sekolah agama), perpustakaan Islam, hamams (tempat mandi orang Turki), dan pasar.
”Warisan peninggalan itu mengalami kerusakan yang parah akibat konflik,” papar Herscher dan Riedlmayer. Salah satu bangunan masjid terkemuka di Kosovo peninggalan Kerajaan Ottoman adalah Masjid Bayrakli (Masjid Al-Fati). Masjid itu dibangun pada abad ke-15 M oleh Sultan Mehmet al-Fatih. Sayang masjid itu dihancurkan tentara Serbia pada Juni 1999. Pada tahun 1993, tercacat terdapat 607 unit masjid di Kosovo. Hampir 200 unit di antaranya dihancurkan Serbia.
Benih Kebencian yang Tersemai di Balkan
Setelah terbentuknya Yugoslavia, benih kebencian antara etnis Serbia dan etnis Albania di Kosovo terus tumbuh seperti kecambah. Hubungan kedua etnis kian memanas ketika pada 1921, warga etnis Albania di Kosovo meminta Liga Nasional untuk bergabung dengan Albania pada 1921. Mereka menguak fakta bahwa selama 1918 hingga 1921, Serbia telah membantai 12 ribu etnis Albania. Sekitar 22 ribu orang dipenjara Serbia. Namun, permintaan rakyat Kosovo untuk bergabung dengan Albania tak digubris Liga Nasional.
Ketika Perang Dunia II meletus, Albania dikuasai Italia pada 1939. Jerman menguasai Yugoslavia meliputi Serbia serta Macedonia. Saat itu, Kosovo dikuasai oleh etnis Albania, namun wilayah pertambangan yang penting masih dikuasai Jerman. Ketika itu, 100 ribu etnis Albania kembali berdatangan ke Kosovo dan membuat etnis Serbia tersinggkir.
Pasca-Perang Dunia II, Yugoslavia menjanjikan otonomi khusus kepada Kosovo. Namun, janji itu tak terbukti. Pada 1946, konstitusi tak menjamin adanya otonomi khusus bagi Kosovo. Pada tahun 1967, Presiden Yugoslavia, Josip Bros Tito, untuk pertama kalinya berkunjung ke Kosovo. Dia mendesak pemimpin Serbia menyingkir dari Kosovo.
Kebijakan Tito itu membangkitkan nasionalisme etnis Albani di Kosovo. Jumlah etnis Kosovo pun semakin bertambah dari 67 persen menjadi 74 persen. Pada tahun 1981, jumlah etnis Albani di Kosovo bertambah menjadi 77 persen menyusul hengkangnya 100 ribu etnis Serbia. Sepeninggal Tito, etnis Albania seperti anak ayam kehilangan induknya.
Gerakan dan tuntutan kemerdekaan Kosovo pun terus disuarakan etnis Albania. Upaya pertama untuk memerdekakan diri pada tahun 1990 gagal, karena diserbu Serbia. Pertarungan yang tidak seimbang antara Serbia dengan gerilyawan Kosovo atau KLA ini menimbulkan tragedi pembantaian dan pengungsian besar-besaran.
Pada perang 1998-1999, tentara Serbia membantai tak kurang dari 10 ribu etnis Albania yang dianggap mendukung kemerdekaan Kosovo. NATO yang dipimpin oleh Amerika Serikat mengusir Serbia dengan serangan udara selama 78 hari.
Kosovo kemudian berada dibawah perlindungan PBB dan NATO. Usaha kemerdekaan Kosovo kali ini mendapat dukungan hampir sepertiga negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat. Sedangkan negara yang menolaknya adalah Serbia dan Rusia.
(heri ruslan/Republika)
(heri ruslan/Republika)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar